Selasa, 04 Oktober 2022

IKHLAS DALAM BERAMAL

 

IKHLAS DALAM BERAMAL

Oleh : Masnun Tholab

 

Syarat Diterimanya Amal

Para ulama berpendapat bahwa syarat diterimanya amal ada dua, yaitu amal itu ikhlas semata-mata mencari ridha Allah, dan benar  yaitu mengikuti sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم

Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 110 :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا 

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya” (QS. Al-Kahfi/18:110)

 

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan,

وَهَذَانِ رُكْنَا الْعَمَل الْمُتَقَبَّل لَا بُدّ أَنْ يَكُون خَالِصًا لِلَّهِ صَوَابًا عَلَى شَرِيعَة رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dua hal ini merupakan rukun diterimanya amalan, yaitu amalan itu harus murni untuk Allâh, benar sesuai syari’at Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم.”[Tafsir surat al-Kahfi]

 

Fadho’il bin Iyadh berkata,

إنَّ العملَ إذا كان خالصاً ، ولم يكن صواباً ، لم يقبل ، وإذا كان صواباً ، ولم يكن خالصاً ، لم يقبل حتّى يكونَ خالصاً صواباً ، قال : والخالصُ إذا كان لله - عز وجل - ، والصَّوابُ إذا كان على السُّنَّة  .

“Sesungguhnya suatu perbuatan apabila dilaksanakan dengan ikhlas tapi tidak benar maka tidak diterima, apabila benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai menjadi ikhlas dan benar. Dia berkata, yang ikhlas adalah apabila karena Allah ta’ala, yang benar adalah apabila sesuai sunnah”. (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)

 

Dalil-Dalil Tentang Pentingnya Ikhlas Dalam Beramal

Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Al-Bayinah ayat 5 :

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.

 

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi berkata :

وَفِي هَذَا دَلِيل عَلَى وُجُوب النِّيَّة فِي الْعِبَادَات فَإِنَّ الْإِخْلَاص مِنْ عَمَل الْقَلْب وَهُوَ الَّذِي يُرَاد بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى لَا غَيْره

Pada ayat ini terdapat dalil kewajiban untuk berniat dalam melaksanakan suatu ibadah, karena keikhlasan itu hanya ada di dalam hati, yaitu yang dilaksanakan dengan maksud hanya untuk mencari keridhaan Allah, bukan karena maksud lainnya. (Tafsir Al-Qurthubi 20/616).

 

Dari Amir al-Mukminin Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

 

“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907)


Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan

وَاسْتُدِلَّ بِهَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز الْإِقْدَام عَلَى الْعَمَل قَبْل مَعْرِفَة الْحُكْم ؛ لِأَنَّ فِيهِ أَنَّ الْعَمَل يَكُون مُنْتَفِيًا إِذَا خَلَا عَنْ النِّيَّة ، وَلَا يَصِحّ نِيَّة فِعْل الشَّيْء إِلَّا بَعْد مَعْرِفَة الْحُكْم

Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).

 

Pengertian Ikhlas

Abu Muhammad Sahl bin Abdullah At-Tastari berkata,

نَظَرَ الْأَكْيَاسُ فِي تَفْسِيرِ الْإِخْلَاصِ فَلَمْ يَجِدُوا غَيْرَ هَذَا أَنْ تَكُونَ حَرَكَاتُهُ وَسُكُونُهُ فِي سِرِّهِ وعلانيته لله تعالى وحده لا يمازجه شئ لَا نَفْسٌ وَلَا هَوًى وَلَا دُنْيَا:

 “Orang-orang bijak telah menganalisa tafsiran ikhlas. Ternyata mereka tidak menemukan hal lain, yaitu bahwa gerak-gerik dan diamnya dalam batin maupun dzahirnya hanya karena Allah semata, tidak boleh dicampuri apapun, baik nafsu,keinginan maupun dunia”

[Dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 1/55]

Jadi, ikhlas adalah melakukan perbuatan apapun atau tidak melakukan apapun, semata-mata dalam rangka mencari ridha Allah Subhanahu wata’ala, bukan dalam rangka mencari ridha manusia.

 

Ciri-ciri Perbuatan Ikhlas

Dzu An-Nun berkata’

ثَلَاثَةٌ مِنْ عَلَامَاتِ الْإِخْلَاصِ اسْتِوَاءُ الْمَدْحِ وَالذَّمِّ مِنْ الْعَامَّةِ وَنِسْيَانُ رُؤْيَةِ الْأَعْمَالِ فِي الْأَعْمَالِ وَاقْتِضَاءُ ثَوَابِ الْعَمَلِ فِي الْآخِرَةِ

“Ada tiga perkara yang menjadi tanda-tanda keikhlasan, yaitu : pujian dan cacian dari kaum awam sama, lupa melihat amal dalam beramal, dan mengharap pahala amal di akhirat”

[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 1/55-57]

 

Kesimpulan

Ikhlas adalah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka mencari ridho Allah Subhanahu wata’ala. Ikhlas hanya bisa tercapai jika amalan yang kita lakukan benar, yaitu sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...