HUKUM
MEMBACA
AL-QURAN DENGAN SUARA KERAS
Oleh : Masnun Tholab
DALIL-DALIL
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, beliau
bersabda,
ما أذن الله لشيء ما أذن لنبي
حسنِ الصوت يَتَغَنَّى بالقرأن, يجهربه
“Tidaklah Allah berkenan mendengarkan sesuatu seperti Dia
mendengar nabiNya yang membaguskan suaranya ketika membaca Al-Qur’an sambil
melagukannya, kemudian ia mengeraskan bacaannya tersebut” (HR. Muslim no. 1844;
An-Nasa’I no. 1017)
Dari Aisyah RA, dia berkata,
ان النبي صلى الله عليه
وسلم سمع رجلا يقرأ من الليل فقال يَرْحَمُهُ
اللهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِي كَذَا وَكَذَا آيَةً كنت أسقطتها من سورة كذا وكذا
“Bahwasanya
Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mendengar seseorang membaca
Al-Qur’an di malam hari, lalu beliau bersabda : ‘Semoga Allah merahmatinya. Sungguh, ia
mengingatkanku dengan ayat ini dan itu, ayat yang telah luput dariku di surat ini dan surat
itu’” (HR. Bukhari no. 5038; Muslim no. 1834)
Imam
An-Nawawi berkata mengomentari hadits di atas:
فِي
هَذِهِ الْأَلْفَاظِ فَوَائِدُ مِنْهَا جَوَازُ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالْقِرَاءَةِ
فِي اللَّيْلِ وَفِي الْمَسْجِدِ وَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ إِذَا لَمْ يُؤْذِ أَحَدًا
وَلَا تَعَرَّضَ لِلرِّيَاءِ وَالْإِعْجَابِ وَنَحْوِ ذَلِكَ
“Dari
lafazh-lafazh hadits tadi terdapat beberapa faidah di antaranya bolehnya
mengeraskan suara dalam membaca Al-Quran di malam hari dan di masjid. Dan itu
tidak makruh jika tidak mengganggu orang lain dan
tidak mengantarkan kepada riya, bangga dan semacamnya.
(Syarh
Shahih Muslim 4/438)
firman Allah SWT:
اقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْواتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان: ١٩
"Dan biasalah dalam berjalanmu (tidak
terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dan kurangilah volume suaramu (tidak
memaksakan diri untuk terlalu keras, namun sesuai kebutuhannya). Sungguh suara
yang paling diingkari (paling jelek) adalah suara keledai (yang terlalu
keras)," (QS. Luqman ayat 19).
Saat menjelaskan ayat ini pakar tafsir
berdarah Cordova, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam tafsirnya mengatakan:
لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا
تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ
يُؤْذِي.
“Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara
dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan
itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.”
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu,
dia berkata,
اعْتَكَفَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَسْجِدِ ، فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ
بِالْقِرَاءَةِ ، فَكَشَفَ السِّتْرَ ، وَقَالَ : أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ
رَبَّهُ ، فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ، وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ ، أَوْ قَالَ : فِي الصَّلاَةِ
Saat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ber I’tikaf di masjid, beliau
mendengar para sahabat beliau mengeraskan bacaan Al-Qur’an. Lalu beliau membuka
kain penutup dan bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya setiap kalian bermunajat kepada Rabb-nya.
Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian
kalian meninggikan suara bacaan atas sebagian yang lain” (HR. Abu Dawud no.
1332; Ibnu Khuzaimah no. 1100; Ahmad no. 12219)
Imam Al-Ghazali
dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menceritakan :
Sa’id bin Musayyab
pada suatu malam di salam masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
mendengar Umar bin Abdul Aziz RA membaca keras di dalam shalatnya dan ia bagus
suaranya. Maka Sa’id berkata kepada budaknya, “Pergilah kepada orang yang
sedang shalat itu, perintahkan agar ia merendahkan suaranya”. Maka budak itu
berkata, “Masjid ini bukan milik kita, dan seseorang mempunyai bagian padanya”.
Lalu Sa’id mengeraskan suaranya dan berkata,
يا أيها المصلي إن
كنت تريد الله عز وجل بصلاتك فاخفض صوتك وإن كنت تريد الناس فإنهم لن يغنوا عنك من
الله شيئاً
“Hai orang
yang sedang shalat, jika kamu dengan shalatmu menghendaki Allah Azza wajalla,
rendahkanlah suaramu. Dan jika kamu menghendaki manusia, maka sesungguhnya
mereka itu tidak akan menjadikanmu kaya (tidak butuh) kepada Allah sedikitpun”
Maka Umar
bin Abdul Aziz diam dan meringankan shalatnya. Ketika ia lelah, lalu membaca
salam, kemudian ia mengambil sepasang sandalnya dan pergi. Pada waktu itu ia
adalah gubernur di Madinah. [Ihya ‘Ulumiddin 2/273]
Ibnu Hajar Al-Haitami
Asy-Syafi’i ketika ditanya tentang hukum membaca al-Qur’an dengan suara keras, berkata
:
وَالْجَهْرُ
بِحَضْرَةِ نَحْوِ مُصَلٍّ أو نَائِمٍ مَكْرُوهٌ كما في الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ
وَلَعَلَّهُ حَيْثُ لم يَشْتَدَّ الْأَذَى وَإِلَّا فَيَنْبَغِي تَحْرِيمُهُ
"Dan membaca dengan
keras tatkala ada orang yang sholat atau sedang tidur maka hukumnya makruh
–sebagaimana dalam kitab Al-Majmuu' dan kitab yang lainnya-. Hukum makruh ini
mungkin jika gangguan (terhadap orang yang sholat dan tidur-pen) tidaklah
parah, jika parah maka hukum membaca dengan keras adalah haram" [Al-Fataawaa
Al-Fiqhiyah Al-Kubro 1/157-158]
Sayyid
Sabiq berkata :
يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على
المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم
Mengeraskan
suara sehingga menyebabkan orang lain yang sedang shalat terganggu adalah
diharamkan, meskipun yang dibaca itu al-quran, kecuali jika sedang mempelajari
suatu ilmu.
[Fiqiih
Sunnah 1/373].
Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, dalam kitab
Fathul Mu’in, ketika membahas tentang anjuran membaca surat Al-Kahfi pada hari
jum’at, berkata :
ويُكرَهُ
الجهرُ بقراءةِ "الكهف" وغيره إن حصل به تَأَذٍّ لِمُصَلٍّ أو نائم كما صرّح النووي في كتبه وقال شيخنا في شرح العباب: ينبغي حُرْمَةَ
الجهرِ بالقراءة في المسجدِ. وحُمِلَ كلامُ النوويّ بالكراهة: على ما إذا خَفَّ
التأذّي، وعلى كون القراءة في غير المسجدِ
Makruh membaca surat Al-Kahfi atau surat lainnya dengan
suara keras sekira hal itu dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau
sedang tidur, sebagaimana penjelasan An-Nawawi dalam kitab-kitabnya.
Dalam Syarah Al-‘Ubah, syaikhuna berkata, “Semestinya
mengeraskan suara itu hukumnya haram, bila membacanya di masjid. Mungkin maksud
Imam Nawawi mengatakan makruh itu bila tidak terlalu mengganggu serta
membacanya bukan di masjid. [Fathul Mu’in 1/467]
Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar