MENGGABUNGKAN NIAT SHALAT
Oleh
: Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi
Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam
semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
beserta keluarga dan para sahabatnya.
Dalil dan Pengertian Niat
Umar bin
Alchattab Rodhiyallahu
‘anhu. berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alihi wasallam
bersabda :
إنَّمَاالْأَ عْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ مْرِىءٍ
مَّانَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ
اِلىَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُّنْيَا يُصِيْبُهَا
اَوِمْرَأةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ اِلىَ مَا هَجَرَ اِلَيْهِ
"Sesungguhnya Sahnya
suatu perbuatan tergantung niatnya. Dan yang teranggap bagi tiap orang
adalah menurut apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang
berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah, maka hijrah itu
diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan siapa yang hijrah karena keuntungan
dunia yang dikejarnya atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya
terhenti pada apa yang ia niat hijrah kepadaNya. (HR. Buchari no. 1)
[lihat Riyadus Salihin 1, hal. 11 ; lihat Al-Jami'us Saghir 1,
hal. 31]
Sayyid Sabiq mengatakan bahwa dalam kitab Ighatsatul Lahfan, Ibnul
Qayyim menyatakan,
النيةُ هي
القصدُ والعزمُ على فعلِ الشيء ومَحلُّها القلبُ ، لا تعَلُّقَ لها باللسانِ أصلا
ولذلك لم ينقل عن النبي ولا عن أصحابه في النية لفظ بحال
"Arti niat adalah menyengaja
dan bermaksud secara sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Tempatnya adalah
di dalam hati dan ia tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan penuturan
lisan. Oleh sebab itu tidak pernah ada
hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alihi wasallam dan para sahabat
pernah melafadzkan niat”
[Fiqih Sunnah 1/187; Ighatsatul Lahfan 1/141].
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm
berkata tentang niat shalat :
وَالنِّيَّةُ لاَ
تَقُومُ مَقَامَ التَّكْبِيرِ وَلاَ تَجْزِيهِ النِّيَّةُ إلاَّ أَنْ تَكُونَ مع
التَّكْبِير لاَ تَتَقَدَّمُ التَّكْبِيرَ وَلاَ
تَكُونُ بَعْدَه
Niat tidak bisa
menggantikan kedudukan takbir, namun niat tidak cukup apabila tidak disertai
takbir, niat tidak mendahului takbir dan tidak pula sesudahnya. (niat bersamaan
dengan takbiratul ihram, pen). [Lihat Ringkasan Kitab Al-Umm 1,
hal. 155].
Imam Syafi’i berkata : Hadits-hadits yang telah
kami riwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan dalil bahwa
niat sesorang yang ber-talbiyah itu hanya di hati (tidak dilafadzkan),
hal itu sudah cukup dan sah. Jadi sesoerang yang berihram tidak perlu
melafadzkan niat ihramnya. Hal ini sebagaimana niat seseorang untuk shalat
wajib, shalat sunnah atau shalat nadzar yang hanya terdapat di dalam hati, maka
hal itu sudah cukup dengan tidak perlu dilafadzkan dengan lisan.
[Ringkasan
Kitab Al-Umm 1, hal. 618].
Dalam kitab Fat-hul Mu’in Al-Fanani mengatakan :
Sunat mengucapkan lafadz niat yang dinyatakan sebelum takbiratul ihram,
agar ucapan itu dapat membantu hatinya, dan agar keluar dari perbedaan dengan
pendapat yang mewajibkan talaffuzh niat. (Demikianlah pendapat Syafiiyah
dan Hanbaliah).
[Fat-hul Mu’in 1, hal. 153]
Ibnul Qayim berpendapat tentang melafadzkan niat dalam kitab Zadul
Ma'ad,: Ini semua merupakan dari
sepuluh perbuatan bid'ah, karena tidak ada nash yang menceritakan dengan
sanad yang shahih, dan tidak pula dengan sanad yang dha'if, dan
tidak pula dengan sanad yang hasan, dari salah seorang tabi'in, dan
tidak pula dari para Imam empat mazhab. (Malik, Syafi'i, Hanafi, dan
Hambali) [Kitab Fiqih Lima Mazhab, hal.
102; lihat Zaadul Ma’ad 1, hal.19]
Pendapat Para Ulama Tentang Menggabungkan Niat Shalat
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab berkata :
قَالَ
أَصْحَابُنَا وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يَنْوِيَ بِالرَّكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ بَلْ
إذَا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ بِنِيَّةِ الصَّلَاةِ مُطْلَقًا أَوْ نَوَى رَكْعَتَيْنِ
نَافِلَةً رَاتِبَةً أَوْ غَيْرَ رَاتِبَةٍ أَوْ صَلَاةَ فَرِيضَةٍ مُؤَدَّاةٍ
أَوْ مَقْضِيَّةٍ أَوْ مَنْذُورَةٍ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَحَصَلَ لَهُ مَا نَوَى
وَحَصَلَتْ تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ ضِمْنًا وَلَا خِلَافَ فِي هَذَا قَالَ
أَصْحَابُنَا وَكَذَا
لَوْ
نَوَى الْفَرِيضَةَ وَ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ أَوْ الرَّاتِبَةَ وَتَحِيَّةَ
الْمَسْجِدِ حَصَلَا جَمِيعًا بِلَا خِلَافٍ
Sahabat-sahabat kami
berkata : “Tidak disyaratkan niat shalat tahiyatul masjid, tetapi dapat pula
dilaksanakan niat 2 rekaat shalat mutlak, atau niat shalat sunnah rawatib dua
rekaat, atau yang lain, atau niat menunaikan shalat fardhu, shalat nadzar dan
lainnya, yang ia niatkan tercapai dan tahiyatul masjid juga tercapai karena
tercakup di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini”
Sahabat-sahabat kami berkata
: “Seperti itu juga bila seseorang berniat shalat fardhu dan tahiyatul masjid,
atau shalat sunnah rawatib dan tahiyatul masjid, keduanya tercapai secara
bersamaan. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini”
[Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab 4/114]
Syeikh Zainul Abidin bin Ibrahim bin Nujaim
Al-Hanafi berkata :
لَوْ دَخَلَ
الْمَسْجِدَ
وَصَلَّى
الْفَرْضَ أَوْ الرَّاتِبَةَ دَخَلَتْ فِيهِ التَّحِيَّةُ
Bila ada orang masuk
masjid untuk sholat fardlu atau sholat rawatib, maka sholat tahiyyatul masjid
sudah otomatis masuk. [Asybah
wannadho-ir 132]
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata tentang shalat Istikharah :ولو كانتا من السُّنن الراتبةِ أو تحية المسجد في أي وقت من الليل أو النهارShalat Istikharah boleh dilakukan ketika mengerjakan shalat sunnah rawatib atau tahiyatul masjid, atau boleh pula dilakukan pada waktu malam atau siang.[Fikih Sunnah 1, hal. 304].
Kesimpulan
Mayoritas
ulama berpendapat bolehnya melakukan satu shalat dengan beberapa niat shalat
sekaligus.
Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar