Selasa, 04 Oktober 2022

MUSAFIR TIDAK WAJIB SHALAT JUM’AT?

 

MUSAFIR TIDAK WAJIB SHALAT JUM’AT?

Oleh : Masnun Tholab

 

DALIL-DALIL

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Jumu’ah: 9).

 

Dari Thoriq bin Syihab, dari Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ia bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

 

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ

Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir.” (HR. Ad Daruquthni, namun sanadnya dho’if).

 

Dari jabir RA, Rasulullah  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فعليه الجمعة الا على امرأة أو مسافر أو عبد أو مريض

 “Barang siapa iman kepada Allah dan hari akhir maka wajib baginya shalat jumat kecuali bagi perempuan, orang bepergian, hamba dan orang sakit” (HR. Baihaqi, no. 5634)

Dalam Al-Mausu’ah Alhaditsiyah dijelaskan : Sanadnya dha’if

 

Pertanyaan :

1.     Apakah Musafir diwajibkan shalat jum’at?

2.    Jika Musafir tidak diwajibkan shalat jum’at, bolehkah Musafir melakukan shalat Jum’at?

3.    Berapa jarak perjalanan musafir yang tidak diwajibkan shalat jum’at?

4.    Manakah yang lebih afdhal bagi Musafir, Shalat jum’at atau tidak shalat jum’at?

 

PENJELASAN/PENDAPAT ULAMA

Sayyid Sabiq menjelaskan tentang golongan yang tidak wajib shalat jum’at :

المسافر وإذا كان نَازِلًا وقتُ إقامتِها فإن أكثرَ أهلِ العلمِ يرونَ أنه لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِلان النبي صلى الله عليه وسلم كان يسافرُ فلا يصلي الجمعةَ فصلى الظهرَ والعصرَ جمعٌ تقديمٌ ولم يصل جمعتَهُ، وكذلك فعل الخلفاءُ وغيرُهم

Musafir (tidak diwajibkan shalat jum’at), meskipun pada saat shalat jum’at didirikan ia sedang berhenti. Mayoritas ulama berpendapat bahwa musafir tidak wajib mengerjakan shalat jum’at sebab Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ketika dalam perjalanan tidak mengerjakan shalat jum’at. Begitu juga pada saat beliau mengerjakan haji wada’ di Arafah yang jatuh pada hari jum’at, beliau hanya mengerjakan shalat dhuhur dan ashar secara jamak takdim dan tidak melakukan shalat jum’at. Demikian pula apa yang dilakukan oleh para khulafaur Rasyidin dan yang lainnya.

[Fiqih Sunnah, 1/461]

 

 

Dalam kitab Nihayatu az-Zain, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani  menjelaskan :

وَمن صحت ظُهرُهُ مِمَّن لَا تَلْزَمُهُ جُمُعَةٌ صحت جمعتُهُ وتُغْنِي  عَن ظُهره كَالصَّبِيِّ وَالْعَبْد وَالْمَرْأَة وَالْمُسَافر .

 “Orang yang sah salat duhur dan tidak memiliki kewajiban salat jum’at, maka jum’atnya tetap sah. Seperti anak kecil, budak sahaya, perempuan, dan musafir.”  [NihayatuzZain, hal. 36]

 

Ibnu Qudaamah Al-Hanbali dalam kitab Al-Mughni, menyatakan: 

وَأَمَّا الْمُسَافِرُ فَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنَّهُ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِ كَذَلِكَ. قَالَهُ مَالِكٌ فِي أَهْلِ الْمَدِينَةِ، وَالثَّوْرِيُّ فِي أَهْلِ الْعِرَاقِ، وَالشَّافِعِيُّ، وَإِسْحَاقُ، وَأَبُو ثَوْرٍ وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَطَاءٍ، وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالْحَسَنِ، وَالشَّعْبِيِّ. وَحُكِيَ عَنْ الزُّهْرِيِّ، وَالنَّخَعِيِّ، أَنَّهَا تَجِبُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ تَجِبُ عَلَيْهِ، فَالْجُمُعَةُ أَوْلَى

Sedangkan untuk musafir, sebagian besar ahli ilmu berpendapat bahwa tidak ada shalat Jumat baginya. Malik mengatakannya pada orang-orang Madinah. Ats-Tsauri pada orang-orang Irak, Asy-Syafi’i, Ishak, Abu Tsauri. Dan diriwayatkan dari Atha, Umar bin Abdul Aziz, Hasan dan Asy-Sya’bi. Diriwayatkan dari Al-Zuhri dan Al-Nakha'i bahwa dia (Musafir) wajib shalat jum’at; Karena berjamaah itu wajib baginya, dan shalat jum’at Jum'at adalah lebih utama.

وَلَنَا ، أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يُسَافِرُ فَلَا يُصَلِّي الْجُمُعَةَ فِي سَفَرِهِ وَكَانَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ، فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ، وَجَمَعَ بَيْنَهُمَا، وَلَمْ يُصَلِّ جُمُعَةً, وَالْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ -، كَانُوا يُسَافِرُونَ فِي الْحَجِّ وَغَيْرِهِ، فَلَمْ يُصَلِّ أَحَدٌ مِنْهُمْ الْجُمُعَةَ فِي سَفَرِهِ

Dan kami memiliki (dalil), “Sesungguhnya Rasululloh صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dahulu bepergian dan tidak sholat jum’at dalam safarnya. Beliau dulu dalam haji wada’ mendapatkan hari Arafah adalah hari jum’at, lalu beliau sholat zhuhur dan Ashar dengan di jama’ (dikumpulkan dalam satu waktu) dan tidak sholat jum’at.Dan juga Khulafaur Rasyidin RA, Mereka bepergian dalam perjalanan haji dan selain itu, tetapi tidak satupun dari mereka melakukan shalat Jumat dalam perjalanan mereka.  [al-Mughni, 2/250].

Dalam kitab Al-Muhadzdzab Abu Ishaq Al-Syairazi menjelaskan :

مِنْ شَرْطِ الْعَدَدِ أَنْ يَكُوْنُوْا رِجَالاً أَحْرَارًا مُقِيْمِيْنَ بِالْمَوْضِعِ فَأَمَّا النِّسَاءُ وَالْعَبِيْدُ وَالْمُسَافِرُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ الْجُمْعَةُ لِأَنَّهُ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِمْ الْجُمْعَةُ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِمْ كَالصِّبْيَانِ

"Di antara syarat jumlah jama'ah tersebut adalah mereka terdiri dari laki-laki, merdeka dan menetap di suatu tempat. Adapun perempuan, budak dan musafir, maka shalat Jum’at tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, karena mereka tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at sehingga shalat itu pun tidak menjadi sah dengan kehadiran mereka, sama seperti anak-anak.” [Al-Muhadzdzab, 1/208]

 

Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib berkata :

فلا تجبُ الجمعةُ على كافرٍ أصلي وصبيٍ ومجنونٍ ورقيقٍ وأنثىَ ومريضٍ ونحوهِ ومسافرٍ

Shalat Jumat idak wajib atas nonmuslim asli (bukan murtad), anak kecil (belum baligh), orang gila, budak, wanita, orang sakit, dan musafir” [Fath al-Qarib, hal. 98]

Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitab Hasyiah Al-Bajuri, Syarah Fathul Qarib, menjelaskan :

مسافرٌ أي سَفَرًا مُبَاحًا ولو قصيرا لاشتِغَالِه بأحوالِ السفرِ – إلى أن قال – وَيَحْرُمُ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الجمعةُ السفرِ بعد فجرِ يومِها إلا إذا أَمْكَنَهُ فِعُلُها في مَقْصِدِهِ أو طريقِه

Yang dimaksud adalah musafir dengan perjalanan yang mubah (bukan bertujuan maksiat) meskipun perjalanan pendek, karena dia tersibukkan perjalanannya. Dan bagi orang yang wajib melaksanakan shalat Jumat, hukumnya haram untuk bepergian setelah terbitnya fajar pada hari Jumat, kecuali dapat melaksanakan shalat Jumat di tempat tujuan atau di tengah perjalanan” [Hasyiah Al-Bajuri, 1/213] Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...