SHALAT BERJAMAAH BAGI
WANITA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala
puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat
dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu
’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Shalat
berjamaah di masjid sangat dianjurkan bagi kaum laki-laki, namun tidak
dianjurkan bagi kaum wanita. Uraian berikut ini membahas tentang shalat jamaah
bagi wanita dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
Hadits-hadits Tentang Shalatnya Wanita
Dari
Ummu Salamah, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
خَيْرٌ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ
قَعْرُ بُيُوْتِهِنَّ
”Sebaik-baik tempat shalat bagi kaum
wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) dari rumahnya” (HR. Ahmad, no. 26002, dinyatakan
hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Targhib, no. 341)
Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
إذا اسْتَأْذَنَكُمْ
نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوْا لَهُنَّ
“Bila istri-istri kalian
meminta izin kepada kalian di malam hari untuk pergi ke masjid, maka berilah
mereka izin” (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah).
Dalam lafadz lain :
لَا تَمْنَعُوا النِّسَاءَ أنْ يَخْرُجْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Jangan kalian melarang
para wanita untuk pergi ke masjid, walaupun rumah mereka sebenarnya lebih baik
untuk mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Berkata Imam Asy Syaukani rahimahullah ketika
menjelaskan lafadz “Rumah-rumah mereka lebih utama bagi mereka“, maksudnya
adalah “Shalat-shalat mereka (wanita) di rumahnya itu lebih utama bagi mereka
dibandingkan dengan shalatnya di masjid. Jika mereka mengetahui yang demikian
(pastilah mereka tidak meminta untuk keluar masjid). Akan tetapi kerana mereka
tidak mengetahuinya, maka mereka (shahabiyah) meminta izin untuk keluar ke
masjid dengan berkeyakinan bahwa pahalanya lebih banyak daripada shalat di
rumahnya”(Lihat Nailul Authar 3:131).
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا إمَاءَ
اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلَاتٍ
“Janganlah kamu melarang
wanita-wanita itu datang ke masjid-masjid Allah. Jika mereka hendak ke masjid
hendaklah mereka itu keluar tanpa memakai wangi-wangian” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
أَيُّماَ امْرَأَةٌ أَصَابَتْ
بُخُوْرًا، فَلاَ تَشْهَدْ مَعَناَ الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ
“Perempuan manapun yang
memakai minyak wangi-wangian, maka jaganlah ia ikut mengerjakan shalat isya’
bersama kami” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i dengan sanad yang hasan)
Dari
Yahya bin Sa’id, dari Umrah, dari Aisyah, ia berkata,
لَوْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم رَأَى مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ الْمَسْجِدَ. كَمَا
مُنَعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ. قَالَ فَقُلْتُ لِعَمْرَةَ: أَنِسَاءُ
بَنِي إِسْرَائِيْلَ مُنِعْنَ الْمَسْجِدَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ.
Seandainya
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam melihat apa yang diperbuat wanita saat
ini, tentu beliau melarang mereka pergi ke mesjid, seperti dilarangnya wanita
Bani Israel. Yahya berkata: Aku bertanya kepada Amrah: Apakah wanita Bani
Israel dilarang pergi ke mesjid (tempat ibadah mereka)? Ia menjawab: Ya.
(Muttafaq ‘alaih)
Imam
Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Sabda
beliau (Dan hendaklah mereka itu keluar tanpa memakai wangi-wangian) Termasuk
dalam katagori ath-thib adalah semua yang semakna dengannya, yaitu yang
bisa membangkitkan syahwat, seperti : pakaian indah, mengenakan perhiasan,
bersolek; karena aromanya, perhiasannya, bentuknya dan penampilannya yang
menampakkan keindahannya adalah fitnah bagi wanita, dan fitnah bagi laki-laki
terhadapnya.
[Nailul
Authar 1, hal. 721]
Sayyid
Sabiq berkata :
Sebenarnya
kaum wanita diperbolehkan datang ke masjid untuk mengikuti shalat jamaah,
dengan syarat harus menjauhi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya syahwat
ataupun fitnah, baik karena perhiasan maupun karena harum-haruman yang
digunakan.
والافضل لهن الصلاة
في بيوتهن لما رواه احمد والطبرانى عن ام حميد الساعدية انها جاءت الى رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم فقالت : يا رَسُوْلَ اللهِ إنى اَحَبُّ الصَّلَاةَ
مَعَكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : قَدْ عَلِمْتُ
, وَصَلَاتِكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صلَاتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ , وصَلَاتِكِ
فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلَاتِكِ فِى مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ
Kaum
wanita lebih utama mengerjakan shalat di rumah saja. Hal ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan Ahmad dan Thabrani dari Ummu Humaid as-Sa’diyah,
Ia
datang menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata,
“Ya Rasulullah, aku suka sekali mengerjakan shalat bersamamu” Beliaupun
menjawab, “Aku tahu hal itu, tetapi shalatmu di rumahmu adalah lebih baik dari
shalatmu di masjid kaummu. Adapun shalatmu di masjid kaummu adalah lebih baik
daripada shalatmu di masjid umum”
(HR.
Ahmad, no. 26550, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, no. 1689, dinyatakan hasan
oleh Al-Albany dalam Shahih Targhib, no. 340; Fiqih Sunnah 1, hal. 337-338]
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا
أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ
مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا
“Shalat
seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada shalatnya di
pintu-pintu rumahnya, dan shalat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya
lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya” (HR. Abu
Daud no. 570. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Pendapat Para
Ulama Tentang Shalatnya
Wanita
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Shalat jama’ah bagi wanita itu lebih baik di rumahnya daripada mendatangi
masjid. … Dan
shalat wanita di rumahnya itu lebih menutupi dirinya dan lebih afdhol” (Al
Majmu’, 4: 198).
Syekh
Abdul Azim Abadi rahimahullah berkata,
"Alasan
mengapa shalat mereka (para wanita) di rumah lebih utama karena disana aman
dari fitnah. Hal itu dikuatkan setelah itu dengan terjadinya prilaku berdandan
dan berhias di kalangan wanita."
(Aunul
Ma'bud, 2/193)
Zainudin
bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
Bagi
kaum wanita, berjamaah tidak merupakan sunnah muakkad, tidak seperti
laki-laki.. Kaum laki-laki makruh meninggalkan berjamaah, sedangkan bagi kaum
wanita tidaklah makruh.
[Fathul
Mu’in 1, hal. 359].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Rumah-rumah
mereka lebih utama bagi mereka. Hadits ini memberikan pengertian bahwa shalat
wanita di rumahnya lebioh utama. Jika mereka (para wanita) berkata : “Aku ingin
shalat di masjid agar mendapat dapat berjama’ah”. Maka akan aku katakan :
“Sesungguhnya shalatmu di rumahmu itu lebih utama dan lebih baik. Hal itu
dikarenakan seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath bersama laki-laki lain,
sehingga akan dapat menjauhkannya dari fitnah” [Majmu’ah Duruus Fatawa 2/274].
Ibnu Hazm rahimahullah berkata (Al-Muhalla, 3/125):
“Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk menghadiri
shalat maktubah (shalat fardhu) secara berjamaah. Hal ini merupakan perkara
yang tidak diperselisihkan (di kalangan ulama).”
Beliau juga berkata: “Adapun kaum wanita, hadirnya
mereka dalam shalat berjamaah tidak wajib.
Dan terdapatkan atsar yang shahih bahwa para istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di kamar-kamar mereka dan tidak keluar ke
masjid.” (Al-Muhalla, 4/196)
Ibnu Qudamah rahimahullah juga mengisyaratkan tidak
wajibnya shalat jamaah bagi wanita dan beliau menekankan bahwa shalatnya wanita
di rumahnya lebih baik dan lebih utama. (Al-Mughni, 2/18)
Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim menjelaskan bahwa
sholat kaum wanita dirumahnya meskipun sendirian itu lebih baik daripada sholat
mereka dimasjid meskipun berjamaah.
Hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
“Dari Ummu Humaid istri Abu Humaid as-Sa’idi ia
datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: “Hai
Rasulullah, aku senang sholat bersamamu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tahu
bahwa engkau senang sholat bersamaku tetapi shalatmu di ruang khusus dirumahmu
lebih utama daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih utama
daripada shalatmu diruang terbuka di rumahmu.dan shalatmu di rumahmu lebih
utama daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih
utama daripada shalatmu di masiidku.” (HR. Ahmad No 26550, Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya; dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
AI-AIbani di dalam Jilbab Mar’ah Muslimah, hal. I55)
Kesimpulan
Mayorita Ulama berpendapat :
1. Shalatnya Wanita di rumahnya, meskipun sendirian, lebih utama daaripada shalat si masjid, meskipun berjamaah.
2. Wanita tidak dilarang shalat berjamaah di masjid asalkan tidak memakai pakaian indah, mengenakan perhiasan, dan bersolek.
Wallahu a’lam.
فيض القدير
36قال ابن جرير : وإذا شرع الآذن
لها فيما يندب شهوده كجماعة ففيما هو فرض كأداة شهادة وتعلم ديني أو مندوب مؤكد
كشهود جنازة أحد أبويها أولى قال الراغب والآذن يعبر به عن العلم لأنه مبدأ كثير
من العلم فتناول الآذن في الشيء إعلام بإجازته والرخصة فيه لكن بين الآذن والعلم
فرق فإن الآذن أخص ولا يكاد يستعمل إلا فيما فيه مشتبه ضامه أمر أم ل
4087( خير مساجد النساء قعر بيوتهن
) فالصلاة لهن فيها أفضل منها في المسجد حتى المكتوبة وذلك لطلب زيادة الستر في
حقهن
فتح البارى
731قال النووي: إنما حث على
النافلة في البيت لكونه أخفى وأبعد من الرياء، وليتبرك البيت بذلك فتنزل فيه
الرحمة
عون المعبود
567وقال النووي إن النهي محمول على
التنزيه ( وبيوتهن خير لهن ) أي صلاتهن في بيوتهن خير لهن من صلاتهن في المساجد لو
علمن ذلك لكنهن لم يعلمن فيسئلن الخروج إلى المساجد ويعتقدن أن أجرهن في المساجد
أكثر
ووجه كون صلاتهن في البيوت أفضل الأمن من الفتنة
ويتأكد ذلك بعد وجود ما أحدث النساء من التبرج والزينة ومن ثم قالت عائشة ما قالت
قال النووي إنما حث على النافلة في
البيت لكونه أخفى وأبعد من الرياء وأصون من محيطات الأعمال وليتبرك البيت بذلك
وتنزل فيه الرحمة والملائكة وينفر منه الشيطان كما جاء في الحديث
[ 1044 ] ( قال صلاة المرء في بيته
أفضل ) لأنه أبعد من الرياء
والحديث يدل على استحباب فعل صلاة التطوع في
البيوت وأن فعلها فيها أفضل من فعلها في المساجد ولو كانت المساجد فاضلة كالمسجد
الحرام ومسجده صلى الله عليه و سلم ومسجد بيت المقدس
وقد ورد التصريح بذلك في هذا
الحديث فإن فيه صلاة المرء في بيته
أفضل من صلاته في مسجدي هذا إلا المكتوبة قال العراقي وإسناده صحيح
فعلى هذا لو صلى نافلة في مسجد المدينة كانت
بألف صلاة على القول بدخول النوافل في عموم الحديث وإذا صلاها في بيته كانت أفضل
من ألف صلاة وهذا حكم المسجد الحرام وبيت المقدس
وقد استثنى أصحاب الشافعي من عموم أحاديث الباب
عدة من النوافل فقالوا فعلها في غير البيت أفضل وهي ما تشرع فيها الجماعة كالعيدين
والكسوف والاستسقاء وتحية المسجد وركعتي الطواف وركعتي الإحرام
قاله الشوكاني ( إلا المكتوبة ) قال العراقي هو
في حق الرجال دون النساء فصلاتهن في البيوت أفضل وإن أذن لهن في حضور بعض الجماعات
وقد قال صلى الله عليه و سلم في الحديث الصحيح
إذا استأذنكم نساؤكم بالليل إلى المسجد فأذنوا لهن وبيوتهن خير لهن والمراد
بالمكتوبة الواجبات بأصل الشرع والصلوات الخمس دون المنذورة
قال النووي إنما حث على النافلة في البيت لكونه
أخفى وأبعد من الرياء وأصون من محيطات الأعمال وليتبرك البيت بذلك وتنزل فيه
الرحمة والملائكة وينفر منه الشيطان كما جاء في الحديث
قال المنذري وأخرجه الترمذي والنسائي بمثله وقال
الترمذي حديث حسن
Wanita Mengimami Kaum
Laki-laki
Imam Syafi’i berkata :
وإذا صلت المرأة برجال ونساء وصبيان ذكور فصلاة النساء
مجزئة وصلاة الرجال والصبيان الذكور غير مجزئة لأن الله عز وجل جعل الرجال قوامين
على النساء وقصرهن عن أن يكن أولياء وغير ذلك ولا يجوز أن تكون امرأة إمام رجل في
صلاة بحال أبدا
Apabila seorang wanita
menjadi imam kaum laki-laki, kaum wanita, dan sekelompok anak laki-laki, maka
shalat kaum wanita itu sah namun shalat kaum laki-laki dan sekelompok anak
laki-laki menjadi tidak sah, karena Allah Subhanahu wata’ala telah menjadikan
kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum wanita, maka tidak boleh bagi seorang
wanita menjadi imam bagi laki-laki dalam keadaan bagaimanapun.
وهكذا لو كان ممن صلى مع المرأة خنثى مشكل لم تجزه صلاته
معها ولو صلى معها خنثى مشكل ولم يقض صلاته حتى بان أنه امرأة أحببت له أن يعيد
الصلاة وحسبت أنه لا تجزئه صلاته لأنه لم يكن حين صلى معها ممن يجوز له أن يأتم
بها
Begitu juga apabila ada
diantara mereka wanita khuntsa musykil (banci yang sulit diketahui
ataukah lebih menyerupai laki-laki atau wanita), maka ia tidak boleh shalat
bersama wanita itu. Apabila ia banci shalat bersama wanita dan ia tidak
mengganti shalatnya hingga diketahui dengan jelas bahwa banci itu lebih
menyerupai wanita, maka saya menyukai agar ia mengulangi shalatnya.
[Ringkasan
Kitab Al-Umm 1, hal. 232].
Ibnu
Rusy dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
وإنما
اتفق الجمهور على منعها أن تؤم الرجال، لأنه لو كان جائزا لنقل ذلك عن الصدر
الأول، ولأنه أيضا لما كانت سنتهن في الصلاة التأخير عن الرجال علم أنه ليس يجوز
لهن التقدم عليهم، لقوله عليه الصلاة والسلام
"أَخِّرُوْهُنَّ حَيْثُ أَخْرَهُنَّ اللهُ"
ولذلك
أجاز بعضهم إمامتها النساء إذ كن متساويات في المرتبة في الصلاة، مع أنه أيضا نقل
ذلك عن بعض الصدر الأول
Jumhur
fuqaha sepakat melarang wanita menjadi imam bagi kaum lelaki. Sebab,
jika wanita menjadi imam bagi kaum lelaki, sudah terkenal sejak awal Islam,
lebih-lebih ajaran shalat bagi wanita terjadi setelah kaum lelaki. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa wanita tidak boleh mendahului kaum laki-laki.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam,
”Akhirkanlah
mereka (wanita) lantaran Allah telah mengakhirkan mereka” (HR. Ahmad).
Berdasarkan
pemikiran di atas, sebagian fuqaha membolehkan kaum wanita menjadi imam
atas kaum wanita, karena persamaan derajat di dalam shalat. Lebih-lebih
kenyataan seperti itu sudah banyak diriwayatkan sejak permulaan Islam.
[Bidayatul
Mujtahid 1, hal. 324-235].
Wanita Menjadi Imam Bagi Wanita
Sayyid
Sabiq berkata :
فقد كانت عائشة رضي الله عنها تؤم النساء
وتقف معهن فى الصف, وكانت أم سلمة تفعله, وجعل رَسُوْلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم لأم ورقة مؤذنا لها وأمرها أن تؤم أهل دار هافى الفرائض
Aisyah RA sering menjadi
imam bagi kaum wanita dan berdiri bersama mereka dalam satu barisan shaf.
Demikian pula halnya Ummu Salamah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
bahkan mengangkat seorang muadzin yang bernama Ummu Waraqah dan beliau
memerintahkannya supaya menjadi imam bagi keluarganya pada saat mengerjakan
shalat-shalat fardhu.
[Fiqih Sunnah 1, hal.
350].
Imam Syafi’i berkata :
عن عمار الدهنى عن امرأة من قومه يقال لها حجيرة أن أم
سلمة أمتهن فقامت وسطا
Diriwayatkan dari Ammar Ad-Duhani
dari seorang wanita yang berasal dari kaumnya, yang bernama Hajirah, bahwasanya
Ummu Salamah mengimami kaum wanita dan ia berdiri di tengah-tengah mereka. (HR.
Abu Daud No. 315).
Imam Syafi’i berkata :
عن عائشة أنه صلت بنسوة العصر فقامت في وسطهن
Diriwayatkan dari Aisyah,
bahwa ia mengerjakan shalat dengan kaum wanita pada shalat Ashar, dan ia
berdiri di tengah-tengah mereka.
Imam Syafi’i berkata :
إن من السنة أن تصلى المرأة بالنساء تقوم في وسطهن
Adalah sunah apabila
seorang wanita shalat bersama kaum wanita, ia berdiri di tengah-tengah mereka.
وتؤم المرأة النساء في المكتوبة وغيرها وآمرها أن تقوم في
وسط الصف وإن كان معها نساء كثير أمرت أن يقوم الصف الثاني خلف صفها
وتخفض صوتها بالتكبير والذكر الذي يجهر به في الصلاة من
القرآن وغيره
Wanita dapat mengimami
sesama wanita pada shalat fardhu dan lainnya. Saya menyuruh agar dia berdiri di
tengah shaf.
Apabila bersama wanita itu
terdapat banyak wanita, maka saya menyuruhnya untuk berdiri pada shaf kedua
yang ada di belakangnya; ia merendahkan suaranya ketika takbir dan dzikir, baik
membaca Al-Quran dan yang lainnya.
فإن قامت المرأة أمام النساء فصلاتها وصلاة من خلفها مجزئة
عنهن
Apabila wanita itu berdiri
di depan shaf dengan mengerjakan shalat sebagai imam bagi kaum wanita, maka
shalat mereka yang ada di belakangnya telah memadai.
[Ringkasan
Kitab Al-Umm 1, hal. 233].
Lelaki Menjadi Imam Bagi
Wanita
Sayyid Sabiq berkata :
روي أبو يعلى والطبرانى فى الأوسط بسند
حسن أن أبى بن كعب جاء الى النبى صلى الله عليه وسلم فقال : يا رَسُوْلَ
اللهِ عملت الليلة عملا. قال : ما هو؟ قال : نسوة معى فى الدار, قلن إنك تقرأ فصل
بنا؟ فصليت ثمانيا والوتر. فسكت النبى صلى الله
عليه وسلم قال : فرأينا سكوته رضا
Abu Ya’la dan Thabrani
meriwayatkan dalam kitab Al-Ausath dengan sanad hasan,
“Ubai bin Kaab pernah
mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wassalam dan berkata, ‘Ya Rasulullah,
semalam aku mengerjakan sesuatu amal’. Nabi Shallallahu alaihi wassalam
bertanya, ‘Amal apakah itu?’ Ubai berkata, ‘Di rumah ada beberapa orang wanita.
Mereka mengatakan, “Anda dapat membaca Al-Quran dengan
baik, sedangkan kami tidak. Karena itu shalatlah sebagai imam bagi kami”
Akhirnya akupun mengerjakan shalat dekapan rekaat lalu berwitir’. Ketika
mendengar serita tersebut, Nabi Shallallahu alaihi wassalam diam saja. Diamnya
itu kami anggap sebagai tanda ridha dan pengakuannya’”
[Fiqih Sunnah 1, hal.
350].
Posisi Makmum Wanita
Hadits-hadits
dalam kitab Al-Muntaqa :
Dari
Abdurrahman bin Ghanam, dari Abu Malik Al-Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam:
عن رسولِ اللَّهِ صلى
اللَّه عليه وآله وسلم أنه كان يُسَوِّي بَيْنَ الْأرْبَعِ رَكَعَاتٍ في الْقِرَاءَةِ وَيَجْعَلُ الرَّكْعَةَ
الْأُوْلَى هِيَ أَطْوَلُهُنَّ لَكَيْ يَثُوْبَ النَّاسُ وَيَجْعَلُ الرِّجَالَ قُدَّامَ
الْغِلْمَانِ وَالْغِلْمَانَ خَلْفَهُمْ وَالنِّسَاءَ
خَلْفَ الْغِلْمَانِ
Bahwasanya
beliau menyeimbangkan bacaan dan berdiri di keempat rekaatnya, yang mana rekaat
pertama merupakan rekaat yang paling panjang, agar orang-orang sempat
mendapatkannya. Beliau mengedepankan kaum laki-laki (dewasa) daripada
anak-anak, sementara anak-anak di belakang mereka, dan kaum wanita di belakang
anak-anak. (HR. Ahmad)
Dari
Anas, ia menuturkan,
صَلَّيْتُ أَنَا وَالْيَتِيْمُ
فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صلى اللَّه
عليه وآله وسلم وَأُمِّيْ خَلْفَنَا أُمُّ سُلَيْمٍ
”Aku
dan seorang anak yatim yang tinggal di rumah kami mengerjakan shalat di
belakang Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sementara ibuku, yakni Ummu Sulaim,
di belakang kami (HR. Bukhari).
Dari
Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda,
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا
وَشَرُّهَا آخِرُهَا خَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
”Sebaik-baiknya
shaf laki-laki ialah yang pertama dan seburuk-buruknya ialah shaf yang
terakhir, sedang sebaik-baiknya shaf lwanita ialah yang terakhir dan
seburuk-buruknya ialah shaf yang pertama” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari)
Imam
Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
قوله: (ويجعل الرجال قدام
الغلمان) الخ فيه تقديم صفوف الرجال على
الغلمان والغلمان على النساء
Ucapan
perawi : (Beliau mengedepankan kaum laki-laki (dewasa) daripada anak-anak)
menunjukkan bahwa shaf kaum laki-laki dewasa paling depan, lalu shaf anak-anak,
kemudian shaf kaum wanita.
[Nailul
Authar 1, hal. 785]
Kesimpulan
1.
Wanita tidak dilarang shalat berjamaah di
masjid, tetapi lebih baik shalat di rumahnya.
2.
Wanita tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki.
3.
Laki-laki
boleh menjadi imam bagi wanita.
4.
Posisi
Wanita yang menjadi imam bagi wanita adalah di tengah-tengah shaf
5.
Jika wanita menjadi makmum, maka posisinya adalah
dibelakang shaf anak laki-laki.
6.
Shaf
yang paling baik bagi wanita adalah yang paling belakang.
Wallahu
a’lam
Sumber rujukan :
-Imam
Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka
Azzam, Jakarta, 2005
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena
Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Zainuddin
bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru
Algensindo, Bandung, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka
Amani, Jakarta, 2002.
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi,
Musnad Syafi’i , Sinar Baru Algesindo, 2006.
*Slawi, Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar