HUKUM PUASA BAGI ORANG HAMIL DAN MENYUSUI
Oleh : Masnun Tholab
DALIL-DALIL
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (Q.S.
Al-Baqarah: 185).
Dari Anas bin Malik, bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ
عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa
dari wanita hamil dan menyusui.” (HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad
5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
ini hasan)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh
wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,
أنتِ
بِمنزلةِ الكبيرِ لا يُطيقُ الصيامُ ، فأفطِري وأطعَمي عن كل يومٍ نصفِ صاعٍ من
حنطة
“Engkau
seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan
kepada orang miskin setengah sho’ gandum untuk setiap
hari yang ditinggalkan.” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad
yang shahih)
Dari Ibnu Umar,.
أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها
أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت
“ada seorang wanita hamil yang berpuasa di
bulan Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar,
lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar
fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak menganggap itu cukup, ia
memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al
Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)
PENJELASAN/PENDAPAT ULAMA
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdab berkata :
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّهُمَا إنْ خَافَتَا عَلَى
أَنْفُسِهِمَا لَا غَيْرَ أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلَدِهِمَا أَفْطَرَتَا
وَقَضَتَا وَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِمَا بِلَا خِلَافٍ وَإِنْ أَفْطَرَتَا
لِلْخَوْفِ عَلَى الْوَلَدِ أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا وَالصَّحِيحُ وُجُوبُ
الْفِدْيَةِ
Telah kami jelaskan,
pendapat madzhab kami, bahwa perempuan hamil dan menyusui jika keduanya merasa
khawatir dirinya, bukan atas lainnya, atas dirinya dan anaknya, lalu berbuka
dan mengganti puasanya, maka tidak ada kewajiban membayar fidyah baginya, dalam
hal ini tidak ada perselisihan pendapat (di kalangan para ulama madzhab
Syafi’i). Dan jika keduanya berbuka karena merasa khawatir atas anaknya dan
mengganti puasanya, maka pendapat yang benar, mereka wajib membayar fidyah.
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَلِلْعُلَمَاءِ فِي ذلك أربع مَذَاهِبَ قَالَ ابْنُ
عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ وَلَا
قَضَاءَ عَلَيْهِمَا ,وَقَالَ عَطَاءُ
بْنُ أَبِي رَبَاحٍ وَالْحَسَنُ وَالضَّحَّاكُ وَالنَّخَعِيُّ وَالزُّهْرِيُّ
وَرَبِيعَةُ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالثَّوْرِيُّ وَأَبُو عُبَيْدٍ
وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ يُفْطِرَانِ وَيَقْضِيَانِ وَلَا فِدْيَةَ
كَالْمَرِيضِ ,وَقَالَ الشَّافِعِيُّ
وَأَحْمَدُ يُفْطِرَانِ وَيَقْضِيَانِ وَيَفْدِيَانِ وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ
مُجَاهِدٍ ,وَقَالَ مَالِكٌ
الْحَامِلُ تُفْطِرُ وَتَقْضِي وَلَا فِدْيَةَ والمرضع تفطر وتقضى وتفدى قال ابن
المنذر وبقول عطاء أقول
Ibnul Mundzir berkata :
Dalam masalah ini ada empat pendapat dikalangan para ulama :
[Pendapat pertama] Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas dan Sa’id bin Jubair berpendapat bahwa boleh keduanya tidak puasa dan
ada kewajiban fidyah, namun tidak ada qadha’ bagi keduanya.
[Pendapat kedua] ‘Atho’ bin Abi
Robbah, Al Hasan, Adh Dhohak, An Nakho’i, Az Zuhri, Robi’ah, Al Awza’i, Abu
Hanifah, Ats Tsauri, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan ulama Zhahiri berpendapat bahwa
keduanya boleh tidak puasa namun harus mengqadha’, tanpa ada fidyah. Keadaannya
dimisalkan seperti orang sakit.
[Pendapat ketiga] Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad berpendapat bahwa keduanya boleh tidak puasa, namun wajib menunaikan
qadha’ dan fidyah sekaligus. Pendapat ini juga dipilih oleh Mujahid.
[Pendapat keempat] Imam Malik berpendapat bahwa wanita
hamil boleh tidak puasa, namun harus mengqadha’ tanpa ada fidyah. Namun untuk
wanita menyusui, ia boleh tidak puasa, namun harus mengqadha’ sekaligus
menunaikan fidyah. Ibnul Mundzir setelah menyebutkan pendapat-pendapat ini, ia
lebih cenderung pada pendapat ‘Atho’ yang menyatakan ada kewajiban qadha’, tanpa
fidyah. (Lihat Al Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, 7: 46)
Asy-Syaukani dalam kitab
Nailul Authar berkata :
قَالَ فِي المقنع: وَمَنْ عَجَزَ عَنْ الصَّوْمِ لِكِبَرٍ أو مَرضٍ لا يُرْجى بُرْؤُه أَفْطَرَ
وَأَطْعَمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَالْحامل وَالْمُرْضِعُ إذَا خَافَتَا
عَلَى أَنْفسِهِمَا أَفْطَرَتَا وَقَضَتَا، وَإنْ خَافَتَا عَلَى وَلَدِيهِمَا
أَفْطَرَتَا وقَضتَا وَأَطْعَمَتَا.
Disebutkan dalam kitab
Al-Muqni : Barangsiapa tidak mampu berpuasa karena lanjut usia atau sakit yang
tidak dapat diharapkan kesembuhannya, maka boleh berbuka dan memberi makan
seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Juga wanita hamil dan
menyusui, jika mereka menghawatirkan keselamatan dirinya, mereka boleh berbuka
lalu nantinya mengqadha, namun hanya bila mengkhawatirkan anaknya (janinnya)
saja, maka mereka boleh berbuka lalu memmberi makan orang miskin, dan
mengqadha. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar, 2/384].
Syekh
Abu Bakar Muhammad Syatho dalam
kitab Hasyiyah I’anah ath-Thalibin menjelaskan :
والمرادُ بالخوفِ على الولدِ: الخوفُ على إسقاطهِ بالنِسْبَةِ
للحَامِلِ
“Yang
dimaksud dengan ‘khawatir pada kandungan’ adalah khawatir gugurnya kandungan
(apabila melanjutkan puasa) bagi orang yang sedang hamil” (Hasyiyah I’anah
at-Thalibin, juz 2, hal. 273).
Muhammad Khatib asy-Syarbini, dalam kitab Mughni
al-Muhtaj menjelaskan :
وَلَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ مِنْ الْفِدْيَةِ إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ
كُلَّ يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ
“Baginya
boleh mendistribusikan semua jumlah fidyah kepada satu orang karena setiap hari
adalah ibadah yang independen”. (Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh
al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 442)
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar