Minggu, 19 Oktober 2025

 

HUKUM MENCIUM TANGAN GURU ATAU KYAI

Oleh : Masnun Tholab

 

DALIL-DALIL :

Diriwayatkan dari Hakam, ia berkata, aku mendengar Abu Juhaifah mengatakan: 

خَرَجَ رَسُولُ اللهِ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ الْمِسْكِ.

Pernah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم pergi ke Al-Batha' pada siang hari, kemudian berwudhu dan mendirikan dua rakaat shalat Zuhur dan dua rakaat shalat Ashar. Terdapat semacam busur yang ditancapkan di hadapannya. Aun menambahkan: banyak orang lalu-lalang di depannya, sedangkan perempuan di belakangnya. (Setelah shalat), orang-orang bangkit untuk bersalaman dengan Nabi dan mencium tangannya. Aku pun menyalami dan mencium tangannya. Aku perhatikan bahwa tangan Nabi Muhammad صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم lebih dingin dari es dan lebih harum dari minyak kesturi (HR. Bukhari no. 3553).

Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ كَلامًا وَحَدِيثًا بِرَسُولِ اللَّهِ مِنْ فَاطِمَةَ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا وَرَحَّبَ بِهَا وَأَخَذَ بِيَدِهَا فَأَجْلَسَهَا فِي مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ هِيَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ قَامَتْ إِلَيْهِ مُسْتَقْبِلَةً وَقَبَّلَتْ يَدَهُ.

“Saya tidak melihat seorang pun yang lebih mirip dengan Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم dalam berbicara selain Fatimah. Jika dia bertamu ke rumah Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, beliau berdiri menyambut Fatimah, menciumnya, memegang tangan dan mendudukkannya di tempat duduknya. Begitu juga sebaliknya ketika Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم bertamu ke rumah Fathimah, ia berdiri untuk menyambut Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم dan mencium tangannya.”(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Diriwayatkan dari Sofwan bin ‘Assal,

أَنَّ يَهُودِيًّا قَالَ لِصَاحِبِهِ: اذْهَبْ بِنَا إِلَى هَذَا النَّبِيِّ قَالَ: فَقَبَّلَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالَا: نَشْهَدُ أَنَّكَ نَبِيُّ اللَّهَ 

“bahwa seorang Yahudi berkata kepada temannya: “Ajaklah saya kepada Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ini.” Sofwan berkata: “Kemudian mereka berdua mencium tangan dan kaki Nabi saw. seraya berkata: ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم” (HR. Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah)

“Diriwayatkan dari Ammar bin Abi ‘Ammar:

أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَكِبَ يَوْمًا، فَأَخَذَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِرِكَابِهِ، فَقَالَ: تَنَحَّ يَا ابْنَ عَمّ رَسُولِ اللَّهِ فَقَالَ: “هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِعُلَمَائِنَا وَكُبَرَائِنَا”، فَقَالَ زَيْدٌ: أَرِنِي يَدَكَ” فَأَخْرَجَ يَدَهُ فَقَبَّلَهَا فَقَالَ:   هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِأَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّنَا 

bahwa pada suatu hari Ziad bin Tsabit menaiki (tunggangannya) lalu Ibnu ‘Abbas memegani sanggurdinya, lalu Zaid berkata: “Tak perlu begitu wahai sepupu Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم” Ibnu ‘Abbas menjawab: “Seperti ini lah kami diperintah dalam memperlakukan ulama dan pembesar kami.” Lalu Zaid berkata: “Mana tangan engkau?” Ibnu ‘Abbas pun menjulurkan tangan lalu Zaid pun menciumnya seraya berkata: “Seperti ini kami diperintah dalam memperlakukan ahli bait Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم” (Abu Bakar Ahmad bin Marwan al-Dainuri dalam al-Mujalasah wa Jawahir al-‘Ilm, No. 1314).

 

PENJELASAN/PENDAPAT ULAMA :

Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari menukil perkataan Imam Nawawi,

قَالَ النَّوَوِيُّ: تَقْبِيلُ يَد الرَّجُلِ لِزُهْدِهِ وَصَلَاحِهِ أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ أَوْ صِيَانَتِهِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ لَا يُكْرَهُ بَلْ يُسْتَحَبُّ، فَإِنْ كَانَ لِغِنَاهُ أَوْ شَوْكَتِهِ أَوْ جَاهِهِ عِنْدَ أَهْلِ الدُّنْيَا فَمَكْرُوهٌ شَدِيدُ الْكَرَاهَةِ، وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْمُتَوَلِّي: لَا يَجُوزُ

Imam Nawawi berkata  “Mencium tangan orang saleh karena kezuhudan, kesalehan, keilmuan, jasanya, atau karena latar belakang agama lainnya tidaklah makruh, bahkan disunnahkan (dianjurkan). Namun, jika karena kekayaan, kekuasaan, kedudukan, dan alasan duniawi lainnya, hal tersebut dilarang keras.”

 

Syekh Zakariya Al-ansari dalam kitab Asnal Matalib menjelaskan :

وَيُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ يَدِ الْحَيِّ لِصَلَاحٍ وَنَحْوِهِ مِنْ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ كَزُهْدٍ وَعِلْمٍ وَشَرَفٍ كَمَا كَانَتْ الصَّحَابَةُ تَفْعَلُهُ مَعَ النَّبِيِّ كَمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَغَيْرُهُ بِأَسَانِيدَ صَحِيحَةٍ (وَيُكْرَهُ) ذَلِكَ (لِغِنَاهُ وَنَحْوِهِ) مِنْ الْأُمُورِ الدُّنْيَوِيَّةِ كَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الدُّنْيَا لِخَبَرِ «مَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ لِغِنَاهُ ذَهَبَ ثُلُثَا دِينِهِ

Disunahkan mencium tangan seseorang, karena kebaikan agamanya, kezuhudan, kealiman, kemuliannya seperti yang dilakukan para sahabat kepada Nabi Muhammad sesuai hadis riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad sahih. Namun dimakruhkan mencium tangan seseorang karena kekayaannya atau lainnya yang bersifat duniawi seperti lantaran butuh dan hajatnya pada orang yang memiliki harta dunia berdasarkan hadis: Barangsiapa merendahkan hati pada orang kaya karena kekayaannya hilanglah dua pertiga agamanya. [Asnal Matalib, 3/114]

 

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab At-Talkhis Al-Habir menjelaskan :

 

وَفِي تَقْبِيلِ الْيَدِ أَحَادِيثُ جَمَعَهَا أَبُو بَكْرِ بْنُ الْمُقْرِي فِي جُزْءٍ جَمَعْنَاهُ، مِنْهَا: حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ فِي قِصَّةٍ قَالَ: "فَدَنَوْنَا مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ"، رَوَاهُ أَبُو دَاوُد.

وَمِنْهَا: حَدِيثُ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ: "قَالَ يَهُودِيٌّ لِصَاحِبِهِ: اذْهَبْ بِنَا إلَى هَذَا النَّبِيِّ ... "، الْحَدِيثَ، وَفِيهِ: "فَقَبَّلَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ، وَقَالَا: نَشْهَدُ أَنَّك نَبِيٌّ"

Tentang cium tangan, terdapat hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar bin Al-Muqri. Beliau mengumpulkan dalam satu juz penuh. Diantaranya adalah Hadits dari Ibnu Umar dalam sebuah cerita mengatakan : “Maka kami menghampiri Nabi

Muhammad صلى الله عليه و سلم, dan kami mencium tangan dan kakinya.” (HR. Abu Dawud).

Diantaranya “ Hadits Safwan bin Assal yang berkata: “Seorang Yahudi berkata kepada temannya: Bawalah kami kepada Nabi ini........ Kemudian mereka mencium tangan dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa kamu adalah seorang nabi.”

[Talkhish Al-Habir, 4/246]

 

 

Syekh Adzim Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud :

وَقَالَ الْأَبْهَرِيُّ إِنَّمَا كَرِهَهَا مَالِكٌ إِذَا كَانَتْ عَلَى وَجْهِ التَّكَبُّرِ وَالتَّعْظِيمِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِهِ فَأَمَّا إِذَا قَبَّلَ إِنْسَانٌ يَدَ إِنْسَانٍ أَوْ وَجْهَهُ أَوْ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ مَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً عَلَى وَجْهِ الْقُرْبَةِ إِلَى اللَّهِ لِدِينِهِ أَوْ لِعِلْمِهِ أَوْ لِشَرَفِهِ فَإِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ

Al-Abhari berkata : Malik tidak menyukai (mencium tangan) jika hal itu berupa kesombongan dan penghormatan terhadap orang yang melakukan hal itu kepadanya. Akan tetapi, jika seseorang mencium tangan, wajah, atau sebagian tubuhnya, demi kedekatan dengan Allah atas agama, ilmu, atau kehormatannya, maka hal itu diperbolehkan. ['Aunul Ma'bud, juz 14/90]. Wallahu a’lam.

 

Selasa, 14 Oktober 2025

HUKUM KENCING SAMBIL BERDIRI

 

HUKUM KENCING SAMBIL BERDIRI

Oleh : Masnun Tholab

 

DALIL-DALIL

Dari Hudzaifah Radhiyallahu 'Anhuy, dia mengatakan,

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ لَقَدْ أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا

"Sungguh aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau beliau berkata Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah mulik suatu kaum lalu beliau buang air sambil berdiri." ((HR. Bukhari no. 224 dan Muslim no. 273); Nailul Authar no. 145)

 

Dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyampaikan,

مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبُوْلُ قَائِماً، فَلَا تُصَدِّقْهُ، مَا كَانَ النَّبِيُّ يَبُوْلُ إِلَّا قَاعِداً

"Siapa yang menyampaikan kepadamu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam buang air kecil sambil berdiri maka janganlah percaya kepadanya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah buang air kecil kecuali dengan duduk." (HR. Al-Nasai, no. 3227, Abu Dawud, no. 2050; Nailul Authar no. 143)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata:

Hadis ini menunjukkan, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam tidak pernah buang air kecil dengan berdiri, bahkan petunjuk Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam tentang buang air kecil adalah dengan duduk, maka buang air kecil dengan berdiri itu makruh. Tetapi perkataan Aisyah ini tidak meniadakan penetapan orang yang menetapkan terjadinya Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam buang air kecil dengan berdiri. Dan tidak ragu-ragu lagi, bahwa biasanya Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam buang air kecil dengan duduk, dan dlahirya buang air kecilnya Nabi SAW. dengan berdiri itu adalah untuk menunjukkan bolehnya, dan menurut satu pendapat, bahwa perbuatannya itu adalah karena suatu penyakit yang ada pada betisnya.

[Bustanul Ahbar, Mukhtashar Nailul Authar 1/]

 

Dari ‘Abdurrahman bin Hasanah, dia mengatakan,

خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي يَدِهِ كَهَيْئَةِ الدَّرَقَةِ قَالَ : فَوَضَعَهَا ، ثُمَّ جَلَسَ فَبَالَ إِلَيْهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami dan di tangannya terdapat sesuatu yang berbentuk perisai, lalu beliau meletakkannya kemudian beliau duduk lalu kencing menghadapnya.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

 ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu- berkata,

رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ :« يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا ». قَالَ فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku kencing sambil berdiri, kemudian beliau mengatakan, “Wahai ‘Umar janganlah engkau kencing sambil berdiri.” Umar pun setelah itu tidak pernah kencing lagi sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

 

Dari Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثلاثٌ مِنَ الجَفاءِ أنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قائِماً أوْ يَمْسَحَ جَبْهَتَهُ قَبْلَ أنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاتِهِ أوْ يَنْفُخَ في سُجُودِهِ

“Tiga perkara yang menunjukkan perangai yang buruk: [1] kencing sambil berdiri, [2] mengusap dahi (dari debu) sebelum selesai shalat, atau [3] meniup (debu) di (tempat) sujud.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam At Tarikh dan juga oleh Al Bazzar)

 

 

Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

إِنَّ مِنَ الجَفَاءِ أَنْ تَبُوْلَ وَأَنْتَ قَائِمٌ

“Di antara perangai yang buruk adalah seseorang kencing sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi). Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa periwayat hadits ini adalah periwayat yang tsiqoh (terpercaya).

 

PENDAPAT/PENJELASAN ULAMA

Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Al Husaini dalam kitab Kifayatul Akhyar, berkata :
ويكره البول قائماً إلا لعذر لأنه صلى الله عليه وسلم فعله لعذر

"Dimakruhkan kencing sambil berdiri kecuali jika ada udzur, karena Nabi kencing sambil berdiri disebabkan udzur." (Kifayatul Akhyar hlm 31)


Abi Yahya Zakaria al-Anshari.
Asy-Syafii, berkata :

 ( وَلَا ) يَبُولُ ( قَائِمًا ) لِخَبَرِ التِّرْمِذِيِّ ، وَغَيْرِهِ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ { مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُولُ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ مَا كَانَ يَبُولُ إلَّا قَاعِدًا } ( إلَّا لِعُذْرٍ ) فَلَهُ أَنْ يَبُولَ قَائِمًا بِلَا كَرَاهَةٍ بَلْ ، وَلَا خِلَافَ الْأَوْلَى لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ { أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا

(Dan tidak kencing dalam keadaan berdiri), Karena adanya hadist at-Turmudi dan selainnya dengan isnad jayid bahwa Aisyah berkata: "Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian membenarkannya, perkara yg benar adalah Nabi tidak kencing kecuali dalam keadaan duduk." (kecuali udzur) maka bagi orang bila kencing dengan kondisi berdiri itu tidak makruh, tidak ada khilaful aula karena hadist sohih Bukhori Muslim: "Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah milik suatu kaum. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri." (Asna al Mathalib juz 1 hlm 259)

 

An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab berkata :

فَقَالَ أَصْحَابُنَا يُكْرَهُ الْبَوْلُ قَائِمًا بِلَا عُذْرٍ كَرَاهَةَ تَنْزِيهٍ وَلَا يُكْرَهُ لِلْعُذْرِ وَهَذَا مَذْهَبُنَا

Sahabat kita (pengikut Syafi’i) mengatakan makruh kencing sambil berdiri dengan tanpa uzur sebagai makruh tanzih dan tidak makruh kalau uzur. Ini adalah mazhab kita.”

[Al- Majmu’ Syarh al-Muhazzab 2/100].

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Baari :

قال ابن بطال : دلالة الحديث على القعود بطريق الأولى ; لأنه إذا جاز قائما فقاعدا أجوز .

Dalam hadits  ini menunjukan bahwa  kencing sambil duduk lebih utama daripada sambil berdiri, karena  apabila kencing sambil berdiri itu di perbolehkan, apalagi jika sambil duduk, tentu saja lebih diperbolehkan (Ibnu Bathal). [Fathul Baari 2/294, hadits no. 224]

 

Kencing Dalam Bejana

Dari Umaimah binti Ruqaiqah dari ibunya, ia berkata:

كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدَحٌ مِنْ عَيْدَانٍ يَبُولُ فِيهِ وَيَضَعُهُ تَحْتَ السَّرِيرِ

Adalah Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam mempunyai sebuah kendil dari kayu di bawah dipannya, yang ia buang air kecil di tempat itu di waktu malam.  (HR Abu Dawud dan Nasa’i; Nailul Authar no. 141)

Syarih berkata: 

Hadis ini menunjukkan bolehnya menyediakan bejana untuk buang air kecil di waktu malam, dan ini termasuk perkara yang aku tidak melihat adanya khilaf.

.

 

 

KOTORAN HEWAN YANG HALAL DIMAKAN, SUCI?

  KOTORAN HEWAN YANG HALAL DIMAKAN, SUCI? Oleh : Masnun Tholab   DALIL-DALIL Anas bin Malik  Radhiyallahu ‘anhu, كَانَ النَّبِىُّ ...