SHALAT
BAGI ORANG SAKIT
Oleh
: Masnun Tholab
DALIL-DALIL
Firman Allah Ta’ala :
وما جعلَ عليكم في الدينِ من حرجٍ
“....Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam
agama....” (QS. Al-Hajj : 78)
Allah
Ta’ala berfirman :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah
semampu kalian.” (QS. At Taghobun: 16).
Dari
Abu Hurairah , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika kalian diperintahkan pada
sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan
Muslim no. 1337,).
Dari
Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كانتْ بي
بَواسيرُ ، فسأَلتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عنِ الصلاةِ ، فقال : صَلِّ
قائمًا ، فإن لم تستَطِع فقاعدًا ، فإن لم تستَطِعْ فعلى جَنبٍ
“Aku
pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda:
shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika
tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping” (HR. Al Bukhari, no.
1117).
Dari
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
صَلَّى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا
بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا سَفَرٍ "، قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ:
فَسَأَلْتُ سَعِيدًا: لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ،
كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
“Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar di Madihah, bukan karena ketakutan maupun safar.
Abuz-Zubair berkata : “Lalu aku bertanya kepada Sa’iid : ‘Mengapa beliau
melakukannya ?’. Ia (Sa’id) berkata : ‘Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas
sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku, lalu ia menjawab : ‘Beliau صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ingin agar tidak menyusahkan seorang pun
di kalangan umatnya” [HR. Muslim no. 705].
Hisam
bin Urwah mengatakan,
أَنَّ
أَبَاهُ عُرْوَةَ وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنَ الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا
يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا
جَمَعُوْا بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al
Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam bin Al
Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang
hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.”
(HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 3: 169).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no.
583)
PENJELASAN
PARA ULAMA
Shalat
Dengan Duduk Atau Berbaring
Berkata Ibnu
Qudamah
وَمَتَى
قَدَرَ الْمَرِيضُ فِي أَثْنَاءِ الصَّلَاةِ، عَلَى مَا كَانَ عَاجِزًا عَنْهُ،
مِنْ قِيَامٍ، أَوْ قُعُودٍ، أَوْ رُكُوعٍ، أَوْ سُجُودٍ، أَوْ إيمَاءٍ، انْتَقَلَ
إلَيْهِ، وَبَنَى عَلَى مَا مَضَى مِنْ صَلَاتِهِ. وَهَكَذَا لَوْ كَانَ قَادِرًا،
فَعَجَزَ فِي أَثْنَاءِ الصَّلَاةِ، أَتَمَّ صَلَاتَهُ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ؛
لِأَنَّ مَا مَضَى مِنْ الصَّلَاةِ كَانَ صَحِيحًا، فَيَبْنِي عَلَيْهِ، كَمَا
لَوْ لَمْ يَتَغَيَّرْ حَالُهُ.
“dan
kapanpun orang yang sakit memiliki kemampuan di pertengahan shalatnya yang dia
tidak mampu sebelumnya berupa berdiri, duduk, ruku’, sujud, atau berisyarat,
maka ia pindah kepada yang ia mampu tersebut, dan ia tetap lanjutkan terhadap
shalat yang sebelumnya, dan begitu juga seandainya ia mampu (di awal shalatnya)
kemudian tidak mampu dipertengahan shalatnya, makai a sempurnakan shalatnya sesuai
dengan keadaannya, karena apa yang telah lalu dari shalatnya sah, maka ia tetap
membangun shalat dengan yang telah lalu sebagaimana seandainya keadaannya
berubah. [Al-Mughni 2/110].
Bagaimana jika orang yang sakit tersebut
dirawat di Rumah Sakit, dan tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat?
Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin, menjelaskan :
وَمِنْهَا:
اِسْتِقْبَالُ اَلْقِبْلَةِ:
قَالَ
تَعَالَى: { وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ اَلْمَسْجِدِ
اَلْحَرَامِ }
Di
antara syarat shalat lainnya adalah menghadap kiblat. Allah Ta’alaberfirman
(yang artinya), “Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 150)
فَإِنْ عَجَزَ
عَنِ اسْتِقْبَالِهَا لَمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ سَقَطَ كَمَا تَسْقُطُ جَمِيْعُ
الوَاجِبَاتِ بِالعَجْزِ عَنْهَا
قاَلَ
تَعَالَى: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Ketika
tidak mampu menghadap kiblat karena sakit atau sebab lainnya, maka menghadap
kiblat jadi gugur sebagaimana semua kewajiban jadi gugur ketika tidak mampu.
Karena Allah Ta’ala berfriman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah
semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).
Menjama’ Shalat Karena Sakit
Ibnu
Qudaamah rahimahullah berkata:
وَحَدِيثُ
ابْنِ عَبَّاسٍ حَمَلْنَاهُ عَلَى حَالَةِ الْمَرَضِ ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَنَاوَلَ
مَنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ ، كَالْمُرْضِعِ ، وَالشَّيْخِ الضَّعِيفِ ،
وَأَشْبَاهِهِمَا مِمَّنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ فِي تَرْكِ الْجَمْعِ
“Dan
hadits Ibnu ‘Abbaas kami bawa maknanya pada keadaan beliau shallallaahu
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ sedang sakit. Dan diperbolehkan pula bagi orang yang mengalami
kesulitan seperti wanita yang menyusui, orang tua yang lemah, lainnya yang akan
mengalami kesulitan jika ia meninggalkan jamak” [Al-Mughniy, 1/121].
Sayyid
Sabiq berkata :
ذهب الإمامُ احمدَ والقاضى حسينٍ والمتولى من الشافعيةِ إلى جوازِ الجمعِ
تقديمًا وتأخيرًا بعذرِ المرضِ لأنَّ المشقةَ فيه أشدُّ من المطَرِ. قال النووىُ
وهو قوىٌّ فى الدليلِ
Imam
Ahmad, Qadhi Husain, Khaththabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’i
membolehkan menjamak, baik takdim maupun ta’khir, disebabkan sakit, dengan
alasan karena kesukaran di waktu itu lebih bear daripada kesukaran di waktu
hujan. Nawawi berkata, “Dari segi alasan, pendapat ini adalah kuat”. [Fiqih
Sunnah 1/209 (1/ 440)].
Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar