MEMBACA FATIHAH DALAM
SHALAT BERJAMA’AH
Oleh : Masnun Tholab
DALIL-DALIL
Allah Ta’ala berfirman :
وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَٱسْتَمِعُوا۟
لَهُۥ وَأَنصِتُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al
Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu
mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf Ayat 204)
Dari Ubadah bin Shamit, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :
لَا
صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak
membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari,
Azan/714; Tirmidzi 247)
Dari Abu Hurairah RA :
أن رسول
اللّه صلى الله عليه وسلم انصرف مِنْ صَلَاةٍ جَهَرَ فِيْهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ
"هَلْ قَرَأَ مَعِيْ أَحَدٌ مِنْكُمْ آنِفاً"؟ فَقَالَ رَجُلٌ: نَعَمْ
يارسول اللّه، قال: "إِنِّي أَقُوْلَ مَا لِيْ أُنَازِعُ الْقُرْآنَ"؟
قال: فَانْتَهَى النَّاسَ عَنِ الْقِرَاءَةِ مَعَ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم فِيْمَا
جَهَرَ فِيْهِ النبي صلى الله عليه وسلم بالْقِرَاءَةِ مِنَ الصَّلَوَاتِ حِيْنَ سَمِعُوْا
ذَلِكَ مِنْ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم
Sesungguhnya Rasulullah صلى الله
عليه وسلم sesudah mendirikan sholat yang beliau
keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang
diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki
menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata,
"Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an
(juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari
membaca bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika
mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi صلى الله
عليه وسلم. (HR. Abu Dawud 826, Imam
Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).
Dari Jabir, dari Nabi صلى الله
عليه وسلم :
مَنْ
كَانَ لَهُ إِمَامً فَقَرَاءَةُ الْإِمَامَ لَهُ قَرَاءَ ةٌ
"Siapa mengikuti imam (dalam shalat), maka
bacaan imam adalah bacaan baginya." (HR. Ibnu Majah, Imam
Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan : Hadits tersebut
adalah hadits mursal (terputus), sehingga ia tidak bisa digunakan sebagi dalil.
[Subulussalam 1, hal. 455]
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :
إِذَ ا
كَبَّرَ الْإِمَامُ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ
فَأَنْصِتُوا ".
"Apabila imam bertakbir,
bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam
(sambil memperhatikan bacaan imam itu)…"(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Rasulullah
صلى الله
عليه وسلم bersabda :
وَإِذَا
قَرَأَالْإِمَامُ فَأَنْصِتُوا
“Kalau (imam) membaca, maka kalian hendaknya
diam”. (HR. Ahmad, Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam
mengatakan : Hadits tersebut adalah shahih)
Dari Ubadah bin Shamit :
صَلَّى بِنَا رسول الله صَلَاةَ الْغَدَاةِ
فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ.
فَلَمَّا انْصَرَفَ قال: إِنِّي لِأَرَاكُمْ تَقْرَءُوْنَ وَرَاءَ الْإِمَامِ، قُلْنَا:
نَعَمْ، قَالَ: فَلَا تَفْعَلُوْا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ
“Kami pernah melakukan sholat bersama
Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada
sholat Shubuh.
Beliau merasa berat untuk membaca (Alqur’an/Al-Fatihah). Setelah berpaling
(selesai sholat), beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kaum sekalian (mengetahuimu),
(apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian?’.Kami menjawab; ‘Ya’.
Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali
dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah)”. (HR.
Ahmad , Abu Dawud ,Tirmidzi ).
PENJELASAN/PENDAPAT ULAMA
Imam Ash-Shan’ani dalam
kitab Subulussalam mengatakan :
ثُمَّ ظَاهِرُ الْحَدِيثِ
وُجُوبُ قِرَاءَتِهَا فِي سِرِّيَّةٍ وَجَهْرِيَّةٍ لِلْمُنْفَرِدِ وَالْمُؤْتَمِّ.
أَمَّا الْمُنْفَرِدُ فَظَاهِرٌ، وَأَمَّا
الْمُؤْتَمُّ فَدُخُولُهُ فِي ذَلِكَ وَاضِحٌ
Secara zhahir, hadits tersebut (Hadits Ubadah bin Shamit ) menjelaskan bahwa surat
tersebut dibaca baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah. Baik untuk
orang yang mengerjakan shalat sendirian maupun sebagai makmum. Karena zhahir
hadits ini menjelaskan hokum untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian.
Sedangkan seorang makmum tidak diragukan bahwa ia termsuk dalam hukum ini. [Subulussalam
(1/454)]
Ibnu
Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
Di
dalam menjamak beberapa hadits di atas, kalangan fuqaha saling berbeda.
Terdapat fuqaha yang mengecualikan bacaan al-Fatihah dari seluruh bacaan
dalam shalat ketika imam membaca dengan jahr (keras). Dasarnya adalah
hadits Ubadah bin Shamit di atas. Di lain pihak, ada fuqaha yang berpendirian bahwa yang dikecualikan
adalah bacaan makmum ketika imam membaca dengan keras, karena adanya larangan
yang tersebut di dalam hadits Abu Hurairah di atas.
[Bidayatul Mujtahid
1, hal. 349]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah
berkata :
Pada asalnya shalat itu tidak sah kecuali dengan
membaca surah Al-Fatihah pada setiap rekaat shalat fardhu maupun shalat sunnah
sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Akan tetapi
kewajiban membaca bagi makmum digugurkan ketika mengerjakan shalat-shalat yang
mesti dikeraskan suaranya dan ia wajib diam dan mendengarkan bacaan imam.
[Fiqih Sunnah 1/223-224]
Syaikh Imam Al-Qurtubhi dalam kitab Tafsir
Al-Qurthubi berkata :
وَكَانَ
الشَّافِعِيُّ بِالْعِرَاقِ يَقُولُ فِي الْمَأْمُومِ: يَقْرَأُ إِذَا أَسَرَّ وَلَا يَقْرَأُ
إِذَا جَهَرَ، كَمَشْهُورِ مَذْهَبِ مَالِكٍ. وَقَالَ بِمِصْرَ: فِيمَا
يَجْهَرُ فِيهِ الْإِمَامُ بِالْقِرَاءَةِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْرَأَ
وَالْآخَرُ يُجْزِئُهُ أَلَّا يَقْرَأَ وَيَكْتَفِيَ بِقِرَاءَةِ الْإِمَامِ
Saat berada di Irak, Asy-Syafi’i pernah berkata
tentang seorang makmum, “Makmum harus membaca Al-Fatihah jika imam tidak
mengeraskan bacaannya. Tapi dia tidak wajib membacanya jika imam mengeraskan
bacaannya”. Pendapat ini persis seperti pendapat yang masyhur dalam madzhab
Malik. Sementara di Mesir,
Asy-Syafi’i berkata, “Untuk shalat dimana imam mengeraskan bacaannya, maka
dalam hal ini ada dua pendapat : Pertama, makmum harus membaca
Al-Fatihah. Kedua, akan dianggap cukup baginya jika dia tidak membaca
surah Al-Fatihah dan hanya mengandalkan bacaan imam. [Tafsir Al-Qurthubi
1, hal. 304]
Kapan Makmum Membaca
Fatihah?
Imam Nawawi, ulama madzhab
Syafi’I, dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
وَإِذَا قُلْنَا يَقْرَأُ
الْمَأْمُومُ فِي الْجَهْرِيَّةِ، فَلَا يَجْهَرُ بِحَيْثُ يَغْلِبُ جَهْرُهُ،
بَلْ يُسِرُّ بِحَيْثُ يُسْمِعُ نَفْسَهُ لَوْ كَانَ سَمِيعًا، فَإِنَّ
هَذَا أَدْنَى الْقِرَاءَةِ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْإِمَامِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ: أَنْ
يَسْكُتَ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ قَدْرَ قِرَاءَةِ الْمَأْمُومِ لَهَا
Jika kita katakan, “Makmum harus membaca Al-Fatihah dalam shalat yang dibaca
dengan suara keras, dan hendaklah dia tidak mengangkat suara melebihi suara
imam, akan tetapi hendaklah dia membacanya dengan sirr (pelan) sehingga hanya
didengar oleh dirinya sendiri jika dia dapat mendengar. Inilah standar minimal
surah Al-Fatihah. Berdasarkan pendapat ini, maka seorang imam dianjurkan untuk
diam setelah membaca Al-Fatihah yang lamanya sekitar selesainya makmum membaca
Al-Fatihah” [Raudhatuth Thalibin 1/221 (1/513)].
Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, ulama madzhab Syafi’i,
dalam kitab Fat-hul Mu’in berkata :
يسنُّ للامامُ أن
يسكتَ في الجهريةِ بقدرِ قراءةِ المأمومِ الفاتحةِ - إن علم أنه يقرؤَها في سكتةٍ
- كما هو ظاهرٌ، وأن يشتغِلَ في هذه السكتةِ بدعاءٍ أو قراءةٍ، وهي أولىَ
Pada shalat jahriyah imam disunatkan berdiam sebentar (jangan
cepat-cepat membaca surat), seukuran makmum membaca Fatihah. Bila ia mengetahui
makmum membaca Fatihah ketika ia diam itu, hendaknya ia menyibukkan diri dengan
membaca do’a atau membaca Quran. Hal itu lebih utama.
[Fat-hul Mu’in 1/80 (1/181)]
Abu
Bakar Ibnu Arabi mengatakan dalam kitab Fiqih Sunnah :
Jika
ada orang yang bertanya, sebenarnya makmum dibolehkan membaca Al-Quran, yaitu
sewaktu imam itu berhenti sejenak. Jawabnya adalah berhenti bukanlah suatu
keharusan bagi imam. Lantas bagaimanakah caranya melakukan atau memaksakan
sesuatu yang fardhu ke dalam perkara yang tidak fardhu, apalagi pada waktu
mengerjakan shalat yang harus menyarungkan suara bacaan? Sebenarnya, kita
sebagai makmum mempunyai kesempatan untuk membaca ayat Al-Quran dengan cara
lain, yaitu membacanya dalam hati, seperti merenung dan memikirkan maknanya.
[Fiqih Sunnah 1/223-224]
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar