HUKUM PUASA BAGI ORANG SAKIT
Oleh : Masnun
Tholab
DALIL-DALIL
Allah ta’ala berfirman :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka bagia
siapa diantara kamu sakit atau dalam bepergian, maka hitungan tersebut dikerjakan
di hari-hari lain” (QS. Al-Baqarah : 184)
Dari Muadz, dia berkata :
إِنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ،
فَأَنْزَلَ اللهُ) يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ (البقرة: 183 )
إِلَى هَذِهِ الْآيَةِ ,وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ ( البقرة: 184 ) قَالَ: فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ
شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ
ذَلِكَ عَنْهُ
قَالَ: ثُمَّ
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى :شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ (البقرة: 185) إِلَى قَوْلِهِ :فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ (البقرة: 185) قَالَ: فَأَثْبَتَ اللهُ صِيَامَهُ
عَلَى الْمُقِيمِ الصَّحِيحِ، وَرَخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ وَثَبَّتَ
الْإِطْعَامَ لِلْكَبِيرِ الَّذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ،
Sesungguhnya
Allah ta’ala mewajibkan padanya untuk berpuasa, maka Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183) sampai nfirmanNya, “......Dan wajib
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, yaitu memberi makan orang
msikin......” (QS. Al Baqarah: 184) hingga
siapa yang suka, maka ia berpuasa, dan siapa yang tidak, diberi makannya
seorang miskin, dan itu sudah cukup”. Kemudian Allah menurunkan ayat lain,
“Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya
Al Qur’an...” sampai firmanNya, “....Karena itu, barangsiapa diantara kamu ada di
bulan itu, maka berpuasalah....” (QS. Al Baqarah: 185)
Dengan begitu, ditetapkanlah
kewajiban berpuasa kepada orang-orang mukmin dan orang-orang yang sehat, dan
diberi keringan bagi orang yang sakit dan musafir, serta diwajibkan membayar
fidyah bagi orang yang tak kuat berpuasa lagi” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
Baihaqi dengan sanad yang kuat).
PENJELASAN (PENDAPAT) PARA ULAMA
Sayid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah
berkata :
والمرضُ المبيحُ للفطرِ، هو المرضُ الشديدُ الذي يزيدُ
بالصومِ، أو يخشى تأخر بُرْئهُ
قال في المغني: " وحكى عن بعضِ السلفِ: أنه أباحَ
الفطرَ بكل مرضٍ، حتى من وجعِ الاصبعِ والضِرسِ، لعمومِ الآيةِ فيهِ، ولان
المسافرَ يُباحُ له الفطرُ، وإن لم يَحتجُّ إليه، فكذلك المريضُ " وهذا مذهبُ
البخاري، وعطاءٌ، وأهلِ الظاهر
Sakit yang menyebabkan bolehnya
berbuka adalah sakit berat yang akan bertambah parah dengan berpuasa atau
dikhawatirkan akan memperlambat kesembuhan.
Pengarang Al-Mughni berkata,
“Menurut berita, ada beberapa ulama salaf yang membolehkan berbuka karena
segala macam penyakit, bahkan walau karena sakit pada anak jari atau geraham
sekalipun. Alasannya adalah karena umumny ayat, juga karena musasfir dibolehkan
berbuka walau ia tidak memerlukannya. Maka, begitu pula orang yang sakit”. Hal
itu juga merupakan pendapat Bukhari, Atha’ dan Ahlus Zahir.
والصحيحُ الذي يخافُ المرضُ بالصيامِ، يُفْطِرُ، مثلُ
المريض وكذلك مَن غلبهُ الجوعُ أو العطشُ، فخافَ الهلاكَ، لَزِمَهُ الفطرُ وإن كان صحيحاً مقيماً
وعليه القضاءُ
.قال الله تعالى: (ولا تَقتلوا أنفسكم
إن الله كان بكم رحيما .وقال تعالى
(وما جعل عليكم في الدين من حرج ).وإذا صام المريضُ، وتَحْمِلُ
المَشَقَّةُ، صحَّ صومُه، إلا أنه يكرهُ له ذلك لِاعْراضِه عن الرُّخصةِ التي
يُحِبُّها اللهُ، وقد يَلْحَقَهُ بذلك ضررٌ
Orang yang sehat yang takut akan
jatuh sakit karena berpuasa, maka boleh berbuka seperti orangg yang sakit,
begitu pula orang yang sangat kelaparan atau kehausan hingga mungkin celaka,
hendaknya ia berbuka dan mengqadha, walaupun ia seorang yang sehat dan buka
musafir.
Allah ta’ala berfirman,
“....Dan janganlah kamu bunuh
dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa : 29)
FirmanNya, “....Dan Dia tidak
menjadikan kesukaran untukmu dalam agama....” (QS. Al-Hajj : 78)
Seandainya orang sakit berpuasa dan
rela menanggung penderitaan, maka puasanya sah, hanya saja tindakannya itu
makruh hukumnya karena tidak hendak menerima keringanan yang disukai Allh, dan
siapa tahu mungkin ia mendapat bahaya karena perbuatannya itu. [Fiqih Sunnah,
2/39].
Imam Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth
Thalibin berkata :
فَالْمَرَضُ وَالسَّفَرُ، مُبِيحَانِ بِالنَّصِّ
وَالْإِجْمَاعِ، وَكَذَلِكَ مَنْ غَلَبَهُ الْجُوعُ أَوِ الْعَطَشُ، فَخَافَ
الْهَلَاكَ، فَلَهُ الْفِطْرُ وَإِنْ كَانَ مُقِيمًا صَحِيحَ الْبَدَنِ ثُمَّ
شَرْطُ كَوْنِ الْمَرَضِ مُبِيحًا، أَنْ يُجْهِدَهُ الصَّوْمُ مَعَهُ، فَيَلْحَقُهُ
ضَرَرٌ يَشُقُّ احْتِمَالُهُ عَلَى مَا ذَكَرْنَا مِنْ وُجُوهِ الْمَضَارِّ فِي
التَّيَمُّمِ.ثُمَّ الْمَرَضُ إِنْ كَانَ
مُطْبِقًا، فَلَهُ تَرْكُ النِّيَّةِ بِاللَّيْلِ
Orang yang sakit dan dalam
perjalanan dibolehkan berbuka puasa berdasarkan nash dan ijma’. Begitu juga
orang yang sangat kelaparan dan kehausan, jika ia takut akan terjadi sesuatu
yang merusak dirinya jika terus melakukan puasa, maka ia boleh berbuka walaupun
badannya masih sehat. Syarat bolehnya berbuka bagi orang yang sakit adalah
orang yang sengaja melakukan puasa pada saat sakit, kemudian akan terjadi
sesuatu yang sangat menimbulkan madharat, dan kemungkinan hal tersebut sdeperti
yang telah kita jelaskan, yaitu dari peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan
madharat di dalam tayamum. Orang yang sakit apabila
sakitnya parah, maka ia boleh tidak berniat puasa di malam hari. [Rhaudhatuth
Thalibin, 2/370]
Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab
Nihayatus Zain, berkata :
فللمريضِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ إِن تَوَهَّمَ
ضَرَرا يُبِيحُ التَّيَمُّمُ كرهَ لَهُ الصَّوْمُ وَجَازَ لَهُ الْفطرُ وَإِن تَحققَّ
الضَّرَرَ الْمَذْكُورَ أَو غَلَبَ على ظَنّهِ أَو انْتهى بِهِ الْعذرُ إِلَى
الْهَلَاكَ أَو ذهَابُ مَنْفَعَةٍ عُضْوٍ حرمَ الصَّوْمُ وَوَجَب الْفطرُ وَإِن
كَانَ الْمَرَضُ خَفِيفًا بِحَيْثُ لَا يتَوَهَّمُ فِيهِ ضَرَرا يُبِيحُ
التَّيَمُّمُ حرمَ الْفطرُ وَوَجَب الصَّوْمُ مَا لم يَخفْ الزِّيَادَةَ
Bagi orang yang sakit ada 3 keadaan,jika
disalah pahami bahwa sakit tersebut menjadi berbahaya yang membolehkan tayamum
maka makruh untuk berpuasa dan boleh tidak berpuasa (ifthor). Jika jelas adanya
bahaya yang dimaksud atau menurut persangkaan yang kuat atau udzurnya sampai
menjadikannya binasa atau hilangnya manfaat anggota tubuh maka haram untuk
berpuasa dan wajib ifthor. Jika sakitnya ringan sekira tidak disalah pahami
bahwa sakit tsb berbahaya yang membolehkan tayammum maka haram untuk ifthor dan
wajib berpuasa selagi tidak khawatir adanya tambahan pada sakit tersebut. [Nihayatus Zain,
hal 189]
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar