IKHLAS
DAN BENAR DALAM BERAMAL
Oleh
: Masnun Tholab
Tidak
semua orang yang beramal dan beribadah, diterima oleh Allah Subhanahu wat’ala.
Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang beramal, yaitu :
Pertama,
amal itu harus dilakukan semata-mata dalam rangka mencari ridho Allah Subhanahu
wata’ala.
Kedua,
Amal itu harus sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Allah Subhanahu wata’ala
berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 110 :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو
لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Rabb-nya” (QS. Al-Kahfi/18:110)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan,
وَهَذَانِ رُكْنَا الْعَمَل
الْمُتَقَبَّل لَا بُدّ أَنْ يَكُون خَالِصًا لِلَّهِ صَوَابًا عَلَى شَرِيعَة
رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dua hal
ini merupakan rukun diterimanya amalan, yaitu amalan itu harus murni untuk
Allâh, benar sesuai syari’at Rasûlullâh صلى الله عليه وسلم.”[Tafsir surat
al-Kahfi]
Fadho’il
bin Iyadh berkata,
إنَّ العملَ إذا كان خالصاً ، ولم يكن
صواباً ، لم يقبل ، وإذا كان صواباً ، ولم يكن خالصاً ، لم يقبل حتّى يكونَ خالصاً
صواباً ، قال : والخالصُ إذا كان لله - عز وجل - ، والصَّوابُ إذا كان على
السُّنَّة .
“Sesungguhnya
suatu perbuatan apabila dilaksanakan dengan ikhlas tapi tidak benar maka tidak
diterima, apabila benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai menjadi
ikhlas dan benar. Dia berkata, yang ikhlas adalah apabila karena Allah ta’ala,
yang benar adalah apabila sesuai sunnah”. (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Ikhlas dan benar harus
selalu ada dalam setiap amal kita, setiap ibadah kita. Keduanya tidak bisa
dipisahkan, ibarat dua sisi dalam satu keeping mata uang. Salah satunya tidak
ada, lebih-lebih dua-duanya tidak ada, maka sebanyak apapun amal dan ibadah
kita, tidak ada artinya dihadapan Allah Subhanahu wata’ala.
Contoh-contoh
amalan yang tidak benar (tidak sesuai dengan syari’at Nabi :
1. Mambaca Al-Qur’an Dengan Suara Keras Yang
Mengganggo Orang Salat/Tidur
Membaca Alqur’an adalah
ibadah yang yang besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wata’ala, tapi kalau
membaca Alqur’an itu dilakukan dengan tidak mengindahkan ketentuan yang telah
digariskan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم, maka bukannya pahala yang diperoleh,
melainkan dosa yang didapatkan., misalnya Mambaca Al-Qur’an Dengan
Suara Keras Yang Mengganggu
Orang Salat dan orang tidur.
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, dia
berkata,
اعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي
الْمَسْجِدِ ، فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ ، فَكَشَفَ السِّتْرَ ،
وَقَالَ : أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ ، فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ
بَعْضًا ، وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ ، أَوْ قَالَ
: فِي الصَّلاَةِ
Saat Nabi صلى الله عليه وسلم ber I’tikaf di masjid, beliau mendengar
para sahabat beliau mengeraskan bacaan Al-Qur’an. Lalu beliau membuka kain
penutup dan bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya
setiap kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Janganlah sebagian kalian mengganggu
sebagian yang lain, jangan pula sebagian kalian meninggikan suara bacaan atas
sebagian yang lain” (HR. Abu Dawud no. 1332; Ibnu Khuzaimah no. 1100; Ahmad no.
12219)
Ibnu Hajar Al-Haitami
Asy-Syafi’i ditanya tentang hokum membaca Al-Qur’an dengan suara keras, beliau
menjawab :
وَالْجَهْرُ
بِحَضْرَةِ نَحْوِ مُصَلٍّ أو نَائِمٍ مَكْرُوهٌ كما في الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ
وَلَعَلَّهُ حَيْثُ لم يَشْتَدَّ الْأَذَى وَإِلَّا فَيَنْبَغِي تَحْرِيمُهُ
"Dan membaca dengan
keras tatkala ada orang yang sholat atau sedang tidur maka hukumnya makruh
–sebagaimana dalam kitab Al-Majmuu' dan kitab yang lainnya-. Hukum makruh ini
mungkin jika gangguan (terhadap orang yang sholat dan tidur-pen) tidaklah
parah, jika parah maka hukum membaca dengan keras adalah haram"
(Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 1/157-158)
Sayyid
Sabiq berkata :
يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على
المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم
Diharamkan
Mengeraskan suara sehingga menyebabkan orang lain yang sedang shalat terganggu,
meskipun yang dibaca itu al-quran, kecuali sedang mempelajari suatu ilmu.
[Fiqiih Sunnah 1/373].
2. Seorang
Istri Berpuasa Sunah Tanpa Izin Suami
dari Abu
Hurairah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
لاَ
يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk
berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”[ HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no.
1026]
An
Nawawi rahimahullah menerangkan,
“Larangan pada hadits di atas dimaksudkan
untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut
ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram.”[Syarh Shahih Muslim,
7/115].
Al Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
وَدَلَّتْ رِوَايَةُ الْبَابِ عَلَى تَحْرِيمِ الصَّوْمِ
الْمَذْكُورِ عَلَيْهَا وَهُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ
“… Hadits-hadits
dalam bab ini
menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah
pendapat mayoritas ulama.”
قَالَ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَقَالَ بَعْضُ
أَصْحَابِنَا يُكْرَهُ وَالصَّحِيحُ الْأَوَّلُ
“An-Nawawi berkata dalam kitab Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab : Sebagian sahabat-sahabat kami berkata, makruh. Yang benar
adalah pendapat pertama (yakni haram)” [Fathul Bari, 9/295].
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar