HUKUM BERDZIKIR DI KAMAR
MANDI
Oleh : Masnun Tholab
Perintah Berdzikir
Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman
berdzikirlah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadanya
di waktu pagi dan petang.” (QS. al Ahzab : 41)
Imam Al-Qurthubi berkata :
قال ابن عباس: لم يعذرْ أحدٌ في
تركِ ذكرِ اللهِ إلا من غلب على عقْلهِ
Ibnu Abbas berkata, “Tidak
ada alasan bagi siapapun untuk tidak berdzikir dan mengingat Allah, kecuali
orang itu telah kehilangan akal” (Al-Jami’us Shaghir no. 1397)
[Tafsir Al-Qurtubhi
14/495]
Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً
وَأَصِيلًا
Dan bertasbihlah kepadanya di
waktu pagi dan petang.” (QS. al Ahzab :42)
Imam Al-Qurthubi berkata :
أي اِشغَلُوا ألسنتَكم في مُعُظمِ
أحوالِكم بالتسبيحِ والتهليلِ والتحميدِ والتكبيرِ. قال، مجاهدٌ: وهذه كلماتُ
يقولهن الطاهرُ والْمُحْدِثُ والْجُنُبُ.
Makna
ayat ini adalah, hiasilah llidahmu pada setiap saat dengan bacaan tasbih (subhanallah),
tahlil (laa ilaaha illallah), tahmid (alhamdulillah), dan takbir (Allahu
akbar).
Mujahid
berkata : “Semua bacaan tersebut dapat dibaca oleh siapapun dalam kondisi
bagaimanapun, entah itu dalam keadaan suci, atau berhadats, atau dalam keadaan
junub”
[Tafsir Al-Qurtubhi
14/496]
Larangan Berdzikir dan Berbicara Di dalam Toilet
Dari
Ibnu Umar RA, dia berkata,
أَنَّ رَجُلًا مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ
Seorang laki-laki lewat, sedangkan Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang
kencing, lalu ia memberi salam kepada Rasulullah صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, tetapi beliau tidak menjawabnya. (HR
Jama’ah kecuali Bukhori, Nailul Authar Hadist No. 79)
Dan dari Abi Sa’id, ia berkata,
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ : لَا يَخْرُجُ الرَّجُلَانِ يَضْرِبَانِ الْغَائِطَ كَاشِفَيْنِ
عَوْرَتَهُمَا يَتَحَدَّثَانِ فَإِنَّ اللَّهَ يَمْقُتُ عَلَى ذَلِكَ
Aku mendengar Nabi صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda: “Janganlah dua orang laki-laki
keluar buang Air dengan membuka auratnya sambil berbicara, karena sesungguhnya
Allah murka dengan yang demikian itu” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, Nailul Authar Hadist No. 80)
Ibnu Hajar berkata :
وَالْحَدِيث يَدُلّ عَلَى وُجُوبِ سَتْرِ الْعَوْرَةِ وَتَرْكِ الْكَلَامِ فَإِنَّ التَّعْلِيلَ بِمَقْتِ اللَّهِ تَعَالَى
يَدُلُّ عَلَى حُرْمَةِ الْفِعْلِ
Dan hadist ini sebagai dalil atas wajibnya
menutup aurat dan meningalakan pembicaraan, karena alasan-alasan akan
mendapatkan kemurkaan Allah Ta’ala itu, menunjukan atas haramnya pekerjaan
tersebut. [Fathul Baari,
Maktabah Syamilah]
Dalam kitabnya Al adzkar,
Imam Nawawi As Syafi’I mengatakan,
يكرهُ الذكرُ والكلامُ
حالِ قضاءِ الحاجةِ ، سواءٌ كان في الصحراءِ أو في البنيانِ ، وسواءٌ في ذلك جميعُ
الأذكارِ والكلامِ إلا كلامُ الضرورةِ حتى قال بعضُ أصحابِنا : إذا عطِسَ لا يَحْمَدِ
اللهَ تعالى ، ولا يُشَمِّتْ عاطِساً ، ولا يَرُدُّ السلامَ ، ولا يُجيبُ المؤذنُ
، ويكون المُسَلِّمُ مُقَصِّراً لا يستحقُّ جواباً ، والكلامُ بهذا كلُّه مكروهٌ
كراهةُ تنزيهِ ولا يَحْرُمُ ، فإن عَطَسَ فحمِد اللهَ تعالى بقلبهِ ولم يحرك لسانَه
فلا بأسَ ، وكذلك يفعلُ حالَ الجماعِ .
“Makruh hukumnya
berdzikir dan berbicara di saat buang hajat, baik itu dilakukan di alam terbuka
ataupun di dalam kamar kecil. Hal itu berlaku untuk semua jenis dzikir dan
pembicaraan. Kecuali omongan yang diucapkan dalam keadaan dharurat. Bahkan
sebagian ulama kita (kalangan Syafi’iyyah) mengatakan : Tidak diperkenankan
bagi orang yang bersin untuk membaca Hamdalah, atau menjawab hamdalahnya orang
yang bersin, tidak menjawab salam, dan tidak menjawab adzan. Orang yang memberi salam
kepada yang sedang menunaikan hajat, adalah orang yang ngawur dan tidak berhak
dijawab. Hukum mengenai ini semua adalahmakruh
tanzih dan bukan haram.
Jika dia bersin dan mengucapkan hamdalah dalam hatinya dan tidak melafadzkannya
dengan lisannya maka tidaklah mengapa. Demikain jugalah yang perlu dilakukannya
saat melakukan jima”
[Al-Adzkar hal. 49]
Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah dikutip pendapat sebagai berikut :
قال ابن عابدين لو توضأَ في الخلاء فهل يأتي بالبسملة وغيرها من أدعية الوضوء مُراعاةً لسنته ؟
أو يتركها مراعاة للمحلِّ ؟ قال الذي يظهر الثاني لتصريحهم بتقديم النهي على الأمر
Berkata Imam Ibnu ‘Abidin : seandainya berwudhu dalam
toilet apakah tetap mendatangkan Basmalah atau dzikir – dzikir lainnya dalam
rangka menjaga kesunnahan dzikir tersebut…?, ataukah meninggalkan basmalah juga
dzikir – dzikir tersebut karena alasan tempat yang tidak layak untuk
berdzikir..?,maka Beliau berkata : pendapat yang kuat adalah pendapat yang
ke-dua yaitu meninggalkan basmalah atau dzikir-dzikir wudhu tersebut ,hal ini
menyesuaikan kaidah Mendahulukan larangan dari pada perintah.”. [Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyah 34/12]
Ibnu Hajar Al-Haitami
dalam kitab Tuhfatul Muhtaj berkata :
(وَلَا يَتَكَلَّمُ) أَيْ يُكْرَهُ لَهُ إلَّا لِمَصْلَحَةٍ
تَكَلَّمَ حَالَ خُرُوجِ بَوْلٍ أَوْ غَائِطٍ وَلَوْ بِغَيْرِ ذِكْرٍ أَوْ رَدِّ
سَلَامٍ لِلنَّهْيِ عَنْ التَّحَدُّثِ عَلَى الْغَائِطِ وَلَوْ عَطَسَ حَمِدَ بِقَلْبِهِ فَقَطْ كَمُجَامَعٍ، فَإِنْ تَكَلَّمَ وَلَمْ يُسْمِعْ نَفْسَهُ
فَلَا كَرَاهَةَ
Tidak boleh berbicara, yakni makruh kecuali karena danya
maslahat yakni berbicara ketika keluarnya air kencing atau atau kotoran
meskipun dengan dzikir yang lain atau menjawab salam, karena adanya larangan
untuk berbicara ketika buang air besar. Seandainya dia bersin cukup membaca
hamdalah (memuji Allah) dalam hatinya saja, sbagaimana juga orang yang
bersetubuh. Jika ia berbicara tapi tidak terdengar oleh dirinya, maka tidak
makruh.
[Tuhfatul Muhtaj. Maktabah
Syamilah].
Al-Qolyubui dalam Kitab Qolyubi wa ‘umairoh berkata :
(ولا يحمل) في الخلاء (ذكر الله تعالى) أي مكتوب ذكر من قرآن أو
غيره تعظيما له وحمله
“ dan dilarang (makruh) berdzikir di dalam toilet, baik
dzikir itu yang terdapat dari ayat Al-qur’an ataupun dzikir- dzikir lainnya
dengan tujuan penghormatan / ta’dzim pada keagungan Kalimat Dzikir tadi ”. [Qolyubi
wa ‘umairoh juz 1 – 44].
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar