Jumat, 01 April 2011

MEMBACA FATIHAH DALAM SHALAT BERJAMA’AH

MEMBACA FATIHAH DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dan umat islam apakah dalam shalat berjamaah, makmum harus membaca Al-Fatihah atau tidak. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap hadits-hadits dan ayat-ayat Al-Quran tentang hal tersebut.

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid mengatakan :
واتفقوا على أنه لا يحمل الإمام عن المأموم شيئا من فرائض الصلاة ما عدا القراءة، فإنهم اختلفوا في ذلك على ثلاثة أقوال: أحدها أن المأموم يقرأ مع الإمام فيما أسر فيه ولا يقرأ معه فيما جهر به. والثاني أنه لا يقرأ معه أصلا. والثالث أنه يقرأ فيما أسر أم الكتاب وغيرها، وفيما جهر أم الكتاب فقط،
وبالأول قال مالك، إلا أنه يستحسن له القراءة فيما أسر فيه الإمام. وبالثاني قال أبو حنيفة، وبالثالث قال الشافعي، والتفرقة بين أن يسمع أو لا يسمع هو قول أحمد بن حنبل
Kalangan fuqaha sepakat bahwa imam merupakan penanggung berbagai fardhu shalat atas makmum, kecuali bacaan Al-Quran. Mengenai bacaan Al-Quran ini kalangan fuqaha terpecah menjadi tiga kelompok :
Pertama, makmum membaca bersama imam ketika imam membaca dengan pelan. Namun makmum tidak membaca dengan imam ketika imam membaca dengan keras.
Kedua, Makmum sama sekali tidak membaca.
Ketiga, Makmum membaca Al-Fatihah dan surat dari Al-Quran ketika imam membaca dengan pelan, dan membaca Al-Fatihah saja ketika imam membaca dengan keras.
Pendirian pertama dipegangi oleh Malik. Namun ia tetap berpendirian lebih baik membaca ketika imam membaca dengan pelan.
Pendirian kedua dikemukakan oleh Abu Hanifah dan yang ketika dipegangi Syafi’i.
Masalah perbedaan antara makmum yang bisa mendengar dan yang tidak, berasal dari pendapat Ahmad bin Hanbal.
والسبب في اختلافهم اختلاف الأحاديث في هذا الباب وبناء بعضها على بعض، وذلك أن في ذلك أربعة أحاديث:
أحدها قوله عليه الصلاة والسلام "لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب"
وما ورد من الأحاديث في هذا المعنى مما ذكرناه في باب وجوب القراءة.
والثاني ما روى مالك عن أبي هريرة؟ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم انصرف من صلاة جهر فيها بالقراءة فقال: هل قرأ معي منكم أحد آنفا، فقال رجل: نعم أنا يا رسول الله، فقال رسول الله: إني أقول مالي أنازع القرآن" فانتهى الناس عن القراءة فيما جهر فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم.
والثالث حديث عبادة بن الصامت قال "صلى بنا رسول الله صلاة الغداة فثقلت عليه القراءة. فلما انصرف قال: إني لأراكم تقرءون وراء الإمام، قلنا: نعم، قال: فلا تفعلوا إلا بأم القرآن" قال أبو عمر، وحديث عبادة بن الصامت هنا من رواية مكحول وغيره متصل السند صحيح. والحديث الرابع حديث جابر عن النبي عليه الصلاة والسلام قال "من كان له إمام فقراءته له قراءة"
وفي هذا أيضا حديث خامس صححه أحمد بن حنبل، وهو ما روي أنه قال عليه الصلاة والسلام "إذا قرأ الإمام فأنصتوا"
فاختلف الناس في وجه جمع هذه الأحاديث. فمن الناس من استثنى من النهي عن القراءة فيما جهر فيه الإمام قراءة أم القرآن فقط على حديث عبادة بن الصامت. ومنهم من استثنى من عموم قوله عليه الصلاة والسلام "لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب" المأموم فقط في صلاة الجهر لمكان النهي الوارد عن القراءة فيما جهر فيه الإمام في حديث أبي هريرة،.وأكد ذلك بظاهر قوله تعالى {وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون} قالوا: وهذا إنما ورد في الصلاة
Sebagai sebab timbulnya perbedaan pendirian ini adalah terdapatnya beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah di atas, disamping penguatan sebagian hadits atas hadits lainnya. Hadits-hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Pernyataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari, Azan/714; Tirmidzi 247)
Juga hadits-hadits senada yang sudah saya kemukakan dalam bahasan kewajiban membaca Al-Quran.

b. Riwayat Malik, dari Abu Hurairah RA :
أن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم انصرف مِنْ صَلَاةٍ جَهَرَ فِيْهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ "هَلْ قَرَأَ مَعِيْ أَحَدٌ مِنْكُمْ آنِفاً"؟ فَقَالَ رَجُلٌ: نَعَمْ يارسول اللّه، قال: "إِنِّي أَقُوْلَ مَا لِيْ أُنَازِعُ الْقُرْآنَ"؟ قال: فَانْتَهَى النَّاسَ عَنِ الْقِرَاءَةِ مَعَ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم فِيْمَا جَهَرَ فِيْهِ النبي صلى الله عليه وسلم بالْقِرَاءَةِ مِنَ الصَّلَوَاتِ حِيْنَ سَمِعُوْا ذَلِكَ مِنْ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan sholat yang beliau keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Abu Dawud 826 , At Tirmidzi, An Nasa-i dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).

c. Hadits Ubadah bin Shamit :
صَلَّى بِنَا رسول الله صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قال: إِنِّي لِأَرَاكُمْ تَقْرَءُوْنَ وَرَاءَ الْإِمَامِ، قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: فَلَا تَفْعَلُوْا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ
“Kami pernah melakukan sholat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat Shubuh. Beliau merasa berat untuk membaca (Alqur’an/Al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai sholat), beliau saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kaum sekalian (mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian?’.Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau saw. bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”. (HR.Imam Ahmad , Abu Dawud , Imam Turmudzi )
Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa hadits Ubadah di atas diriwayatkan oleh seorang bernama Mak-hul dan lainnya, dan sanadnya bersambung. Hadits ini shahih.

d. Hadits darti Jabir, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامً فَقَرَاءَةُ الْإِمَامَ لَهُ قَرَاءَ ةٌ
"Siapa mengikuti imam (dalam shalat), maka bacaan imam adalah bacaan baginya." (HR. Ibnu Majah)
Catatan : Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan : Hadits tersebut adalah hadits mursal (terputus), sehingga ia tidak bisa digunakan sebagi dalil.
[Subulussalam 1, hal. 455]

e. Hadits yang menurut Ahmad Shahih :
وَإِذَا قَرَأَالْإِمَامُ فَأَنْصِتُوا
“Kalau (imam) membaca, maka kalian hendaknya diam”. (HR. Ahmad).

Di dalam menjamak beberapa hadits di atas, kalangan fuqaha saling berbeda. Terdapat fuqaha yang mengecualikan bacaan al-Fatihah dari seluruh bacaan dalam shalat ketika imam membaca dengan jahr (keras). Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas. Di lain pihak, ada fuqaha yang berpendirian bahwa yang dikecualikan adalah bacaan makmum ketika imam membaca dengan keras, karena adanya larangan yang tersebut di dalam hadits Abu Hurairah di atas. Larangan di dalam hadits tersebut diperjelas oleh ayat :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Mereka berpendapat perintah dalam ayat tersebut hanya berlaku dalam shalat.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 349]

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Pada asalnya shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surah Al-Fatihah pada setiap rekaat shalat fardhu maupun shalat sunnah sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Akan tetapi kewajiban membaca bagi makmum digugurkan ketika mengerjakan shalat-shalat yang mesti dikeraskan suaranya dan ia wajib diam dan mendengarkan abcaan imam. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Juga karena sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَ ا كَبَّرَ الْإِمَامُ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا ".
"Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)…"
(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud no. 603 & 604). Menurut Muslim hadits ini shahih.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1, hal 13]
Dengan demikian inilah maksud hadits yang berbunyi,
”Barangsiapa yang mengerjakan shalat berjamaah, maka bacaan imam itu berarti bacaannya”
Jadi, maksudnya adalah bacaan imam itu berarti bacaan makmum pada shalat-shalat yang harus menyaringkan suara bacaan. Adapun shalat-shalat yang harus memperlahankan suara bacaan, maka makmum wajib membaca Al-Quran. Begitu juga makmum wajib membaca Al-Quran pada shalat-shalat yang harus menyaringkan suara bacaan, jika bacaan imam tidak kedengaran.
Selanjutnya Sayyid Sabiq mengutip pendapat Abu Bakar Ibnu Arabi yang mengatakan :
Mengenai shalat yang harus menyaringkan suara bacaan, maka tidak boleh membaca Al-Quran, disebabkan oleh tiga alasan :
Pertama, karena yang demikian itu memrupakan amalan penduduk Madinah.
Kedua, karena itu adalah perintah Al-Quran, sebagaimana firmanNya,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Disamping itu ayat ini didukung oleh dua buah hadits, yaitu :
Hadits pertama adalah hadits Imran bin Husain,
قَدْ عَلِمْتَ أنْ بَعْضَكُمْ خَالَجْنِيْهَا
”Sesungguhnya aku mengetahui bahwa ada beberapa orang diantara kamu telah mengacaukan pikiranku dengan bacaan”

Hadits kedua adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَإِذَا قَرَأَ الْاِمَامُ فَأَنْصِتُوا
”Jika imam membaca Al-Quran hendaknya kamu diam”

Ketiga, ialah tarjih, yakni mengambil pendapat yang lebih kuat. Jadi, jika imam sudah membaca ayat Al-Quran, maka makmum tidak perlu lagi membaca ayat Al-Quran.
[Fiqih Sunnah 1/223-224]

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
الحنفية قالوا لا يقرأ خلف الإمام لا في سرية ولا جهرية واستدلوا على ذلك بحديث عبد اللَّه بن شداد الآتي وهو ضعيف لا يصلح للاحتجاج به
ذهب الشافعي وأصحابه إلى وجوب قراءة الفاتحة على المؤتم من غير فرق بين الجهرية والسرية سواء سمع المؤتم قراءة الإمام أم لا وإليه ذهب الناصر من أهل البيت واستدلوا على ذلك بحديث عبادة بن الصامت
قال النووي‏:‏ وهكذا الحكم عندنا ولنا وجه شاذ ضعيف أنه لا يقرأ المأموم السورة في السرية كما لا يقرؤها في الجهرية وهذا غلط لأنه في الجهرية يؤمر بالإنصات وهنا لا يسمع فلا معنى لسكوته من غير استماع ولو كان بعيدًا عن الإمام لا يسمع قراءته فالصحيح أنه يقرأ السورة لما ذكرناه انتهى
Golongan Hanafi mengatakan , “Makmum tidak membaca di belakang imam, baik dalam shalat sirr (shalat yang bacaannya tidak dinyaringkan) maupun shalat jahr (shalat yang bacaannya dinyaringkan)”. Mereka berdalih dengan hadits Abdullah bin Syaddad, namun hadits ini lemah sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Imam Syafi’i dan para sahabatnya berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah bagi makmum, tanpa membedakan antara shalat jahr dan shalat sirr, baik makmum itu bisa mendengar bacaan imamnya maupun tidak. Mereka berdalil dengan hadits Ubadah bin Shamit.
An-Nawawi berkata, “Begitulah hukumnya menurut madzhab kami. Ada pandangan janggal yang lemah menurut kami, yaitu tentang pendapat yang menyebutkan bahwa makmum tidak membaca surah di dalam shalat sirr sebagaimana di dalam shalat jahr. Pendapat ini keliru, karena di dalam shalat sirr, makmum tidak mendengar bacaan imam, sehingga bila ia diam (tidak membaca apa-apa), maka tidak ada gunanya ia diam bila ia tidak ada yanbg didengarkan, atau bila ia jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya. Yang benar, bahwa makmum membaca surah dengan alasan sebagaimana yang telah kami ungkapkan”
[Nailul Authar 2/151 (1/484)].

Dalam kitab Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-Asqalani mengutip hadits dari Ubadah bin Shamit dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْأَنِ
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari, Azan/714; Tirmidzi 247)

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan :
ثم ظاهر الحديث وجوب قراءتها في سرية وجهرية: للمنفرد، والمؤتم. أما المنفرد فظاهر، وأما المؤتم فدخوله في ذلك واضح، وزاده إيضاحاً في قوله: (وفي أخرى) من رواية عبادة (لأحمد، وأبي داود، والترمذي، وابن حبان: لعلكم تقْرءُون خلفَ إمامكم؟ قلنا: نعم، قال: لا تفعلوا إلَّا بفاتحة الكتابِ، فإنهُ لا صلاة لمنْ لم يقرأ بها) ، فإنه دليل على إيجاب قراءة الفاتحة خلف الإمام تخصيصاً، كما دل اللفظ الذي عند الشيخين بعمومه، وهو أيضاً ظاهر في عموم الصلاة: الجهرية، والسرية، وفي كل ركعة أيضاً
Secara zhahir, hadits tersebut menjelaskan bahwa surat tersebut dibaca baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah. Baik untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian maupun sebagai makmum. Karena zhahir hadits ini menjelaskan hokum untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian. Sedangkan seorang makmum tiodak diragukan bahwa ia termsuk dalam hokum ini.
Penjelasan di atas diperkuat oleh hadits Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban,
“Apakah kalian membaca sesuatu di belakang imam kalian?” Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”.
Hadits ini dengan jelas menyebutkan wajibnya membaca surat Al-Fatihah bagi makmum. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim bahwa perintah tersebut bersifat umum, mencakup shalat jahriyah maupun shalat sirriyah dalam setiap rekaat.
[Subulussalam 1/50 (1/454)]

Syaikh Imam Al-Qurtubhi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi berkata :
Saat berada di Irak, Asy-Syafi’i pernah berkata tentang seorang makmum, “Makmum harus membaca Al-Fatihah jika imam tidak mengeraskan bacaannya. Tapi dia tidak wajib membacanya jika imam mengeraskan bacaannya”. Pendapat ini persis seperti pendapat yang masyhur dalam madzhab Malik. Sementara di Mesir, Asy-Syafi’i berkata, “Untuk shalat dimana imam mengeraskan bacaannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat : Pertama, makmum harus membaca Al-Fatihah. Kedua, akan dianggap cukup baginya jika dia tidak membaca surah Al-Fatihah dan hanya mengandalkan bacaan imam.
[Tafsir Al-Qurthubi 1, hal. 304]

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
ويستوي في تعين الفاتحة الامام والمأموم والمنفرد في السرية والجهرية ولنا قول ضعيف أنها لا تجب على المأموم في الجهرية ووجه شاذ أنها لا تجب عليه في السرية أيضا
وإذا قلنا يقرأ المأموم في الجهرية فلا يجهر بحيث يغلب جهره بل يسر بحيث يسمع نفسه لو كان سميعا فإن هذا أدنى القراءة ويستحب للامام على هذا القول أن يسكت بعد الفاتحة قدر قراءة المأموم لها
Dalam hal kewajiban membaca Al-Fatihah, sama hukumnya antara imam, makmum, orang yang shalat sendirian baik dengan menyamarkan bacaan atau men-jahr-kannya. Pada kami terdapat pendapat yang lemah yang menyatakan bahwa membaca Al-Fatihah tersebut tidak diwajibkan bagi makmum dalam shalat yang dibaca dengan suara keras. Adapun pendapat pengikut madzhab Syafi’i yang aneh mengatakan bahwa membaca Al-Fatihah juga tidak diwajibkan dalam shalat yang disamarkan.
Jika kita katakan, “Makmum harus membaca Al-Fatihah dalam shalat yang dibaca dengan suara keras, dan hendaklah dia tidak mengangkat suara melebihi suara imam, akan tetapi hendaklah dia membacanya dengan sirr (pelan) sehingga hanya didengar oleh dirinya sendiri jika dia dapat mendengar. Inilah standar minimal surah Al-Fatihah. Berdasarkan pendapat ini, maka seorang imam dianjurkan untuk diam setelah membaca Al-Fatihah yang lamanya sekitar selesainya makmum membaca Al-Fatihah”
[Raudhatuth Thalibin 1/221 (1/513)].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fat-hul Mu’in berkata :
يسن للامام أن يسكت في الجهرية بقدر قراءة المأموم الفاتحة - إن علم أنه يقرؤها في سكتة - كما هو ظاهر، وأن يشتغل في هذه السكتة بدعاء أو قراءة، وهي أولى
Pada shalat jahriyah imam disunatkan berdiam sebentar (jangan cepat-cepat membaca surat), seukuran makmum membaca Fatihah. Bila ia mengetahui makmum membaca Fatihah ketika ia diam itu, hendaknya ia menyibukkan diri dengan membaca do’a atau membaca Quran. Hal itu lebih utama.
[Fat-hul Mu’in 1/80 (1/181)]

Syekh Muhammad Shaleh Al-Munajjid berkata :
Syekh Bin Baz berkata: Maksud jeda imam adalah jeda pada saat membaca Al-Fatihah, atau sesudahnya atau jeda saat membaca surat setelahnya. Seandainya imam tidak ada jeda, maka makmum tetap harus membaca Al-Fatihah meskipun saat itu imam dalam kondisi membaca, menurut pendapat yang kuat dari para ulama. (Silahkan lihat Fatawa Syekh Ibnu Baz, 11/221).
-http://www.islamqa.com/id/ref/10995

Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan dalam kitab Fiqih Sunnah :
Jika ada orang yang bertanya, sebenarnya makmum dibolehkan membaca Al-Quran, yaitu sewaktu imam itu berhenti sejenak. Jawabnya adalah berhenti bukanlah suatu keharusan bagi imam. Lantas bagaimanakah caranya melakukan atau memaksakan sesuatu yang fardhu ke dalam perkara yang tidak fardhu, apalagi pada waktu mengerjakan shalat yang harus menyarungkan suara bacaan? Sebenarnya, kita sebagai makmum mempunyai kesempatan untuk membaca ayat Al-Quran dengan cara lain, yaitu membacanya dalam hati, seperti merenung dan memikirkan maknanya.
[Fiqih Sunnah 1/223-224]

Ibnu Taimiyah berkata :
Orang yang mendengar bacaan imam wajib diam mendengarkan. Jadi ia sama dengan orang yang membaca. Bagi orang yang tidak mendengar bacaan imam, ia harus membaca.
[Bulughul Maram, hal. 120]

Kesimpulan :
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Al-Fatihah wajib dibaca pada setiap rekaat shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum yang shalat di belakang imam. Sebagian berpendapat makmum tetap wajib membaca Al-Fatihah, sebagian berpendapat makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah, karena membaca Al-Fatihah sudah dilakukan oleh imam.

Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2006.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-http://www.islamqa.com/id/ref/10995

***Slawi, Nopember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...