SHALAT SUNAH SESUDAH IQAMAT
Oleh : Masnun Tholab
DALIL-DALIL
Dari Abu Hurairah
RA, dari Nabi صلى
اللّه عليه وآله وسلم,
beliau bersabda,
إِذَا
أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
Jika iqamat telah
dikumandangkan, maka tak ada shalat selain shalat wajib. (HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata:
كُنْتُ أُصَلِّي وَأَخَذَ الْمُؤَذِّنُ
فِي الْإِقَامَةِ، فَجَذَبَنِي النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: أَتُصَلِّي
الصُّبْحَ أَرْبَعًا؟
“Aku shalat sementara muadzin mulai
mengumandangkan iqamat. Nabi صلى
اللّه عليه وآله وسلم lalu menarikku dan mengatakan, “Apakah engkau mau shalat subuh
empat rakaat?!” (HR. Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Hakim, beliau mengatakan,
“Sahih sesuai dengan syarat Muslim.”)
Pertanyaan
:
1. Bolehkah memulai shalat sunnah setelah iqomah
dikumandangkan?
2. Jika seseorang sedang melakukan shalat sunnah, lantas
iqomah dikumandangkan, apa yang harus dia lakukan? Melanjutkan shalat sunnah
tersebut atau memutus shalatnya?
PENJELASAN/PENDAPAT
ULAMA
Imam
Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berkata :
مَذْهَبُنَا أَنَّهُ إذَا أُقِيمَتْ
الصَّلَاةُ كُرِهَ أَنْ يَشْتَغِلَ بنافلةٍ سواه تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ وَسُنَّةُ
الصُّبْحِ
وَغَيْرُهَا
Madzhab
kami berpendapat, “Bila iqamat telah dikumandangkan, makruh melakukan shalat
sunnah, baik tahiyatul masjid, sunnah subuh, maupun yang lain”.
وَقَالَ
مَالِكٌ إنْ لَمْ يَخَفْ أَنْ يَفُوتَهُ الْإِمَامُ بِالرَّكْعَةِ فَلِيُصَلِّ
خَارِجًا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ وَإِنْ خَافَ فَوْتَ الرَّكْعَةِ فَلْيَرْكَعْ مَعَ
الْإِمَامِ
Malik
berpendapat, “Bila tidak khawatir tertinggal satu rekaat dari imam, maka
hendaknya shalat di luar sebelum memasuki masjid. Namun bila khawatir
tertinggal satu rekaat, maka hendaknya shalat bersama imam (tidak perlu shalat
sunnah shubuh)”
وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ
الْعَزِيزِ وَأَبُو حنيفة اركعها فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ مَا دُمْتَ
تَتَيَقَّنُ أَنَّكَ تُدْرِكُ الرَّكْعَةَ الْأَخِيرَةَ فَإِنْ خَشِيتَ فَوْتَ
الْأَخِيرَةِ فَادْخُلْ مَعَ الْإِمَامِ
Al-Auza’I,
Sa’id bin Abdul Aziz, dan Abu Hanifah berpendapat, “Dua rekaat sunnah shubuh
dikerjakan di pojok masjid selama orang yakin menjumpai rekaat terakhir. Namun
bila dikhawatirkan tertinggal rekaat terakhir, maka yang bersangkutan harus
shalat bersama imam (tidak perlu shalat sunnah shubuh)”.
دَلِيلُنَا
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ " إذَا
أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إلَّا الْمَكْتُوبَةَ
Dalil kami adalah hadits Abu
Hurairah RA, dari Nabi صلى اللّه عليه وآله وسلم, beliau bersabda
إِذَا أُقِيمَتْ
الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
Jika iqamat telah dikumandangkan,
maka tak ada shalat selain shalat wajib. [HR. Muslim No.1161].
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 4/126].
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan
dalam kitab Fathul Baari :
وَاسْتُدِلَّ بِعُمُومِ قَوْلِهِ فَلَا صَلَاةَ
إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ لِمَنْ قَالَ يَقْطَعُ النَّافِلَةَ إِذَا أُقِيمَتِ
الْفَرِيضَةُ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَامِدٍ وَغَيْرُهُ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ وَخَصَّ
آخَرُونَ النَّهْيَ بِمَنْ يُنْشِئُ النَّافِلَةَ عَمَلًا بِعُمُومِ قَوْله
تَعَالَى وَلَا تُبْطِلُوا أَعمالكُم ,وَقِيلَ يُفَرَّقُ بَيْنَ مَنْ يَخْشَى
فَوْتَ الْفَرِيضَةِ فِي الْجَمَاعَةِ فَيَقْطَعُ وَإِلَّا فَلَا
Ini menunjukkan umumnya hadis Nabi ;
“Maka tidak ada shalat (ketika iqomah berkumandang) kecuali shalat jamaah
fardu”, maka ini jadi dasar ulama yang menyuruh membatalkan shalat sunah ketika
iqomah berkumdang, mereka itu adalah; Abu Hamid dan selainnya dari kalangan
mazhab Syafi’i.
Pendapat yang lain mengatakan tak boleh
membatalkan shalat sunah, mereka menjadikan dalil argumen “keumuman” firman
Allah dalam Q.S Muhammad ayat 33, Allah berfirman “Dan jangan kamu batalkan
amal-amal kamu,”.
Dan juga ada yang berkata, membedakan
antara orang yang takut luput shalat jamaah sebab mengerjakan shalat sunnah, maka
idealnya memang dibatalkan, namun jika tidak khawatir hendaknya diteruskan saja
shalat sunnahnya. [Fathul
Bari, hal. II/151]
Al-Hafidz
al-Iraqi menjelaskan hadis Abu Hurairah di atas,
إن قولَه :
“فلا صلاة ” يَحْتملُ أن يُرادَ : فلا يُشرَعُ حينئذٍ في صلاةٍ عند إقامةِ الصلاةِ
, ويحتملُ أن يرادَ: فلا يشتغِلُ بصلاةٍ وإن كان قد شرعَ فيها قبلَ الإقامةِ بل
يقطعُها المصلِي لإدراكِ فضيلةِ التحريمِ؛ أو أنها تبطُلُ بنفسها وإن لم يقطعْهَا
المصلِي
Sabda
Nabi صلى
اللّه عليه وآله وسلم, “tidak ada shalat kecuali shalat
wajib” ada 3 kemungkinan,
[1]
Kemungkinan pertama, ketika iqamah tidak disyariatkan shalat sunah
[2]
atau kemungkinan maknanya, jangan melakukan shalat, meskipun shalat sunah sudah
dimulai sebelum iqamah. Namun dia harus batalkan, agar bisa mendapatkan
keutamaan takbiratul ihram.
[3]
atau kemungkinan maknanya, ketika iqamah, shalat sunah batal dengan sendirinya,
meskipun tidak dibatalkan oleh orang yang melakukannya. (Nailul Authar,
as-Syaukani, 3/102).
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
Arab Saudi/Al Lajnah Ad Daimah menjelaskan :
إذا أقيمت الصلاةُ المفروضةُ فاقْطعَ النافلةَ التي أنت فيها لتَدْرُكِ
تكبيرةِ الإحرامِ مع الإمامِ لما ثبت من قولِ النبي صلى الله عليه وسلم: إذا أقيمتْ
الصلاةُ فلا صلاةَ إلا المكتوبةِ
“Jika iqomah untuk sholat fardhu
dikumandangkan maka putuskanlah sholat sunnahmu agar anda mendapatkan
takbiratul ihram bersama imam, hal ini berdasarkan hadits sohih dari Rasulullah
صلى
اللّه عليه وآله وسلم bahwa beliau bersabada; Jika iqomah
dikumandangkan maka tidak ada sholat selain sholat fardhu” (Fatawa al Lajnah ad
Daimah 7/312)
Darul
Ifta’ Al-Mishriyah menjelaskan
tentang cara memutus shalat sebahai berikut;
وإذا أراد قطعَ الصلاةِ قطعَها بِمُجَرَّدِ النيةِ ولا
يحتاجُ إلى تشهُّدٍ وسلامٍ؛ لأن ذلك يكونُ عند تمامِ الصلاةِ، وهذهِ الصلاةُ لم تتِمَّ،
ونيةُ الخروجِ من الصلاةِ تقطعُ الصلاةَ.
Jika
seseorang hendak memutus shalat, maka dia boleh memutusnya dengan niat, tanpa
perlu tasyahud dan salam. Hal ini karena tasyahud dan salam hanya jika shalat
sudah sempurna, dan ini merupakan shalat yang belum sempurna sehingga niat
keluar dari shalat sudah cukup untuk memutus shalat.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar