ORANG JUNUB DAN WANITA HAID MASUK MASJID
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
وعن عائشة رضي الله عنها قالتْ: قالَ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "إني لا أُحِلُّ المَسْجِدَ لحائض ولا جُنُبٍ". رواه أبو داود. وصحّحه ابنُ خزيمةَ.
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid dan junub." Riwayat bu Dawud dan hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah.
[Bulughul Maram/52].
Ibnu Ruyd berkata :
Hadits ini menurut penelitian ahli hadits tidak sahih. Perlu diketahui di sini bahwa perbedaan fuqaha dalam masalah orang junub ini juga mengakibatkan perbedaan mereka dalam masalah haid.
[Bidayatul Mujtahid 1/ (1/94)].
Imam Ash-Shan’ani berkata :
والحديث دليل على أنه لا يجوز للحائض والجنب دخول المسجد، وهو قول الجمهور، وقال داود، وغيره: يجوز، وكأنه بني على البراءة الأصلية، وأن هذا الحديث لا يرفعها.
وأما عبورهما المسجد، فقيل: يجوز لقوله تعالى:
{… إلا عابري سبيل …}
في الجنب، وتقاس الحائض عليه، والمراد به: مواضع الصلاة.
وأجيب: بأن الآية فيمن أجنب في المسجد فإنه يخرج منه للغسل، وهو خلاف الظاهر، وفيها تأويل اخر
Hadits tersebut adalah dalil tidak bolehnya perempuan yang sedang haidh dan junub masuk ke dalam masjid, demikianlah menurut pendapat jumhur ulama. Sementara Dawud dan ulama lainnya mengatakan boleh, sepertinya pendapatnya ini berdasarkan al-bara'ah al-ashliah (hukum asalnya, terlepasd ari kewajiban),dan hadits ini iidak dapat mengangkat hukum asal tersebut.
Adapun melewati masjid bagi yang haidh dan junub, ada yang mengatakan boleh, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "..terkecuali sekedar berlalu saja.(.Q" S. An-Nisa': 43) Mengenai yang junub, sedangkan perempuan haidh diqiaskan padanya. Yang dimaksud dalam ayat itu adalah tempat-tempat shalat.
Pendapat tersebut dapat dijawab, bahwa ayat itu berkenaan dengan orang yang junubnya terjadi di dalam masjid, maka dia harus keluar untuk mandi, ini berbeda dengan zhahirnya ayat tersebut. Dan terdapat penafsiran yang lain mengenai ayatini.
[Subulussalam 1/ (1/229)].
عن عائشة قالت: قال لي رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم نَاوِلْيِنِي الْخُمْرَةَ من المسجدِ فقلت: إني حائضٌ فقال: إن حَيْضَتَكَ لَيْسَتْ في يَدِكَ
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ambilkanlah aku sajadahku dari masjid’. Lalu aku berkata, 'Sesungguhnya aku sedang haidh, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya haidh itu tidak berada di tanganmu.,' (HR. Jama'ah keccuali Al-Bukkhari)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على جواز دخول الحائض المسجد للحاجة ولكنه يتوقف على تعلق الجار والمجرور أعني قوله: من المسجد بقوله: ناوليني وقد قال بذلك طائفة من العلماء واستدلوا به على جواز دخول الحائض المسجد للحاجة تعرض لها إذا لم يكن على جسدها نجاسة وأنها لا تمنع من المسجد إلا مخافة ما يكون منها وعلقته طائفة أخرى بقوله: (قال لي رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم من المسجد ناوليني الخمرة) على التقديم والتأخير.
وعليه المشهور من مذاهب العلماء أنها لا تدخل لا مقيمة ولا عابرة لقوله: صلى اللَّه عليه وآله وسلم (لا أحل المسجد لحائض ولا جنب)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya masuk masjid,bagi orang orang yang haidh dengan adanya hajat . Tetapi pendapati ni tergantung pada hubungan jar dan majrur, yakni pada perkataan "minalinasjidi" berdasarkan perkataan" naawillini". Mereka yang berpendapau demikian adalah segolongan Ulama. Mereka menggunakan hadits ini sebagai dalil bolehnya masuk masjid bagi orang yang haidh karena adanya hajat, jika badannya tidak terkena najis maka tidak ada halangan baginya masuk masiid kecuali khawatir adanya najis. Golongan lain menggantungkan perkataan,
"Rasulullah mengatakan kepada kami dari masjid, ambilkanlah aku kerudung" pada taqdim dan ta’khir (lafadz yang terdahulu dan yang terkemudian).
Madzhab Ulama yang masyhur berpendapat bahwa orang yang haidh tidak masuk masjid, tidak tinggal, dan tidak melewati berdasarkan sabda Nabi yang berbunyi, Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haid dan junub."
[Nailul Authar 1/ 189 (1/514)].
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Haram bagi orang junub menetap di masjid karena hadits Aisyah r.a.,
وعن عائشة قالت: جاء رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم وَوُجُوْهُ بُيُوْتِ أَصْحَابِهِ شَارِعَةٌ في المسجدِ فقال: وَجِّهُوْا هَذِهِ الْبُيُوْتَ عن المسجدِ ثم دخل رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم ولم يَصْنَعِ الْقَوْمُ شيئًا رَجَاءَ أن يَنْزِلَ فيهم رُخْصَةٌ فخرج إليهم فقال: وِجِّهُوْا هذه البُيُوْتَ عن المسجدِ فَإِنِّي لا أُحِلُ المسجدَ لِحَائِضٍ ولا جُنُبٍ
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke masjid, sementara bagian depan rumah para sahabatnya ada menjorok ke dalam masjid. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun bersabda, 'Pindahkan bagian depan rumah-rumah ini dari masjid! Kemudian Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun masuk sedangkan orang-orang itu belum berbuat apa-apa karena mengharapkan keringanan dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam . Akhirnya, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pun keluar menjumpai para pemilik rumah itu, katanya, ’palingkan rumah-rumah ini dari masjid karena aku tiada membolehkan pertempuan haid dan orang junub memasuki masjid” (HR. Abu Dawud)
وعن أم سلمة قالت: دخل رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم صَرْحَةَ هذا المسجدِ فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ أن المسجدَ لا يحلُّ لِحَائِضٍ ولا جُنُبٍ
Dari Ummu Salamah ra, " Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masuk ke halaman masjid dan berseru sekeras suaranya, ’Sesungguhnay masjid ini tidak boleh dimasuki orang haid dan orang junub!"'(HR Ibnu Majah dan Thabrani)
Kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa orang haid dan orang junub tidak boleh tinggal atau menetap di dalam masjid, tetapi keduanya diberi keringanan untuk melintasnya saja, karena firman Allah ta'ala,
يا أيها الذين آمنوا لا تقربوا الصلاةَ وأنتم سكارى حتى تعلموا ما تقولون ولا جُنُبًا إلا عابري سبيلٍ حتى تغتسلوا
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.. ” (an-Nisaa' [4]: 43)
وعن جابر قال: كان أحدنا يَمُرُّ في المسجدِ جُنُبًا مَجْتَازًا
Dan diterima pula dari Jabir ra. Yang berkata, "Masing-masing kami biasa melewatl masjid dalam keadaan janabat, tetapi hanya melintas." (HR Ibnu Abu Syaibah dan Sa'id bin Manshur dalam buku Sunan-nya)
وعن زيد بن أسلم قال: كان أصحابُ رسولِ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يَمْشُوْنَ في المسجدِ وهم جُنُبٌ
Zaid bin Aslam berkata, "Para sahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasa berjalan di masjid, sedangkan mereka dalam keadaan junub." (HR Ibnu Mundzir)
Dari Yazid bin Habib bahwa ada beberapa orang di antara laki-aki Anshar; pintu rumah mereka
menghadap masjid. Mereka sering dalam keadaan junub dan tidak mendapatkan air. Mereka tidak
menemukan jalan lain untuk keluar tumah melainkan melalui pintu masjid. Lalu Allah menurunkan ayat, " (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecual sekadar
berlalu saja ." (HR. Ibnu Jarir)
وعن ميمونة قالت: كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يدخلُ على إِحْدَانَا وهي حائضٌ فَيَضَعُ رَأْسَهُ في حِجْرِهَا فَيَقْرَأُ القرآنَ وهي حائضٌ ثم تَقُوْمُ إحدانا بِخُمْرَتِهِ فَتَضَعُهَا في المسجدِ وهي حائضٌ
"Dari Maimunah, ia berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk kepada salah seorang di antara kami –padahal ia sedang haidh- lalu ia meletakkan kepalanya di pangkuannya (istrinya itu), kemudian ia membaca Al-Quran –sedang ia dalam keadaan haidh- lalu salah seorang diantara kami membasakan sajadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian ia letakkan di masjid, padahal ia sedang haidh." (HR. Ahmad dan Al-Nasa'i)
[Fiqih Sunnah 1/87-88].
Kesimpulan :
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang junub dan wanita haid dilarang masuk dan menetap dalam masjid, kecuali hanya sekedar lewat saja.
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
*Slawi, April 2011.
Selasa, 12 April 2011
Sabtu, 09 April 2011
CARA MANDI JUNUB
CARA MANDI JUNUB
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
Syarat Mandi minimal ada dua :
Pertama, Niat.
Bemiat mandi adalah wajib. Mengenai niat berikut Furu'nya (cabang) telah disebutkank ketika membahas Sifat Wudhu .Niat mandi ini tidak boleh diakhirkan dari pertama kali melakukan mandi fardhu. Apabila niat dilakukan bersamaan dengan permulaan mandi, maka sudah cukup.
Kedua ; Airnya mengenai seluruh badan.
Termasuk dalam pengertian seluruh badan itu adalah sesuatu terlihat dari kedua lobang telinga, lekukan badan, sesuatu yang di bawah Qulfah dan sesuatu yang terlihat dari daerah
yang tertutup menurut yang Ashah di dalam keduanya.
[Raudhatuth Thalibin 1/ (1/272)].
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
اختلفوا هل من شروط هذه الطهارة النية أم لا؟ كاختلافهم في الوضوء، فذهب مالك والشافعي وأحمد وأبو ثور وداود وأصحابه إلى أن النية من شروطها، وذهب أبو حنيفة وأصحابه والثوري إلى أنها تجزئ بغير نية كالحال في الوضوء عندهم
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah niat termasuk syarat mandi atau tidak. Perselisihan tersebut hampir sama dengan wudhu.
Menurut Malik, Syafi’i dan Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, dan para pengikutnya, niat termasuk sebagian syarat dalam wudhu. Sedang menurut Tsauri, Abu Hanifah, dan para pengikutnya, niat itu bukan syarat mandi, dan mandi sah tanpa niat. Menurut mereka persoalan mereka tidak berbeda dengan persoalan wudhu.
[Bidayatul Mujtahid 1/33 (1/83)].
Hadits-hadits Tentang Cara Mandi Junub Beserta Penjelasannya
Hadits 1
وعَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنْهَا قَالَتْ: "كانَ رسولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم إذا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فيَغْسل يَدَيْهِ، ثمَّ يُفْرِغُ بيمِينِه على شِمَالِه، فيَغْسِلُ فَرْجَهُ، ثمَّ يَتَوَضَّأُ، ثم يأخُذُ الماءَ، فَيُدْخِلُ أصابِعَهُ في أُصُولِ الشّعْرِ، ثمَّ حَفَنَ على رأسِهِ ثلاثَ حَفَناتٍ، ثمَّ أفَاضَ على سائرِ جَسَدِهِ، ثمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ" متفقٌ عليه، واللّفظُ لمُسلمٍ.
ولَهما، مِنْ حديثِ مَيْمُونَةَ: ثُمَّ أفْرغَ على فَرْجِهِ وغَسَلَهُ بِشِمالِه، ثمَّ ضَرَبَ بها الأرْضَ.
وفي رواية: فَمَسَحَها بالتّرابِ، وفي اخرهِ: "ثمَّ أَتَيْتُهُ بالمنْديل، فرَدَّهُ، وفيه: وجَعَلَ يَنْفُضُ الماءَ بِيَدِهِ".
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Biasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam jika mandi karena jinabat akan mulai dengan membersihkan kedua tangannya, kemudian menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu mencuci kemaluannya, kemudian berwudlu, lalu mengambil air, kemudian memasukkan jari-jarinya ke pangkal-pangkal rambut, lalu menyiram kepalanya tiga genggam air, kemudian mengguyur seluruh tubuhnya dan mencuci kedua kakinya. (HR. Bukhari 248, Muslim 316, dan lafadznya dari Muslim.)
Menurut Riwayat Bukhari-Muslim dari hadits Maimunah: Kemudian beliau menyiram kemaluannya dan membasuhnya dengan tangan kiri, lalu menggosok tangannya pada tanah. ((HR. Bukhari 249, Muslim 317)
Dalam suatu riwayat: Lalu beliau menggosok tangannya dengan debu tanah. Di akhir riwayat itu disebutkan: Kemudian aku memberikannya saputangan namun beliau menolaknya. Dalam hadits itu disebutkan: Beliau mengeringkan air dengna tangannya. ((HR. Bukhari 259, Muslim 317)
[Bulughul Maram/51].
Imam Ash-Shan’ani berkata :
وهذان الحديثان مشتملان على بيان كيفية الغسل من ابتدائه إلى انتهائه، فابتداؤه غسل اليدين قبل إدخالهما في الإناء إذا كان مستيقظاً من النوم، كما ورد صريحاً، وكان الغسل من الإناء، وقد قيّده في حديث ميمونة مرتين، أو ثلاثاً،
ويدل على أن الماء الذي يطهر به محل النجاسة طاهر مطهّر، وعلى تشريك النية للغسل الذي يزيل النجاسة برفعها الحدث. واستدلّ به على أن بقاء الرائحة بعد غسل المحل لا يضر. ويدل على أن غسل الجنابة مرة واحدة،
وأما وضوءه قبل الغسل: فإنه يحتمل أنه وضوءه للصلاة، وأنه يصح قبل رفع الحدث الأكبر، وأن يكون غسل هذه الأعضاء كافياً عن غسل الجنابة، وأنه تتداخل الطهارتان، وهو رأي زيد بن علي، والشافعي، وجماعة، ونقل ابن بطال الإجماع على ذلك،
ويحتمل أنه غسل أعضاء الوضوء للجنابة، وقدمها تشريفاً لها، ثم وضّأها للصلاة، لكن هذا لم ينقل أصلًا،
ويحتمل أنه وضّأها للصلاة، ثم أفاض عليها الماء مع بقية الجسد للجنابة، ولكن عبارة: "أفاض الماء على سائر جسده" لا تناسب هذا، إذ هي ظاهرة: أنه أفاضه على ما بقي من جسده مما لم يمسه الماء، فإن السائر: الباقي، لا الجميع. قال في القاموس: والسائر: الباقي، لا الجميع، كما توهّم جماعات.
فالحديثان ظاهران في كفاية غسل أعضاء الوضوء مرة واحدة عن الجنابة: وأنه لا يشترط في صحة الوضوء رفع الحدث الأكبر. ومن قال: لا يتداخلان، وأنه يتوضأ بعد كمال الغسل، لم ينهض له على ذلك دليل.
Kedua hadits tersebut mencakup katerangan tata cara mandi junub mulai dari permulaan sampai akhirnya, dimulai dengan mencuci kedua tangan sebelum mencelupkannya ke dalam bejana ketika baru bangun dari tidur, sebagaimana yang ditegaskan hadits,jika mandinya dari bejana, dan di
ddam hadits Maimuunah ditaqyid (dibatasi) dengan dua atau tga kali.
Haditsi ni juga menunjukkan bahwa air yang digunakan membersihkan tempat yang bernajis adalah suci lagi mensucikan. Juga menunjukkn bahwa niat untuk mandi menghilangkan najis harus didertai niat untuk menghilangkan hadats. Dan dijadikan dalil bahwa bau yang belum hilang setelah mencuci tempat yang terdapat najis tidaklah membahayakan, dan menunjukkan bahwa mandi junub (yang wajib) hanya sekali.
Adapun wudhu beliau sebelum mandi junub, boleh jadi seperti wudhunya untuk shalat, dan wudhu tersebut sah sebelum menghilangkan hadats besar. .Membasuh anggota-anggota wudhu tersebut sudah mencukupi dari mandi junub. Kedua. Cara bersuci itu digabung, ini adalah pendapat Zaid bin Ali, Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama lainnya, bahkan Ibnu Baththal menukil bahwa para ulama telah ijma’ dalam hal tersebut.
Mungkin juga beliau mencuci anggota wudhu untuk mandi .junub, beliau mendahulukannya karena untuk memuliakannya, lalu beliau berwudhu untuk shalat. Tapi pendapat ini pada dasarnya tidak ada yang menukilnya.
Mungkin juga wudhu beliau adalah untuk shalat, kemudian menuangkan air padanya beserta anggota wudhu lainnya dengan niat mandi junub. Tapi ungkapan (beliau mencurahkan air kesekujur tubuhnya) tidak sesuai dengan ungkapan ini, karena zhahirnya bahwa beliau mencurahkan air pada bagian tubuhnya yang belum terkena air, padahal kata sa’ir artinya yang tersisa bukan semuanya. Di dalam Al-Qamus dikatakan, bahwa kata sa’ir artinya sisa, bukan semuanya seperti dugaan banyak orang.
Dua hadits tersebut menjelaskan bahwa mencuci anggota wudhu cukup sekali saja, untuk mandi junub dan wudhu, dan tidak disyaratkan sahnya wudhu dengan hilangnya hadats besar. Adapun orang yang berpendapat bahwa keduanya (wudhu dan mandi junub) tidak menyatu, dan orang itu mesti berwudhu setelah sempurna mandinya, tidak ada dalil yang mendukung pendapat tersebut.
[Subulussalam 1/60 (1/223)].
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
قلت المختار أنه إن تجردت الجنابة نوى بوضوئه سنة الغسل وإن اجتمعا نوى به رفع الحدث الأصغر والله أعلم
Saya katakan. “Pendapat yang terpilih adalah, jika seseorang mandi junub tanpa berhadats kecil, maka hendaknya dia berniat dalam wudhunya untuk sunnah mandi. Dan jika berhadats besar dan berhadats kecil, maka hendaknya berwudhu dengan niat menghilangkan hadats kecil. Wallahu a’lam.
[Raudhatuth Thalibin 1/ (1/272)].
Ibnu Rusyd berkata :
والصفة الواردة في حديث ميمونة قريبة من هذا، إلا أنه أخر غسل رجليه من أعضاء الوضوء إلى آخر الطهر
Cara mandi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. yang disebut dalam hadis Maimunah hampir sama dengan hadis ini. Hanya saja –dalam hadis riwayat Maimunah- di antara anggota tubuh yang
masuk rukun wudu yang terakhir dicuci oleh Rasulullah adalah kaki. selanjutnya sampai akhir taharah.
[Bidayatul Mujtahid 1/31 (1/83)].
Hadits 2
وعن أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله تعالى عنها قالت: قُلْتُ: يا رسول الله، إني امْرَأَةٌ أشُدُّ شَعَرَ رأسي، أَفَأَنْقُضُهُ لِغَسْلِ الجَنَابَةِ؟ وفي رواية: والحيْضَةِ؟ قالَ: "لا، إنّما يكفيكِ أنْ تحثِي على رأسِك ثلاثَ حَثَيَاتٍ" رواه مسلمٌ.
Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya, wahai Rasulullah, sungguh aku ini wanita yang mengikat rambut kepalaku. Apakah aku harus membukanya untuk mandi jinabat? Dalam riwayat lain disebutkan: Dan mandi dari haid? Nabi menjawab: "Tidak, tapi kamu cukup mengguyur air di atas kepalamu tiga kali." Riwayat Muslim.
Imam Ash-Shan’ani berkata :
والحديث: دليل على أنه لا يجب نقض الشعر على المرأة في غسلها من جنابة، أو حيض، وأنه لا يشترط وصول الماء إلى أصوله،
وهي مسألة خلاف:
فعند الهادوية: لا يجب النقض في غسل الجنابة، ويجب في الحيض والنفاس. لقوله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم لعائشة: "انقضي شعرك واغتسلي".
وأجيب: بأنه معارض بهذا الحديث. ويجمع بينهما: بأن الأمر بالنقض للندب، ويجاب: بأن شعر أم سلمة كان خفيفاً، فعلم صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم أنه يصل الماء إلى أصوله
Hadits terrebut sebagai dalil bahwa wanita tidak wajib menguraiikan rammbutnya (membuka sanggul) waktu mandi junub, atau mandi haidh, juga tid.ak disyaaratkan sampainya air ke pangkal-pangkal rambut.
Mengenai hukum menguraikan rambut sewakru mandi junub, terdapat perbedaan pendapat:
Menurut Al-Hadawiyah,tidak wajib menguraikannya ketika mandi junub, tapi wajib hukumnya ketika mandi haidh atau nifas, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah, "Urailun rambutmu, kemudian mandilah” (HR. Ibnu Majah 646)
Pendapat ini dapat dijawab, bahwa hadits tersebut bertentangan dengan hadits babi ni, padahal keduanya dapat dikompromikan, bahwa perintah menguraikan itu adalah sunnah, atau bisa juga dijawab bahwa rambut Ummu Sdamah jarang dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tahu kalau air pasti sampai ke pangkd rambutnya.
[Subulussalam 1/61 (1/226)].
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
وهو أقوى في إسقاط التدلك من تلك الأحاديث الأخر، لأنه لا يمكن هنالك أن يكون الواصف لطهره قد ترك التدلك وأما ههنا فإنما حصر لها شروط الطهارة
Hadis ini adalah hadis yang terkuat dibandingkan hadis-hadis lain yang menjelaskan tidak adanya kewajiban menggosok jasad dalam mandi. Sebab, tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan cara mandi yamg benar, padahal beliau sendiri tidak menggosok dan tidak memerintahkan untuk menggosok.
[Bidayatul Mujtahid 1/33 (1/83)].
Hadits 3
وعن عائشة قالت: كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم إذا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلَابِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثم الْأَيْسَرِ ثم أَخَذَ بِكَفَّيْهِ فقال بِهِمَا على رَأْسِهِ
Dari Aisyah RA, ia berkata, ”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mandi janabat, ia minta air dalam satu bejana besar, lalu ia ambil air itu dengan tangannya, kemudian memulai pada bagian kepala sebelah kanan, kemudian yang kiri, kemudian ia mengambil air dengan kedua tapak tangannya, lalu ia tuangkan di atas kepalanya” (HR. Bukhari, Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على استحباب البداءة بالميامن ولا خلاف فيه وفيه الاجتزاء بثلاث غرفات وترجم على ذلك ابن حبان.
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya memulai (mandi atau wudhu) dengan tangan kanan, dan masalah ini tidak diperselisihkan lagi. Juga menunjukkan dibolehkannya dengan tiga kali tuangan, ini menurut penafsiran Ibnu Hibban.
[Nailul Authar 1/205 (1/553)].
Hadits 4
وعن ميمونة قالت: وَضَعْتُ للنبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ماءً يَغْتَسِلُ بهِ فَأَفْرَغَ على يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثلاثًا ثم أفرغ بِيَمِيْنِهِ على شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيْرُهُ ثم دلك يَدَهُ بالأرضِ ثم مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثم غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثم غسل رأسَهُ ثلاثًا ثم أفرغ على جَسَدِهِ ثم تَنْحَى من مَقَامِهِ فغسل قَدَمَيْهِ قالت: فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فلم يُرِدْهَا وجعل يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدِهِ
Dari Maimunah, ia berkata, ”Saya sediakan air untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia tuangkan (air) di atas kedua tangannya, lantas ia cuci keduanya dua kali atau tiga kali, kemudian ia tuangkan air dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu ia mencuci kemaluannya, kemudian menggosok tangannya dengan tanah, kenudian berkumur-kumur dan mengisap dengan hidung, kemudian mencuci mukanya dan kekdua tangannya, kemudian mencuci kepalanya tiga kali, kemudian menuangkan air ke atas tubuhnya, kemudian bangkit dari tempatnya lalu mencuci kedua kakinya. Maimunah berkata, ”Lalu saya berikan kepadanya sepotong kain, tetapi ia tidak mau, dan ia mengusap (bekas) air itu dengan tangannya” (HR. Jamaah. Dan, di dalam riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi tidak disebutkan perkataan ’menggosok dengan tangannya’)
Asy-Syaukani berkata :
قال المصنف رحمه اللَّه: وفيه دليل استحباب دلك اليد بعد الاستنجاء انتهى.
Al-Mushannif berkata : ”Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya membersihkan tangan (dengan debu dan tanah) sesudah istinja. Selesai.
[Nailul Authar 1/205 (1/555)].
Hadits 5
وعن عائشة قالت: كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم لا يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الغُسْلِ
Dari Aisyah RA, ia berkata, ”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berwudgu sesudah mandi” (HR. Imam yang lima)
Asy-Syaukani berkata :
وفي الباب عن ابن عمر مرفوعًا وعنه موقوفًا أنه قال: (لَمَّا سُئِلَ عَنِ الْوُضُوْءِ بَعْدَ الغُسْلِ وأي وضوء أعم من الغُسْلِ) رواه ابن أبي شيبة. وروي عنه أنه قال لرجل قال له إني أتوضأ بعد الغسل فقال: لقد تعقمت.
Termasuk hadits pada bab ini dari Ibnu Umar secara marfu’, dan juga daripadanya secara mauquf,bahwa ia berkata, ”Ketika ia ditanya tentang wudhu setelah mandi, wudhu yang manakah yang lebih umum (rata) daripada mandi”. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, diriwayatkan daripadanya bahwa ia mengatakan kepada seorang laki-laki, ia mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya aku wudhu sesudah mandi, lalu ia menjawab, engkau telah mendalaminya (berlebih-lebihan)”
[Nailul Authar 1/206 (1/555)].
Hadits 6
وعن جبير بن مطعم قال: تَذَاكَرْنَا غُسْلَ الْجَنَابَةَ عند رسولِ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقال: أمَّا أنا فَآخُذُ مِلْءُ كَفِّيْ فَأَصُبُّ على رَأْسِي ثم أُفِيْضُ بَعْدُ على سَائِرِ جَسَدِي
Dari Jubair bin Muth’im, ia berkata, ”Kami pernah berbindang-bindang tentang mandi jinabat di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia bersabda, ’Adapun aku, cukup mengambil air sepenuh dua tapak tanganku, lalu aku tuangkan di atas kepalaku, kemudian aku menyiram atas seluruh tubuhku” (HR. Ahmad).
Asy-Syaukani berkata :
قال المصنف رحمه اللَّه: فيه مستدل لمن لم يوجب الدلك ولا المضمضة والاستنشاق انتهى وقد تقدم الكلام في ذلك.
Al-Mushannif berkata : ”Hadits di atas menjadi dalil bagi orang yang tidak mewajibkan menggosok, berkumur-kumur, dan menghisap air hidung.
[Nailul Authar 1/206 (1/557)].
Kesimpulan :
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat merupakan salah satu syarat mandi.
2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mandi junub diawali dengan berwudhu terlebih dahulu.
3. Mayoritas ulama berpendapat disunnahkan untuk membasuh bagian tubuh sebelah kanan terlebih dahulu baik dalam berwudhu maupun mandi.
4. Sebagian ulama berpendapat bahwa setelah mandi tidak perlu berwudhu.
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
*Slawi, April 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
Syarat Mandi minimal ada dua :
Pertama, Niat.
Bemiat mandi adalah wajib. Mengenai niat berikut Furu'nya (cabang) telah disebutkank ketika membahas Sifat Wudhu .Niat mandi ini tidak boleh diakhirkan dari pertama kali melakukan mandi fardhu. Apabila niat dilakukan bersamaan dengan permulaan mandi, maka sudah cukup.
Kedua ; Airnya mengenai seluruh badan.
Termasuk dalam pengertian seluruh badan itu adalah sesuatu terlihat dari kedua lobang telinga, lekukan badan, sesuatu yang di bawah Qulfah dan sesuatu yang terlihat dari daerah
yang tertutup menurut yang Ashah di dalam keduanya.
[Raudhatuth Thalibin 1/ (1/272)].
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
اختلفوا هل من شروط هذه الطهارة النية أم لا؟ كاختلافهم في الوضوء، فذهب مالك والشافعي وأحمد وأبو ثور وداود وأصحابه إلى أن النية من شروطها، وذهب أبو حنيفة وأصحابه والثوري إلى أنها تجزئ بغير نية كالحال في الوضوء عندهم
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah niat termasuk syarat mandi atau tidak. Perselisihan tersebut hampir sama dengan wudhu.
Menurut Malik, Syafi’i dan Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, dan para pengikutnya, niat termasuk sebagian syarat dalam wudhu. Sedang menurut Tsauri, Abu Hanifah, dan para pengikutnya, niat itu bukan syarat mandi, dan mandi sah tanpa niat. Menurut mereka persoalan mereka tidak berbeda dengan persoalan wudhu.
[Bidayatul Mujtahid 1/33 (1/83)].
Hadits-hadits Tentang Cara Mandi Junub Beserta Penjelasannya
Hadits 1
وعَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنْهَا قَالَتْ: "كانَ رسولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم إذا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فيَغْسل يَدَيْهِ، ثمَّ يُفْرِغُ بيمِينِه على شِمَالِه، فيَغْسِلُ فَرْجَهُ، ثمَّ يَتَوَضَّأُ، ثم يأخُذُ الماءَ، فَيُدْخِلُ أصابِعَهُ في أُصُولِ الشّعْرِ، ثمَّ حَفَنَ على رأسِهِ ثلاثَ حَفَناتٍ، ثمَّ أفَاضَ على سائرِ جَسَدِهِ، ثمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ" متفقٌ عليه، واللّفظُ لمُسلمٍ.
ولَهما، مِنْ حديثِ مَيْمُونَةَ: ثُمَّ أفْرغَ على فَرْجِهِ وغَسَلَهُ بِشِمالِه، ثمَّ ضَرَبَ بها الأرْضَ.
وفي رواية: فَمَسَحَها بالتّرابِ، وفي اخرهِ: "ثمَّ أَتَيْتُهُ بالمنْديل، فرَدَّهُ، وفيه: وجَعَلَ يَنْفُضُ الماءَ بِيَدِهِ".
'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Biasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam jika mandi karena jinabat akan mulai dengan membersihkan kedua tangannya, kemudian menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri, lalu mencuci kemaluannya, kemudian berwudlu, lalu mengambil air, kemudian memasukkan jari-jarinya ke pangkal-pangkal rambut, lalu menyiram kepalanya tiga genggam air, kemudian mengguyur seluruh tubuhnya dan mencuci kedua kakinya. (HR. Bukhari 248, Muslim 316, dan lafadznya dari Muslim.)
Menurut Riwayat Bukhari-Muslim dari hadits Maimunah: Kemudian beliau menyiram kemaluannya dan membasuhnya dengan tangan kiri, lalu menggosok tangannya pada tanah. ((HR. Bukhari 249, Muslim 317)
Dalam suatu riwayat: Lalu beliau menggosok tangannya dengan debu tanah. Di akhir riwayat itu disebutkan: Kemudian aku memberikannya saputangan namun beliau menolaknya. Dalam hadits itu disebutkan: Beliau mengeringkan air dengna tangannya. ((HR. Bukhari 259, Muslim 317)
[Bulughul Maram/51].
Imam Ash-Shan’ani berkata :
وهذان الحديثان مشتملان على بيان كيفية الغسل من ابتدائه إلى انتهائه، فابتداؤه غسل اليدين قبل إدخالهما في الإناء إذا كان مستيقظاً من النوم، كما ورد صريحاً، وكان الغسل من الإناء، وقد قيّده في حديث ميمونة مرتين، أو ثلاثاً،
ويدل على أن الماء الذي يطهر به محل النجاسة طاهر مطهّر، وعلى تشريك النية للغسل الذي يزيل النجاسة برفعها الحدث. واستدلّ به على أن بقاء الرائحة بعد غسل المحل لا يضر. ويدل على أن غسل الجنابة مرة واحدة،
وأما وضوءه قبل الغسل: فإنه يحتمل أنه وضوءه للصلاة، وأنه يصح قبل رفع الحدث الأكبر، وأن يكون غسل هذه الأعضاء كافياً عن غسل الجنابة، وأنه تتداخل الطهارتان، وهو رأي زيد بن علي، والشافعي، وجماعة، ونقل ابن بطال الإجماع على ذلك،
ويحتمل أنه غسل أعضاء الوضوء للجنابة، وقدمها تشريفاً لها، ثم وضّأها للصلاة، لكن هذا لم ينقل أصلًا،
ويحتمل أنه وضّأها للصلاة، ثم أفاض عليها الماء مع بقية الجسد للجنابة، ولكن عبارة: "أفاض الماء على سائر جسده" لا تناسب هذا، إذ هي ظاهرة: أنه أفاضه على ما بقي من جسده مما لم يمسه الماء، فإن السائر: الباقي، لا الجميع. قال في القاموس: والسائر: الباقي، لا الجميع، كما توهّم جماعات.
فالحديثان ظاهران في كفاية غسل أعضاء الوضوء مرة واحدة عن الجنابة: وأنه لا يشترط في صحة الوضوء رفع الحدث الأكبر. ومن قال: لا يتداخلان، وأنه يتوضأ بعد كمال الغسل، لم ينهض له على ذلك دليل.
Kedua hadits tersebut mencakup katerangan tata cara mandi junub mulai dari permulaan sampai akhirnya, dimulai dengan mencuci kedua tangan sebelum mencelupkannya ke dalam bejana ketika baru bangun dari tidur, sebagaimana yang ditegaskan hadits,jika mandinya dari bejana, dan di
ddam hadits Maimuunah ditaqyid (dibatasi) dengan dua atau tga kali.
Haditsi ni juga menunjukkan bahwa air yang digunakan membersihkan tempat yang bernajis adalah suci lagi mensucikan. Juga menunjukkn bahwa niat untuk mandi menghilangkan najis harus didertai niat untuk menghilangkan hadats. Dan dijadikan dalil bahwa bau yang belum hilang setelah mencuci tempat yang terdapat najis tidaklah membahayakan, dan menunjukkan bahwa mandi junub (yang wajib) hanya sekali.
Adapun wudhu beliau sebelum mandi junub, boleh jadi seperti wudhunya untuk shalat, dan wudhu tersebut sah sebelum menghilangkan hadats besar. .Membasuh anggota-anggota wudhu tersebut sudah mencukupi dari mandi junub. Kedua. Cara bersuci itu digabung, ini adalah pendapat Zaid bin Ali, Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama lainnya, bahkan Ibnu Baththal menukil bahwa para ulama telah ijma’ dalam hal tersebut.
Mungkin juga beliau mencuci anggota wudhu untuk mandi .junub, beliau mendahulukannya karena untuk memuliakannya, lalu beliau berwudhu untuk shalat. Tapi pendapat ini pada dasarnya tidak ada yang menukilnya.
Mungkin juga wudhu beliau adalah untuk shalat, kemudian menuangkan air padanya beserta anggota wudhu lainnya dengan niat mandi junub. Tapi ungkapan (beliau mencurahkan air kesekujur tubuhnya) tidak sesuai dengan ungkapan ini, karena zhahirnya bahwa beliau mencurahkan air pada bagian tubuhnya yang belum terkena air, padahal kata sa’ir artinya yang tersisa bukan semuanya. Di dalam Al-Qamus dikatakan, bahwa kata sa’ir artinya sisa, bukan semuanya seperti dugaan banyak orang.
Dua hadits tersebut menjelaskan bahwa mencuci anggota wudhu cukup sekali saja, untuk mandi junub dan wudhu, dan tidak disyaratkan sahnya wudhu dengan hilangnya hadats besar. Adapun orang yang berpendapat bahwa keduanya (wudhu dan mandi junub) tidak menyatu, dan orang itu mesti berwudhu setelah sempurna mandinya, tidak ada dalil yang mendukung pendapat tersebut.
[Subulussalam 1/60 (1/223)].
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
قلت المختار أنه إن تجردت الجنابة نوى بوضوئه سنة الغسل وإن اجتمعا نوى به رفع الحدث الأصغر والله أعلم
Saya katakan. “Pendapat yang terpilih adalah, jika seseorang mandi junub tanpa berhadats kecil, maka hendaknya dia berniat dalam wudhunya untuk sunnah mandi. Dan jika berhadats besar dan berhadats kecil, maka hendaknya berwudhu dengan niat menghilangkan hadats kecil. Wallahu a’lam.
[Raudhatuth Thalibin 1/ (1/272)].
Ibnu Rusyd berkata :
والصفة الواردة في حديث ميمونة قريبة من هذا، إلا أنه أخر غسل رجليه من أعضاء الوضوء إلى آخر الطهر
Cara mandi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. yang disebut dalam hadis Maimunah hampir sama dengan hadis ini. Hanya saja –dalam hadis riwayat Maimunah- di antara anggota tubuh yang
masuk rukun wudu yang terakhir dicuci oleh Rasulullah adalah kaki. selanjutnya sampai akhir taharah.
[Bidayatul Mujtahid 1/31 (1/83)].
Hadits 2
وعن أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله تعالى عنها قالت: قُلْتُ: يا رسول الله، إني امْرَأَةٌ أشُدُّ شَعَرَ رأسي، أَفَأَنْقُضُهُ لِغَسْلِ الجَنَابَةِ؟ وفي رواية: والحيْضَةِ؟ قالَ: "لا، إنّما يكفيكِ أنْ تحثِي على رأسِك ثلاثَ حَثَيَاتٍ" رواه مسلمٌ.
Ummu Salamah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya, wahai Rasulullah, sungguh aku ini wanita yang mengikat rambut kepalaku. Apakah aku harus membukanya untuk mandi jinabat? Dalam riwayat lain disebutkan: Dan mandi dari haid? Nabi menjawab: "Tidak, tapi kamu cukup mengguyur air di atas kepalamu tiga kali." Riwayat Muslim.
Imam Ash-Shan’ani berkata :
والحديث: دليل على أنه لا يجب نقض الشعر على المرأة في غسلها من جنابة، أو حيض، وأنه لا يشترط وصول الماء إلى أصوله،
وهي مسألة خلاف:
فعند الهادوية: لا يجب النقض في غسل الجنابة، ويجب في الحيض والنفاس. لقوله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم لعائشة: "انقضي شعرك واغتسلي".
وأجيب: بأنه معارض بهذا الحديث. ويجمع بينهما: بأن الأمر بالنقض للندب، ويجاب: بأن شعر أم سلمة كان خفيفاً، فعلم صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم أنه يصل الماء إلى أصوله
Hadits terrebut sebagai dalil bahwa wanita tidak wajib menguraiikan rammbutnya (membuka sanggul) waktu mandi junub, atau mandi haidh, juga tid.ak disyaaratkan sampainya air ke pangkal-pangkal rambut.
Mengenai hukum menguraikan rambut sewakru mandi junub, terdapat perbedaan pendapat:
Menurut Al-Hadawiyah,tidak wajib menguraikannya ketika mandi junub, tapi wajib hukumnya ketika mandi haidh atau nifas, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Aisyah, "Urailun rambutmu, kemudian mandilah” (HR. Ibnu Majah 646)
Pendapat ini dapat dijawab, bahwa hadits tersebut bertentangan dengan hadits babi ni, padahal keduanya dapat dikompromikan, bahwa perintah menguraikan itu adalah sunnah, atau bisa juga dijawab bahwa rambut Ummu Sdamah jarang dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tahu kalau air pasti sampai ke pangkd rambutnya.
[Subulussalam 1/61 (1/226)].
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
وهو أقوى في إسقاط التدلك من تلك الأحاديث الأخر، لأنه لا يمكن هنالك أن يكون الواصف لطهره قد ترك التدلك وأما ههنا فإنما حصر لها شروط الطهارة
Hadis ini adalah hadis yang terkuat dibandingkan hadis-hadis lain yang menjelaskan tidak adanya kewajiban menggosok jasad dalam mandi. Sebab, tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan cara mandi yamg benar, padahal beliau sendiri tidak menggosok dan tidak memerintahkan untuk menggosok.
[Bidayatul Mujtahid 1/33 (1/83)].
Hadits 3
وعن عائشة قالت: كان رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم إذا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلَابِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثم الْأَيْسَرِ ثم أَخَذَ بِكَفَّيْهِ فقال بِهِمَا على رَأْسِهِ
Dari Aisyah RA, ia berkata, ”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mandi janabat, ia minta air dalam satu bejana besar, lalu ia ambil air itu dengan tangannya, kemudian memulai pada bagian kepala sebelah kanan, kemudian yang kiri, kemudian ia mengambil air dengan kedua tapak tangannya, lalu ia tuangkan di atas kepalanya” (HR. Bukhari, Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على استحباب البداءة بالميامن ولا خلاف فيه وفيه الاجتزاء بثلاث غرفات وترجم على ذلك ابن حبان.
Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya memulai (mandi atau wudhu) dengan tangan kanan, dan masalah ini tidak diperselisihkan lagi. Juga menunjukkan dibolehkannya dengan tiga kali tuangan, ini menurut penafsiran Ibnu Hibban.
[Nailul Authar 1/205 (1/553)].
Hadits 4
وعن ميمونة قالت: وَضَعْتُ للنبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ماءً يَغْتَسِلُ بهِ فَأَفْرَغَ على يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثلاثًا ثم أفرغ بِيَمِيْنِهِ على شِمَالِهِ فَغَسَلَ مَذَاكِيْرُهُ ثم دلك يَدَهُ بالأرضِ ثم مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثم غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثم غسل رأسَهُ ثلاثًا ثم أفرغ على جَسَدِهِ ثم تَنْحَى من مَقَامِهِ فغسل قَدَمَيْهِ قالت: فَأَتَيْتُهُ بِخِرْقَةٍ فلم يُرِدْهَا وجعل يَنْفُضُ الْمَاءَ بِيَدِهِ
Dari Maimunah, ia berkata, ”Saya sediakan air untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia tuangkan (air) di atas kedua tangannya, lantas ia cuci keduanya dua kali atau tiga kali, kemudian ia tuangkan air dengan tangan kanannya di atas tangan kirinya, lalu ia mencuci kemaluannya, kemudian menggosok tangannya dengan tanah, kenudian berkumur-kumur dan mengisap dengan hidung, kemudian mencuci mukanya dan kekdua tangannya, kemudian mencuci kepalanya tiga kali, kemudian menuangkan air ke atas tubuhnya, kemudian bangkit dari tempatnya lalu mencuci kedua kakinya. Maimunah berkata, ”Lalu saya berikan kepadanya sepotong kain, tetapi ia tidak mau, dan ia mengusap (bekas) air itu dengan tangannya” (HR. Jamaah. Dan, di dalam riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi tidak disebutkan perkataan ’menggosok dengan tangannya’)
Asy-Syaukani berkata :
قال المصنف رحمه اللَّه: وفيه دليل استحباب دلك اليد بعد الاستنجاء انتهى.
Al-Mushannif berkata : ”Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya membersihkan tangan (dengan debu dan tanah) sesudah istinja. Selesai.
[Nailul Authar 1/205 (1/555)].
Hadits 5
وعن عائشة قالت: كان رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم لا يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الغُسْلِ
Dari Aisyah RA, ia berkata, ”Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berwudgu sesudah mandi” (HR. Imam yang lima)
Asy-Syaukani berkata :
وفي الباب عن ابن عمر مرفوعًا وعنه موقوفًا أنه قال: (لَمَّا سُئِلَ عَنِ الْوُضُوْءِ بَعْدَ الغُسْلِ وأي وضوء أعم من الغُسْلِ) رواه ابن أبي شيبة. وروي عنه أنه قال لرجل قال له إني أتوضأ بعد الغسل فقال: لقد تعقمت.
Termasuk hadits pada bab ini dari Ibnu Umar secara marfu’, dan juga daripadanya secara mauquf,bahwa ia berkata, ”Ketika ia ditanya tentang wudhu setelah mandi, wudhu yang manakah yang lebih umum (rata) daripada mandi”. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, diriwayatkan daripadanya bahwa ia mengatakan kepada seorang laki-laki, ia mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya aku wudhu sesudah mandi, lalu ia menjawab, engkau telah mendalaminya (berlebih-lebihan)”
[Nailul Authar 1/206 (1/555)].
Hadits 6
وعن جبير بن مطعم قال: تَذَاكَرْنَا غُسْلَ الْجَنَابَةَ عند رسولِ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقال: أمَّا أنا فَآخُذُ مِلْءُ كَفِّيْ فَأَصُبُّ على رَأْسِي ثم أُفِيْضُ بَعْدُ على سَائِرِ جَسَدِي
Dari Jubair bin Muth’im, ia berkata, ”Kami pernah berbindang-bindang tentang mandi jinabat di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu ia bersabda, ’Adapun aku, cukup mengambil air sepenuh dua tapak tanganku, lalu aku tuangkan di atas kepalaku, kemudian aku menyiram atas seluruh tubuhku” (HR. Ahmad).
Asy-Syaukani berkata :
قال المصنف رحمه اللَّه: فيه مستدل لمن لم يوجب الدلك ولا المضمضة والاستنشاق انتهى وقد تقدم الكلام في ذلك.
Al-Mushannif berkata : ”Hadits di atas menjadi dalil bagi orang yang tidak mewajibkan menggosok, berkumur-kumur, dan menghisap air hidung.
[Nailul Authar 1/206 (1/557)].
Kesimpulan :
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat merupakan salah satu syarat mandi.
2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mandi junub diawali dengan berwudhu terlebih dahulu.
3. Mayoritas ulama berpendapat disunnahkan untuk membasuh bagian tubuh sebelah kanan terlebih dahulu baik dalam berwudhu maupun mandi.
4. Sebagian ulama berpendapat bahwa setelah mandi tidak perlu berwudhu.
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
*Slawi, April 2011.
Kamis, 07 April 2011
MANDI JUM’AH
MANDI JUM’AH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para Ulama sepakat bahwa mandi jum’at disyariatkan untuk dikerjakan menjelang shalat jum’at.
Hukum Mandi Jum’at
عن ابن عمر قال: (قال رسول اللَّهُ صلى اللَّهِ عليه وآله وسلم إذا جَاءَ أحَدُكُمْ إلى الْجُمْعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ).
Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jikalau seseorang diantara engkau semua mendatangi shalat Jum'at, maka hendaklah mandi dulu." (Muttafaq 'alaih)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على مشروعية غسل الجمعة
استدل الأولون على وجوبه بالأحاديث التي أوردها المصنف رحمه اللَّه تعالى في هذا الباب وفي بعضها التصريح بلفظ الوجوب وفي بعضها الأمر به وفي بعضها أنه حق على كل مسلم والوجوب يثبت بأقل من هذا.
واحتج الآخرون لعدم الوجوب بحديث (من توضأ فأحسن الوضوء ثم أتى الجمعة فاستمع وأنصت غفر له ما بين الجمعة إلى الجمعة وزيادة ثلاثة أيام) أخرجه مسلم من حديث أبي هريرة.
Hadits di atas menunjukkan disyariatkannya mandi jum’ah.
Golongan pertama yang berpendapat bahwa mandi jum’at itu wajib menggunakan hadits-hadits yang dibawakan oleh Al-Mushannif rahimahullah pada bab ini sebagai dalil. Sebagian hadits-hadits menegaskan wajibnya mandi, sebagian berbentuk perintah, sebagian menyatakan bahwa mandi itu hak bagi setiap muslim, dan sementara wajib itu tetap dengan bentuk-bentuk seperti itu.
Golongan lain berpendapat bagwa mandi itu tidak wajib beralasan dengan hadits yang berbunyi, ” Barangsiapa berwudhu' lalu memperbaguskan wudhu'nya, kemudian mendatangi shalat Jum'at terus mendengar -khatib- dan berdiam diri -tidak berbicara sama sekali-, maka diampunkanlah untuknya antara Jum'at itu dengan Jum'at yang berikutnya, dengan diberi tambahan tiga hari lagi" (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).
[Nailul Authar 1/193 (1/523)].
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengomentari hadits Abu Hurairah di atas :
قال القرطبى فى تقرير الاستدلال بهذا الحديث عن الاستحباب: ذكر الوضوء وما معه مرتبا عليه الثواب المقتضى للصحة, يدل على أن الوضوء كاف.
وقال الحافظ ابن حجر فى التلخيص : إنه من أقوى ما استدل به على عدم فرضيى الغسل للجمعة
Qurthubi menetapkan hadits ini sebagai dalil sunnah mandi pada hari Jum’at katanya, "Penyebutan wudhu dan perkara-perkara lainnya hanyalah memberitahukan bahwa jika dikerjakan, maka si pelakunya pasti meraih ganjaran pahala. Di samping itu, shalat Jumat tetap dihukumkan sah meskipun tanpa mandi sebelumnya. Sebab hadits ini menegaskan bahwa wudhu sudah cukup
dan memadai."
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab at- Talkhis mengatakan", Hadits ini merupakan dalil terkuat tentang tidak wajibnya mandi Jum’at."
[Fiqih Sunnah 1/48 (1/89)].
وعن أبي سعيد الخدْرِيِّ رضي الله عنه: أنَّ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قال: "غُسْلُ الجُمُعةِ واجِبٌ على كُلِّ مُحْتَلمٍ" وَالسِّوَاكُ وَأَنْ يَمَسَّ مِنَ الطِّيْبِ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ
Dari Abu Said r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Mandi Jum'at itu adalah wajib bagi setiap orang yang sudah bermimpi, dan siwak dan memakai wangi-wangian sekedar kemampuannya" (HR. Bukhari 879,895; Muslim 846; Abu Dawud 341)
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
والمراد بالمُحْتَلمٍ البالغ, والمراد بالوجوب تأكيد استحبابه, بدليل مارواه البخارى عن ابن عمر : "أن عمر بن الخطاب بينما هو قائم فى الخطبة يوم الجمعة , إذا دخل رجل من الهاجرين الأولين من أصحاب النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم, وهو عثمان, فناداه عمر : أية ساعة هذه؟ قال : إنى شغلت فلم أنقلب إلى أهلى حتى سمعت التأذين فلم أزد أن توضأت, فقال : والوضوء أيضا وقد علمت أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم, كان يأمر بالغسل"
قال : الشافعى : فلما لم يترك عثمان الصلاة للغسل, ولم تأمره عمر بالخروج للغسل, دل ذلك على أنهما قد علما أن الأمر بلغسل للا ختيار, ويدل على استحباب الغسل أيضا
Yang dimaksud dengan "orang yang sudah bermimpi' adalah orang yang telah mencapai usia balig, sementara yang dimaksudkan dengan kata "wajib" di sini adalah sunnah mu'akkad. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bukhari dari lbnu Umar bahwa ketika Umar bin Khaththab sedang berdiri menyampaikan khotbah pada hari Jumat, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki dari
kalangan Muhajirin pertama dari sahabat Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, yaitu Utsman. Ia pun dipanggil Umar seraya bertanya kepadanya "Pukul berapakah sekarang ini?" Utsman menjawab, "Saya tadi bekerja. Sebelum pulang, saya mendengar suata azan dan saya pun tidak sempat lagi berbuat apa-apa selain berwudhu ." "Anda hanya berwudhu saja, padahal Anda telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam menitahkan agar mandi terlebih dahulu sebelum datang ke masjid?" tanya Umar lagi.
Syafi'i mengatakan, "Disebabkan Utsman tidak sampai meninggalkan shalat demi mandi, begitu pun Umar tidak menyuruhnya keluar untuk mandi, maka yang demikian itu merupakan suatu bukti bahwa mereka sama-sama mengetahui bahwa perintah mandi tersebut boleh ditinggalkan."
[Fiqih Sunnah 1/48 (1/89)].
Asy-Syaukani berkata :
قال المصنف رحمه اللَّه تعالى: وهذا يدل على أنه أراد بلفظ الوجوب تأكيد استحبابه كما تقول حقك علي واجب والعدة دين بدليل أنه قرنه بما ليس بواجب بالإجماع وهو السواك والطيب انتهى.
Al-Mushannif mengatakan, hadits di atas menunjukkan bahwa dengan perkataan ”wajib” itu Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam menghendaki penekanan disunnahkannya mandi. Sebagaimana anda mangatakan, hakmu atasku adalah wajib, dan janji itu hutang berdasarkan dalil-dalil bahwa mandi diberi qarinah dengan suatu perbuatan yang tidak wajib menurut ujma’ yaitu siwak dan wangi-wangian, selesai.
[Nailul Authar 1/194 (1/528)].
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
هذا دليل داود في إيجابه غسل الجمعة، والجمهور يتأولونه بما عرفت قريباً، وقد قيل: إنه كان للإيجاب أول الأمر بالغسل؛ لما كانوا فيه من ضيق الحال، وغالب لباسهم الصوف، وهم في أرض حارة الهواء، فكانوا يعرقون عند الاجتماع لصلاة الجمعة، فأمرهم صلى الله عليه وآله وسلم ـــ بالغسل، فلما وسع الله عليهم، ولبسوا القطن، رخص لهم في ذلك
Hadits ini dijadikan dalil wajibnya mandi pada hari jum’at, sedangkan jumhur ulama mentakwilkan hadits tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan (penjelasan hadits Samurah bin Jundab, pen).
Ada yang berpendapat, ”Pada awal mulanya mandi diwajibkan, mengingat meeka hidup dalam kesulitan dan umumnya pakaian mereka dari bahan wol, sementara mereka tinggal di wilayah yang udaranya panas. Mereka berkeringat sewaktu pergi menuju shalat jum’at, maka Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk mandi, tetapi ketika Allah lapangkan kondisi mereka dan mereka sudah mengenakan bahan dari katun, Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam memberikan mereka keringanan untuk (tidak) mandi.
[Subulussalam 1/58 (1/215)].
وعن أبي هريرة: (عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أنْ يَغْتَسِلَ فِي كُلِّ سَبْعَةٍ أيَّامٍ يَوْمًا يَغْسِلُ فِيْهِ رَأْسَهُ وَجَسَدَهُ
Dari Abu Hurairah r.a, Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Wajib atas tiap-tiap muslim mandi sekali dalam tiap-tiap tujuh hari, (yaitu) dengan membasuh kepala dan tubuhnya” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
الحديث من أدلة القائلين بوجوب غسل الجمعة وقد تقدم الكلام عليه في أول الباب وقد بين في الروايات الأخر أن هذا اليوم هو يوم الجمعة.
Hadits di atas termasuk dalil-dalil bagi golongan yang berpendapat wajibnya mandi jumat. Dan, masalah itu telah dibicarakan dahulu pada awal bab, dan telah dijelaskan bahwa yang dimaksud ’hari ini’ adalah hari jum’at sebagaimana di dalam riwayat-riwayat lain.
[Nailul Authar 1/195 (1/529)].
وعن ابن عمر أن عمر: (بينا هو قائم في الخطبة يوم الجمعة إذ دخل رجل من المهاجرين الأولين فناداه عمر: أية ساعة هذه فقال: إني شغلت فلم أنقلب إلى أهلي حتى سمعت التأذين فلم أزد على أن توضأت قال: والوضوء أيضًا وقد علمت أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم كان يأمر بالغسل).
Dari Ibnu Umar, bahwa ketika Umar sedang berdiri dalam khutbah jum’at, tiba-tiba masuklah seorang lak-laki dari kaum muhajirin golongan pertama, lalu Umar memanggilnya, ’sudah waktu apa sekarang ini?’ Orang laki-laki itu menjawab, ’Sesungguhnya saya sibuk sampai-sampai saya tidak sempat pulang ke rumah sehingga terdengar suara adzan, lalu saya tidak bisa berbuat lebih daripada berwudhu”. Umar berkata (kepadanya), ’dan wudhu pula yang kau kerjakan, padahal engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan mandi?” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث من أدلة القائلين بالوجوب لقوله: كان يأمر وقد تقدم الكلام على ذلك
Hadits di atas termasuk dalil-dalil bagi golongan yang berpendapat wajibnya mandi jumat. Berdasarkan perkataan ”pernah Nabi memerintah” dan telah dibicarakan dahulu.
[Nailul Authar 1/195 (1/530)].
وعن سَمُرَةَ بنِ جُنْدَبٍ رضي الله عنهُ قالَ: قالَ رسولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الجُمعَةِ فبهَا وَنِعْمَتْ، ومَنْ اغْتَسَلَ فالْغُسْلُ أَفْضَلُ".
Dari Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang berwudlu pada hari Jum'at berarti telah menjalankan sunnah dan sudah baik, dan barangsiapa yang mandi maka itu lebih utama." (HR. Abu Dawud 354; Tirmidzi 497; Ibnu Majah 1091, hadits hasan)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث دليل لمن قال بعدم وجوب غسل الجمعة وقد ذكرنا تقرير الاستدلال به على ذلك والجواب عليه في أول الباب.
Hadits di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat tidak wajibnya mandi jumat, dan telah kami sebutkan ketetapan penggunaan dalil dengan hadits ini sebagai tidak wajibnya mandi jum’at, dan bantahannya ada di awal bab.
[Nailul Authar 1/196 (1/531)].
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
والحديث: دليل على عدم وجوب الغسل، وهو كما عرفت دليل الجمهور على ذلك، وعلى تأويل حديث الإيجاب، إلا أنّ فيه سؤالاً، وهو: أنه كيف يفضّل الغسل ــــ وهو سنة ــــ على الوضوء ــــ وهو فريضة ــــ والفريضة أفضل إجماعاً
Hadits tersebut adalah dalil tidak wajibnya mandi –sebagaimana yang anda ketahui- menjadi dalil jumhur ulama atas hal itu, juga sebagai dalil untuk mentakwilkan hadits yang mewajibkan mandi. Hanya saja muncul pertanyaan, bagaimana bisa mandi yang hukumnya sunnah, lebih utama dari pada wudhu yang hukumnya wajib menurut ijma’ ulama? Jawabannya adalah, maksudnya bukanlah keutamaan atas wudhu itu sendiri, tapi atas wudhu yang tidak disertai mandi, seakan-akan beliau bersabda, ”Barangsiapa berwudhu dan mandi, maka dia lebih utama dari orang yang hanya berwudhu saja,”
Dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya mandi adalah hadits Muslim,
”Barangsiapa yang berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian ia pergi shalat jum’at, dia mendengarkan khutbah dengan diam penuh perhatian, maka akan diampuni dosanya antara jum’at itu hingga jum’at berikutnya dan ditambah lagi tiga hari” (HR. Muslim 857)
[Subulussalam 1/58 (1/216)].
وعن عروة عن عائشة قالت: كان الناسُ يَتُنًاوَبُوْنَ الْجُمُعَةَ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وَمِنَ الْعَوَالِي فَيَأْتُوْنَ فِي الْعَبَاءِ فَيُصِيْبُهُمُ الْغُبَارُ وَالْعَرَقُ فَتَخْرُجُ مِنْهُمُ الرِّيْحُ فَأَتَى النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم إنْسَانٌ مِنْهُمْ وَهُوَ عِنْدِي فقال النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم: لَوْ أنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا).
Dari Urwah, dari Aisyah, ia berkata, ”Adalah orang-orang mendatangi shalat jum’at dari rumah-rumah mereka dan dari kampung-kampung. Mereka datang dengan memakai ’abaa (semacam jubah), yang penuh dengan debu dan keringat sehingga keluar bau dari mereka. Kemudian salah seorang diantara mereka datang kepada Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, (ketika itu) Nabi berada di rumahnya, lalu beliau bersabda, ’Alangkah baiknya, kalau kamu bersih pada hari-mu ini!”
(HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
الحديث استدل به من قال بعدم وجوب غسل الجمعة وقد قدمنا تقرير الاستدلال به والجواب عليه في أول الباب.
Hadits di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat tidak wajibnya mandi jumat. Ketetapan penggunaan hadits sebagai dalil telah dibicarakan dahulu. Juga bantahannya pada awal bab ini.
[Nailul Authar 1/196 (1/532)].
وعن أوس بن أوس الثقفي قال: سَمِعْتُ رسولَ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول: من غَسَلَ وَاغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنَ الإمَامِ فاسْتَمَعَ ولم يَلْغُ كان لهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
Dari Aus bin Al-Tsaqafi, ia berkata, pernah aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa membersihkan dan mandi pada hari jum’ah, segera pergi dan bercepat-cepat, dengan berjalan dan tidak berkenaraan, dan mendekati imam lalu ia memperhatikan khutbah dan tidak bercakap-cakap, maka setiap langkahnya itu (sama) dengan amal satu tahun, (yaitu) pahala puasa dan amal shalatnya,” (HR. Imam yang lima, tetapi At-Tirmidzi tidak menyebut perkataan “dengan berjalan dan tidak berkenaraan”).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على مشروعية الغسل يوم الجمعة وقد تقدم الخلاف فيه وعلى مشروعية التبكير والمشي والدنو من الإمام والاستماع وترك اللغو وأن الجمع بين هذه الأمور سبب لاستحقاق ذلك الثواب الجزيل.
Hadits di atas menunjukkan disyariatkannya mandi pada hari jum’at, dan selisih pendapat dalam soal itu telah dibicarakan dahulu. Dan menunjukkan disyari’atkannya menyegerakan, berjalan, mendekat kepada imam, mendengarkan (khutbah), dan meninggalkan omong-omong. Dan melaksanakan perintah-perintah tersebut menyebabkan adanya pahala yang banyak.
[Nailul Authar 1/196 (1/533)].
Waktu Mandi Jum’at
Sayyid Sabiq berkata :
ووقت الغسل يمتد من طلوع الفجر إلى صلاة الجمعة, وإن كان المستهب أن ينصل الغسل بالدهاب, وإذا أحدث بعد يكفية الغسل الوضوء.
ويحرج وقت الغسل بالفراغ من الصلاة فمن اغتسل بعد الصلاة لا يكون غسلا للجمعة, ولا يعتبر فاعله أتيا بما أمر به
Waktu mandi jum’at semenjak terbit fajar sampai sebelum shalat Jum’at, walaupun waktu yang lebih utama dalah mandi dan kemudian langsung sehera berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat jum’at. Jika seseorang berhadats setelah mandi Jum’at, maka cukuplah ia berwudhu saja.
Waktu mandi Jum’at berakhir jika shalat Jum’at sudah dilaksanakan. Jadi, seseorang yang mandi setelah shalat Jum’at, maka tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan mandi Jum’at dan tidak dianggap melaksanakan perintah syara’ yang menyuruh melaksanakannya.
[Fiqih Sunnah 1/48 (1/90)].
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
أحدها الغسل يوم الجمعة سنة ووقته بعد الفجر على المذهب وانفرد في النهاية بحكاية وجه أنه يجزىء قبل الفجر كغسل العيد وهو شاذ منكر ويستحب تقريب الغسل من الرواح إلى الجمعة ثم الصحيح إنما يستحب لمن يحضر الجمعة والثاني يستحب لكل أحد كغسل العيد فإذا قلنا بالصحيح فهو مستحب لكل حاضر سواء من تجب عليه وغيره
Mandi pada hari Jum'at merupakan suatu yang disunahkan. Adapun waktunya adalah setelah fajar menurut pendapat pengikut madzhab Syafi’i. Tetapi dalam kitab An-Nihayah disebutkan satu pendapat dari pengikut madzhab Syafi’, “Bahwa mandi itu sah sebelum fajar seperti halnya mandi Hari Raya" pendapat ini aneh dan tidak dapat diterima Disunnahkan mandi sebelum pergi melaksanakan shalat Jum'at. Namun menurut pendapat yang –shahih adalah disunahkan bagi orang yang datang melaksanakan shalat Jum'at untuk mandi.
Disunahkan bagi setiap orang untuk mmdi seperti halnya mandi di Hari Raya. Jika kita mengatakan dengan pendapat shahih, maka ini menjadi sunah bagi setiap orang yang datang melaksanakan shalat Jum'at, baik bagi orang yang wajib melaksanakan shalat Jum’at atau lainnya.
[Raudhatuth Thalibin 2/55 (1/814)].
Kesimpulan
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mandi jum’at hukumnya sunnah.
2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu mandi jum’at adalah mulai dari terbit fajar sampai menjelang shalat jum’at, tapi yang lebih afdhol adalah menjelang pelaksanaan shalat jum’at.
Wallahu a’lam.
Sumber Rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
*Slawi, April 2011.
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Para Ulama sepakat bahwa mandi jum’at disyariatkan untuk dikerjakan menjelang shalat jum’at.
Hukum Mandi Jum’at
عن ابن عمر قال: (قال رسول اللَّهُ صلى اللَّهِ عليه وآله وسلم إذا جَاءَ أحَدُكُمْ إلى الْجُمْعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ).
Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Jikalau seseorang diantara engkau semua mendatangi shalat Jum'at, maka hendaklah mandi dulu." (Muttafaq 'alaih)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على مشروعية غسل الجمعة
استدل الأولون على وجوبه بالأحاديث التي أوردها المصنف رحمه اللَّه تعالى في هذا الباب وفي بعضها التصريح بلفظ الوجوب وفي بعضها الأمر به وفي بعضها أنه حق على كل مسلم والوجوب يثبت بأقل من هذا.
واحتج الآخرون لعدم الوجوب بحديث (من توضأ فأحسن الوضوء ثم أتى الجمعة فاستمع وأنصت غفر له ما بين الجمعة إلى الجمعة وزيادة ثلاثة أيام) أخرجه مسلم من حديث أبي هريرة.
Hadits di atas menunjukkan disyariatkannya mandi jum’ah.
Golongan pertama yang berpendapat bahwa mandi jum’at itu wajib menggunakan hadits-hadits yang dibawakan oleh Al-Mushannif rahimahullah pada bab ini sebagai dalil. Sebagian hadits-hadits menegaskan wajibnya mandi, sebagian berbentuk perintah, sebagian menyatakan bahwa mandi itu hak bagi setiap muslim, dan sementara wajib itu tetap dengan bentuk-bentuk seperti itu.
Golongan lain berpendapat bagwa mandi itu tidak wajib beralasan dengan hadits yang berbunyi, ” Barangsiapa berwudhu' lalu memperbaguskan wudhu'nya, kemudian mendatangi shalat Jum'at terus mendengar -khatib- dan berdiam diri -tidak berbicara sama sekali-, maka diampunkanlah untuknya antara Jum'at itu dengan Jum'at yang berikutnya, dengan diberi tambahan tiga hari lagi" (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).
[Nailul Authar 1/193 (1/523)].
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengomentari hadits Abu Hurairah di atas :
قال القرطبى فى تقرير الاستدلال بهذا الحديث عن الاستحباب: ذكر الوضوء وما معه مرتبا عليه الثواب المقتضى للصحة, يدل على أن الوضوء كاف.
وقال الحافظ ابن حجر فى التلخيص : إنه من أقوى ما استدل به على عدم فرضيى الغسل للجمعة
Qurthubi menetapkan hadits ini sebagai dalil sunnah mandi pada hari Jum’at katanya, "Penyebutan wudhu dan perkara-perkara lainnya hanyalah memberitahukan bahwa jika dikerjakan, maka si pelakunya pasti meraih ganjaran pahala. Di samping itu, shalat Jumat tetap dihukumkan sah meskipun tanpa mandi sebelumnya. Sebab hadits ini menegaskan bahwa wudhu sudah cukup
dan memadai."
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab at- Talkhis mengatakan", Hadits ini merupakan dalil terkuat tentang tidak wajibnya mandi Jum’at."
[Fiqih Sunnah 1/48 (1/89)].
وعن أبي سعيد الخدْرِيِّ رضي الله عنه: أنَّ رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قال: "غُسْلُ الجُمُعةِ واجِبٌ على كُلِّ مُحْتَلمٍ" وَالسِّوَاكُ وَأَنْ يَمَسَّ مِنَ الطِّيْبِ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ
Dari Abu Said r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Mandi Jum'at itu adalah wajib bagi setiap orang yang sudah bermimpi, dan siwak dan memakai wangi-wangian sekedar kemampuannya" (HR. Bukhari 879,895; Muslim 846; Abu Dawud 341)
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
والمراد بالمُحْتَلمٍ البالغ, والمراد بالوجوب تأكيد استحبابه, بدليل مارواه البخارى عن ابن عمر : "أن عمر بن الخطاب بينما هو قائم فى الخطبة يوم الجمعة , إذا دخل رجل من الهاجرين الأولين من أصحاب النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم, وهو عثمان, فناداه عمر : أية ساعة هذه؟ قال : إنى شغلت فلم أنقلب إلى أهلى حتى سمعت التأذين فلم أزد أن توضأت, فقال : والوضوء أيضا وقد علمت أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم, كان يأمر بالغسل"
قال : الشافعى : فلما لم يترك عثمان الصلاة للغسل, ولم تأمره عمر بالخروج للغسل, دل ذلك على أنهما قد علما أن الأمر بلغسل للا ختيار, ويدل على استحباب الغسل أيضا
Yang dimaksud dengan "orang yang sudah bermimpi' adalah orang yang telah mencapai usia balig, sementara yang dimaksudkan dengan kata "wajib" di sini adalah sunnah mu'akkad. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bukhari dari lbnu Umar bahwa ketika Umar bin Khaththab sedang berdiri menyampaikan khotbah pada hari Jumat, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki dari
kalangan Muhajirin pertama dari sahabat Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, yaitu Utsman. Ia pun dipanggil Umar seraya bertanya kepadanya "Pukul berapakah sekarang ini?" Utsman menjawab, "Saya tadi bekerja. Sebelum pulang, saya mendengar suata azan dan saya pun tidak sempat lagi berbuat apa-apa selain berwudhu ." "Anda hanya berwudhu saja, padahal Anda telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam menitahkan agar mandi terlebih dahulu sebelum datang ke masjid?" tanya Umar lagi.
Syafi'i mengatakan, "Disebabkan Utsman tidak sampai meninggalkan shalat demi mandi, begitu pun Umar tidak menyuruhnya keluar untuk mandi, maka yang demikian itu merupakan suatu bukti bahwa mereka sama-sama mengetahui bahwa perintah mandi tersebut boleh ditinggalkan."
[Fiqih Sunnah 1/48 (1/89)].
Asy-Syaukani berkata :
قال المصنف رحمه اللَّه تعالى: وهذا يدل على أنه أراد بلفظ الوجوب تأكيد استحبابه كما تقول حقك علي واجب والعدة دين بدليل أنه قرنه بما ليس بواجب بالإجماع وهو السواك والطيب انتهى.
Al-Mushannif mengatakan, hadits di atas menunjukkan bahwa dengan perkataan ”wajib” itu Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam menghendaki penekanan disunnahkannya mandi. Sebagaimana anda mangatakan, hakmu atasku adalah wajib, dan janji itu hutang berdasarkan dalil-dalil bahwa mandi diberi qarinah dengan suatu perbuatan yang tidak wajib menurut ujma’ yaitu siwak dan wangi-wangian, selesai.
[Nailul Authar 1/194 (1/528)].
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
هذا دليل داود في إيجابه غسل الجمعة، والجمهور يتأولونه بما عرفت قريباً، وقد قيل: إنه كان للإيجاب أول الأمر بالغسل؛ لما كانوا فيه من ضيق الحال، وغالب لباسهم الصوف، وهم في أرض حارة الهواء، فكانوا يعرقون عند الاجتماع لصلاة الجمعة، فأمرهم صلى الله عليه وآله وسلم ـــ بالغسل، فلما وسع الله عليهم، ولبسوا القطن، رخص لهم في ذلك
Hadits ini dijadikan dalil wajibnya mandi pada hari jum’at, sedangkan jumhur ulama mentakwilkan hadits tersebut, sebagaimana yang akan dijelaskan (penjelasan hadits Samurah bin Jundab, pen).
Ada yang berpendapat, ”Pada awal mulanya mandi diwajibkan, mengingat meeka hidup dalam kesulitan dan umumnya pakaian mereka dari bahan wol, sementara mereka tinggal di wilayah yang udaranya panas. Mereka berkeringat sewaktu pergi menuju shalat jum’at, maka Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk mandi, tetapi ketika Allah lapangkan kondisi mereka dan mereka sudah mengenakan bahan dari katun, Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam memberikan mereka keringanan untuk (tidak) mandi.
[Subulussalam 1/58 (1/215)].
وعن أبي هريرة: (عن النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم قال: حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أنْ يَغْتَسِلَ فِي كُلِّ سَبْعَةٍ أيَّامٍ يَوْمًا يَغْسِلُ فِيْهِ رَأْسَهُ وَجَسَدَهُ
Dari Abu Hurairah r.a, Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Wajib atas tiap-tiap muslim mandi sekali dalam tiap-tiap tujuh hari, (yaitu) dengan membasuh kepala dan tubuhnya” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
الحديث من أدلة القائلين بوجوب غسل الجمعة وقد تقدم الكلام عليه في أول الباب وقد بين في الروايات الأخر أن هذا اليوم هو يوم الجمعة.
Hadits di atas termasuk dalil-dalil bagi golongan yang berpendapat wajibnya mandi jumat. Dan, masalah itu telah dibicarakan dahulu pada awal bab, dan telah dijelaskan bahwa yang dimaksud ’hari ini’ adalah hari jum’at sebagaimana di dalam riwayat-riwayat lain.
[Nailul Authar 1/195 (1/529)].
وعن ابن عمر أن عمر: (بينا هو قائم في الخطبة يوم الجمعة إذ دخل رجل من المهاجرين الأولين فناداه عمر: أية ساعة هذه فقال: إني شغلت فلم أنقلب إلى أهلي حتى سمعت التأذين فلم أزد على أن توضأت قال: والوضوء أيضًا وقد علمت أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم كان يأمر بالغسل).
Dari Ibnu Umar, bahwa ketika Umar sedang berdiri dalam khutbah jum’at, tiba-tiba masuklah seorang lak-laki dari kaum muhajirin golongan pertama, lalu Umar memanggilnya, ’sudah waktu apa sekarang ini?’ Orang laki-laki itu menjawab, ’Sesungguhnya saya sibuk sampai-sampai saya tidak sempat pulang ke rumah sehingga terdengar suara adzan, lalu saya tidak bisa berbuat lebih daripada berwudhu”. Umar berkata (kepadanya), ’dan wudhu pula yang kau kerjakan, padahal engkau telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan mandi?” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث من أدلة القائلين بالوجوب لقوله: كان يأمر وقد تقدم الكلام على ذلك
Hadits di atas termasuk dalil-dalil bagi golongan yang berpendapat wajibnya mandi jumat. Berdasarkan perkataan ”pernah Nabi memerintah” dan telah dibicarakan dahulu.
[Nailul Authar 1/195 (1/530)].
وعن سَمُرَةَ بنِ جُنْدَبٍ رضي الله عنهُ قالَ: قالَ رسولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الجُمعَةِ فبهَا وَنِعْمَتْ، ومَنْ اغْتَسَلَ فالْغُسْلُ أَفْضَلُ".
Dari Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang berwudlu pada hari Jum'at berarti telah menjalankan sunnah dan sudah baik, dan barangsiapa yang mandi maka itu lebih utama." (HR. Abu Dawud 354; Tirmidzi 497; Ibnu Majah 1091, hadits hasan)
Asy-Syaukani berkata :
والحديث دليل لمن قال بعدم وجوب غسل الجمعة وقد ذكرنا تقرير الاستدلال به على ذلك والجواب عليه في أول الباب.
Hadits di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat tidak wajibnya mandi jumat, dan telah kami sebutkan ketetapan penggunaan dalil dengan hadits ini sebagai tidak wajibnya mandi jum’at, dan bantahannya ada di awal bab.
[Nailul Authar 1/196 (1/531)].
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
والحديث: دليل على عدم وجوب الغسل، وهو كما عرفت دليل الجمهور على ذلك، وعلى تأويل حديث الإيجاب، إلا أنّ فيه سؤالاً، وهو: أنه كيف يفضّل الغسل ــــ وهو سنة ــــ على الوضوء ــــ وهو فريضة ــــ والفريضة أفضل إجماعاً
Hadits tersebut adalah dalil tidak wajibnya mandi –sebagaimana yang anda ketahui- menjadi dalil jumhur ulama atas hal itu, juga sebagai dalil untuk mentakwilkan hadits yang mewajibkan mandi. Hanya saja muncul pertanyaan, bagaimana bisa mandi yang hukumnya sunnah, lebih utama dari pada wudhu yang hukumnya wajib menurut ijma’ ulama? Jawabannya adalah, maksudnya bukanlah keutamaan atas wudhu itu sendiri, tapi atas wudhu yang tidak disertai mandi, seakan-akan beliau bersabda, ”Barangsiapa berwudhu dan mandi, maka dia lebih utama dari orang yang hanya berwudhu saja,”
Dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya mandi adalah hadits Muslim,
”Barangsiapa yang berwudhu lalu ia membaguskan wudhunya, kemudian ia pergi shalat jum’at, dia mendengarkan khutbah dengan diam penuh perhatian, maka akan diampuni dosanya antara jum’at itu hingga jum’at berikutnya dan ditambah lagi tiga hari” (HR. Muslim 857)
[Subulussalam 1/58 (1/216)].
وعن عروة عن عائشة قالت: كان الناسُ يَتُنًاوَبُوْنَ الْجُمُعَةَ مِنْ مَنَازِلِهِمْ وَمِنَ الْعَوَالِي فَيَأْتُوْنَ فِي الْعَبَاءِ فَيُصِيْبُهُمُ الْغُبَارُ وَالْعَرَقُ فَتَخْرُجُ مِنْهُمُ الرِّيْحُ فَأَتَى النبيَّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم إنْسَانٌ مِنْهُمْ وَهُوَ عِنْدِي فقال النبيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم: لَوْ أنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا).
Dari Urwah, dari Aisyah, ia berkata, ”Adalah orang-orang mendatangi shalat jum’at dari rumah-rumah mereka dan dari kampung-kampung. Mereka datang dengan memakai ’abaa (semacam jubah), yang penuh dengan debu dan keringat sehingga keluar bau dari mereka. Kemudian salah seorang diantara mereka datang kepada Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam, (ketika itu) Nabi berada di rumahnya, lalu beliau bersabda, ’Alangkah baiknya, kalau kamu bersih pada hari-mu ini!”
(HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaukani berkata :
الحديث استدل به من قال بعدم وجوب غسل الجمعة وقد قدمنا تقرير الاستدلال به والجواب عليه في أول الباب.
Hadits di atas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat tidak wajibnya mandi jumat. Ketetapan penggunaan hadits sebagai dalil telah dibicarakan dahulu. Juga bantahannya pada awal bab ini.
[Nailul Authar 1/196 (1/532)].
وعن أوس بن أوس الثقفي قال: سَمِعْتُ رسولَ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم يقول: من غَسَلَ وَاغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنَ الإمَامِ فاسْتَمَعَ ولم يَلْغُ كان لهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
Dari Aus bin Al-Tsaqafi, ia berkata, pernah aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa membersihkan dan mandi pada hari jum’ah, segera pergi dan bercepat-cepat, dengan berjalan dan tidak berkenaraan, dan mendekati imam lalu ia memperhatikan khutbah dan tidak bercakap-cakap, maka setiap langkahnya itu (sama) dengan amal satu tahun, (yaitu) pahala puasa dan amal shalatnya,” (HR. Imam yang lima, tetapi At-Tirmidzi tidak menyebut perkataan “dengan berjalan dan tidak berkenaraan”).
Asy-Syaukani berkata :
والحديث يدل على مشروعية الغسل يوم الجمعة وقد تقدم الخلاف فيه وعلى مشروعية التبكير والمشي والدنو من الإمام والاستماع وترك اللغو وأن الجمع بين هذه الأمور سبب لاستحقاق ذلك الثواب الجزيل.
Hadits di atas menunjukkan disyariatkannya mandi pada hari jum’at, dan selisih pendapat dalam soal itu telah dibicarakan dahulu. Dan menunjukkan disyari’atkannya menyegerakan, berjalan, mendekat kepada imam, mendengarkan (khutbah), dan meninggalkan omong-omong. Dan melaksanakan perintah-perintah tersebut menyebabkan adanya pahala yang banyak.
[Nailul Authar 1/196 (1/533)].
Waktu Mandi Jum’at
Sayyid Sabiq berkata :
ووقت الغسل يمتد من طلوع الفجر إلى صلاة الجمعة, وإن كان المستهب أن ينصل الغسل بالدهاب, وإذا أحدث بعد يكفية الغسل الوضوء.
ويحرج وقت الغسل بالفراغ من الصلاة فمن اغتسل بعد الصلاة لا يكون غسلا للجمعة, ولا يعتبر فاعله أتيا بما أمر به
Waktu mandi jum’at semenjak terbit fajar sampai sebelum shalat Jum’at, walaupun waktu yang lebih utama dalah mandi dan kemudian langsung sehera berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat jum’at. Jika seseorang berhadats setelah mandi Jum’at, maka cukuplah ia berwudhu saja.
Waktu mandi Jum’at berakhir jika shalat Jum’at sudah dilaksanakan. Jadi, seseorang yang mandi setelah shalat Jum’at, maka tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan mandi Jum’at dan tidak dianggap melaksanakan perintah syara’ yang menyuruh melaksanakannya.
[Fiqih Sunnah 1/48 (1/90)].
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
أحدها الغسل يوم الجمعة سنة ووقته بعد الفجر على المذهب وانفرد في النهاية بحكاية وجه أنه يجزىء قبل الفجر كغسل العيد وهو شاذ منكر ويستحب تقريب الغسل من الرواح إلى الجمعة ثم الصحيح إنما يستحب لمن يحضر الجمعة والثاني يستحب لكل أحد كغسل العيد فإذا قلنا بالصحيح فهو مستحب لكل حاضر سواء من تجب عليه وغيره
Mandi pada hari Jum'at merupakan suatu yang disunahkan. Adapun waktunya adalah setelah fajar menurut pendapat pengikut madzhab Syafi’i. Tetapi dalam kitab An-Nihayah disebutkan satu pendapat dari pengikut madzhab Syafi’, “Bahwa mandi itu sah sebelum fajar seperti halnya mandi Hari Raya" pendapat ini aneh dan tidak dapat diterima Disunnahkan mandi sebelum pergi melaksanakan shalat Jum'at. Namun menurut pendapat yang –shahih adalah disunahkan bagi orang yang datang melaksanakan shalat Jum'at untuk mandi.
Disunahkan bagi setiap orang untuk mmdi seperti halnya mandi di Hari Raya. Jika kita mengatakan dengan pendapat shahih, maka ini menjadi sunah bagi setiap orang yang datang melaksanakan shalat Jum'at, baik bagi orang yang wajib melaksanakan shalat Jum’at atau lainnya.
[Raudhatuth Thalibin 2/55 (1/814)].
Kesimpulan
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mandi jum’at hukumnya sunnah.
2. Mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu mandi jum’at adalah mulai dari terbit fajar sampai menjelang shalat jum’at, tapi yang lebih afdhol adalah menjelang pelaksanaan shalat jum’at.
Wallahu a’lam.
Sumber Rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
*Slawi, April 2011.
Jumat, 01 April 2011
MEMBACA FATIHAH DALAM SHALAT BERJAMA’AH
MEMBACA FATIHAH DALAM SHALAT BERJAMA’AH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dan umat islam apakah dalam shalat berjamaah, makmum harus membaca Al-Fatihah atau tidak. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap hadits-hadits dan ayat-ayat Al-Quran tentang hal tersebut.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid mengatakan :
واتفقوا على أنه لا يحمل الإمام عن المأموم شيئا من فرائض الصلاة ما عدا القراءة، فإنهم اختلفوا في ذلك على ثلاثة أقوال: أحدها أن المأموم يقرأ مع الإمام فيما أسر فيه ولا يقرأ معه فيما جهر به. والثاني أنه لا يقرأ معه أصلا. والثالث أنه يقرأ فيما أسر أم الكتاب وغيرها، وفيما جهر أم الكتاب فقط،
وبالأول قال مالك، إلا أنه يستحسن له القراءة فيما أسر فيه الإمام. وبالثاني قال أبو حنيفة، وبالثالث قال الشافعي، والتفرقة بين أن يسمع أو لا يسمع هو قول أحمد بن حنبل
Kalangan fuqaha sepakat bahwa imam merupakan penanggung berbagai fardhu shalat atas makmum, kecuali bacaan Al-Quran. Mengenai bacaan Al-Quran ini kalangan fuqaha terpecah menjadi tiga kelompok :
Pertama, makmum membaca bersama imam ketika imam membaca dengan pelan. Namun makmum tidak membaca dengan imam ketika imam membaca dengan keras.
Kedua, Makmum sama sekali tidak membaca.
Ketiga, Makmum membaca Al-Fatihah dan surat dari Al-Quran ketika imam membaca dengan pelan, dan membaca Al-Fatihah saja ketika imam membaca dengan keras.
Pendirian pertama dipegangi oleh Malik. Namun ia tetap berpendirian lebih baik membaca ketika imam membaca dengan pelan.
Pendirian kedua dikemukakan oleh Abu Hanifah dan yang ketika dipegangi Syafi’i.
Masalah perbedaan antara makmum yang bisa mendengar dan yang tidak, berasal dari pendapat Ahmad bin Hanbal.
والسبب في اختلافهم اختلاف الأحاديث في هذا الباب وبناء بعضها على بعض، وذلك أن في ذلك أربعة أحاديث:
أحدها قوله عليه الصلاة والسلام "لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب"
وما ورد من الأحاديث في هذا المعنى مما ذكرناه في باب وجوب القراءة.
والثاني ما روى مالك عن أبي هريرة؟ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم انصرف من صلاة جهر فيها بالقراءة فقال: هل قرأ معي منكم أحد آنفا، فقال رجل: نعم أنا يا رسول الله، فقال رسول الله: إني أقول مالي أنازع القرآن" فانتهى الناس عن القراءة فيما جهر فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم.
والثالث حديث عبادة بن الصامت قال "صلى بنا رسول الله صلاة الغداة فثقلت عليه القراءة. فلما انصرف قال: إني لأراكم تقرءون وراء الإمام، قلنا: نعم، قال: فلا تفعلوا إلا بأم القرآن" قال أبو عمر، وحديث عبادة بن الصامت هنا من رواية مكحول وغيره متصل السند صحيح. والحديث الرابع حديث جابر عن النبي عليه الصلاة والسلام قال "من كان له إمام فقراءته له قراءة"
وفي هذا أيضا حديث خامس صححه أحمد بن حنبل، وهو ما روي أنه قال عليه الصلاة والسلام "إذا قرأ الإمام فأنصتوا"
فاختلف الناس في وجه جمع هذه الأحاديث. فمن الناس من استثنى من النهي عن القراءة فيما جهر فيه الإمام قراءة أم القرآن فقط على حديث عبادة بن الصامت. ومنهم من استثنى من عموم قوله عليه الصلاة والسلام "لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب" المأموم فقط في صلاة الجهر لمكان النهي الوارد عن القراءة فيما جهر فيه الإمام في حديث أبي هريرة،.وأكد ذلك بظاهر قوله تعالى {وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون} قالوا: وهذا إنما ورد في الصلاة
Sebagai sebab timbulnya perbedaan pendirian ini adalah terdapatnya beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah di atas, disamping penguatan sebagian hadits atas hadits lainnya. Hadits-hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Pernyataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari, Azan/714; Tirmidzi 247)
Juga hadits-hadits senada yang sudah saya kemukakan dalam bahasan kewajiban membaca Al-Quran.
b. Riwayat Malik, dari Abu Hurairah RA :
أن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم انصرف مِنْ صَلَاةٍ جَهَرَ فِيْهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ "هَلْ قَرَأَ مَعِيْ أَحَدٌ مِنْكُمْ آنِفاً"؟ فَقَالَ رَجُلٌ: نَعَمْ يارسول اللّه، قال: "إِنِّي أَقُوْلَ مَا لِيْ أُنَازِعُ الْقُرْآنَ"؟ قال: فَانْتَهَى النَّاسَ عَنِ الْقِرَاءَةِ مَعَ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم فِيْمَا جَهَرَ فِيْهِ النبي صلى الله عليه وسلم بالْقِرَاءَةِ مِنَ الصَّلَوَاتِ حِيْنَ سَمِعُوْا ذَلِكَ مِنْ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan sholat yang beliau keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Abu Dawud 826 , At Tirmidzi, An Nasa-i dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).
c. Hadits Ubadah bin Shamit :
صَلَّى بِنَا رسول الله صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قال: إِنِّي لِأَرَاكُمْ تَقْرَءُوْنَ وَرَاءَ الْإِمَامِ، قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: فَلَا تَفْعَلُوْا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ
“Kami pernah melakukan sholat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat Shubuh. Beliau merasa berat untuk membaca (Alqur’an/Al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai sholat), beliau saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kaum sekalian (mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian?’.Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau saw. bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”. (HR.Imam Ahmad , Abu Dawud , Imam Turmudzi )
Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa hadits Ubadah di atas diriwayatkan oleh seorang bernama Mak-hul dan lainnya, dan sanadnya bersambung. Hadits ini shahih.
d. Hadits darti Jabir, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامً فَقَرَاءَةُ الْإِمَامَ لَهُ قَرَاءَ ةٌ
"Siapa mengikuti imam (dalam shalat), maka bacaan imam adalah bacaan baginya." (HR. Ibnu Majah)
Catatan : Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan : Hadits tersebut adalah hadits mursal (terputus), sehingga ia tidak bisa digunakan sebagi dalil.
[Subulussalam 1, hal. 455]
e. Hadits yang menurut Ahmad Shahih :
وَإِذَا قَرَأَالْإِمَامُ فَأَنْصِتُوا
“Kalau (imam) membaca, maka kalian hendaknya diam”. (HR. Ahmad).
Di dalam menjamak beberapa hadits di atas, kalangan fuqaha saling berbeda. Terdapat fuqaha yang mengecualikan bacaan al-Fatihah dari seluruh bacaan dalam shalat ketika imam membaca dengan jahr (keras). Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas. Di lain pihak, ada fuqaha yang berpendirian bahwa yang dikecualikan adalah bacaan makmum ketika imam membaca dengan keras, karena adanya larangan yang tersebut di dalam hadits Abu Hurairah di atas. Larangan di dalam hadits tersebut diperjelas oleh ayat :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Mereka berpendapat perintah dalam ayat tersebut hanya berlaku dalam shalat.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 349]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Pada asalnya shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surah Al-Fatihah pada setiap rekaat shalat fardhu maupun shalat sunnah sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Akan tetapi kewajiban membaca bagi makmum digugurkan ketika mengerjakan shalat-shalat yang mesti dikeraskan suaranya dan ia wajib diam dan mendengarkan abcaan imam. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Juga karena sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَ ا كَبَّرَ الْإِمَامُ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا ".
"Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)…"
(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud no. 603 & 604). Menurut Muslim hadits ini shahih.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1, hal 13]
Dengan demikian inilah maksud hadits yang berbunyi,
”Barangsiapa yang mengerjakan shalat berjamaah, maka bacaan imam itu berarti bacaannya”
Jadi, maksudnya adalah bacaan imam itu berarti bacaan makmum pada shalat-shalat yang harus menyaringkan suara bacaan. Adapun shalat-shalat yang harus memperlahankan suara bacaan, maka makmum wajib membaca Al-Quran. Begitu juga makmum wajib membaca Al-Quran pada shalat-shalat yang harus menyaringkan suara bacaan, jika bacaan imam tidak kedengaran.
Selanjutnya Sayyid Sabiq mengutip pendapat Abu Bakar Ibnu Arabi yang mengatakan :
Mengenai shalat yang harus menyaringkan suara bacaan, maka tidak boleh membaca Al-Quran, disebabkan oleh tiga alasan :
Pertama, karena yang demikian itu memrupakan amalan penduduk Madinah.
Kedua, karena itu adalah perintah Al-Quran, sebagaimana firmanNya,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Disamping itu ayat ini didukung oleh dua buah hadits, yaitu :
Hadits pertama adalah hadits Imran bin Husain,
قَدْ عَلِمْتَ أنْ بَعْضَكُمْ خَالَجْنِيْهَا
”Sesungguhnya aku mengetahui bahwa ada beberapa orang diantara kamu telah mengacaukan pikiranku dengan bacaan”
Hadits kedua adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَإِذَا قَرَأَ الْاِمَامُ فَأَنْصِتُوا
”Jika imam membaca Al-Quran hendaknya kamu diam”
Ketiga, ialah tarjih, yakni mengambil pendapat yang lebih kuat. Jadi, jika imam sudah membaca ayat Al-Quran, maka makmum tidak perlu lagi membaca ayat Al-Quran.
[Fiqih Sunnah 1/223-224]
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
الحنفية قالوا لا يقرأ خلف الإمام لا في سرية ولا جهرية واستدلوا على ذلك بحديث عبد اللَّه بن شداد الآتي وهو ضعيف لا يصلح للاحتجاج به
ذهب الشافعي وأصحابه إلى وجوب قراءة الفاتحة على المؤتم من غير فرق بين الجهرية والسرية سواء سمع المؤتم قراءة الإمام أم لا وإليه ذهب الناصر من أهل البيت واستدلوا على ذلك بحديث عبادة بن الصامت
قال النووي: وهكذا الحكم عندنا ولنا وجه شاذ ضعيف أنه لا يقرأ المأموم السورة في السرية كما لا يقرؤها في الجهرية وهذا غلط لأنه في الجهرية يؤمر بالإنصات وهنا لا يسمع فلا معنى لسكوته من غير استماع ولو كان بعيدًا عن الإمام لا يسمع قراءته فالصحيح أنه يقرأ السورة لما ذكرناه انتهى
Golongan Hanafi mengatakan , “Makmum tidak membaca di belakang imam, baik dalam shalat sirr (shalat yang bacaannya tidak dinyaringkan) maupun shalat jahr (shalat yang bacaannya dinyaringkan)”. Mereka berdalih dengan hadits Abdullah bin Syaddad, namun hadits ini lemah sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Imam Syafi’i dan para sahabatnya berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah bagi makmum, tanpa membedakan antara shalat jahr dan shalat sirr, baik makmum itu bisa mendengar bacaan imamnya maupun tidak. Mereka berdalil dengan hadits Ubadah bin Shamit.
An-Nawawi berkata, “Begitulah hukumnya menurut madzhab kami. Ada pandangan janggal yang lemah menurut kami, yaitu tentang pendapat yang menyebutkan bahwa makmum tidak membaca surah di dalam shalat sirr sebagaimana di dalam shalat jahr. Pendapat ini keliru, karena di dalam shalat sirr, makmum tidak mendengar bacaan imam, sehingga bila ia diam (tidak membaca apa-apa), maka tidak ada gunanya ia diam bila ia tidak ada yanbg didengarkan, atau bila ia jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya. Yang benar, bahwa makmum membaca surah dengan alasan sebagaimana yang telah kami ungkapkan”
[Nailul Authar 2/151 (1/484)].
Dalam kitab Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-Asqalani mengutip hadits dari Ubadah bin Shamit dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْأَنِ
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari, Azan/714; Tirmidzi 247)
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan :
ثم ظاهر الحديث وجوب قراءتها في سرية وجهرية: للمنفرد، والمؤتم. أما المنفرد فظاهر، وأما المؤتم فدخوله في ذلك واضح، وزاده إيضاحاً في قوله: (وفي أخرى) من رواية عبادة (لأحمد، وأبي داود، والترمذي، وابن حبان: لعلكم تقْرءُون خلفَ إمامكم؟ قلنا: نعم، قال: لا تفعلوا إلَّا بفاتحة الكتابِ، فإنهُ لا صلاة لمنْ لم يقرأ بها) ، فإنه دليل على إيجاب قراءة الفاتحة خلف الإمام تخصيصاً، كما دل اللفظ الذي عند الشيخين بعمومه، وهو أيضاً ظاهر في عموم الصلاة: الجهرية، والسرية، وفي كل ركعة أيضاً
Secara zhahir, hadits tersebut menjelaskan bahwa surat tersebut dibaca baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah. Baik untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian maupun sebagai makmum. Karena zhahir hadits ini menjelaskan hokum untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian. Sedangkan seorang makmum tiodak diragukan bahwa ia termsuk dalam hokum ini.
Penjelasan di atas diperkuat oleh hadits Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban,
“Apakah kalian membaca sesuatu di belakang imam kalian?” Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”.
Hadits ini dengan jelas menyebutkan wajibnya membaca surat Al-Fatihah bagi makmum. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim bahwa perintah tersebut bersifat umum, mencakup shalat jahriyah maupun shalat sirriyah dalam setiap rekaat.
[Subulussalam 1/50 (1/454)]
Syaikh Imam Al-Qurtubhi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi berkata :
Saat berada di Irak, Asy-Syafi’i pernah berkata tentang seorang makmum, “Makmum harus membaca Al-Fatihah jika imam tidak mengeraskan bacaannya. Tapi dia tidak wajib membacanya jika imam mengeraskan bacaannya”. Pendapat ini persis seperti pendapat yang masyhur dalam madzhab Malik. Sementara di Mesir, Asy-Syafi’i berkata, “Untuk shalat dimana imam mengeraskan bacaannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat : Pertama, makmum harus membaca Al-Fatihah. Kedua, akan dianggap cukup baginya jika dia tidak membaca surah Al-Fatihah dan hanya mengandalkan bacaan imam.
[Tafsir Al-Qurthubi 1, hal. 304]
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
ويستوي في تعين الفاتحة الامام والمأموم والمنفرد في السرية والجهرية ولنا قول ضعيف أنها لا تجب على المأموم في الجهرية ووجه شاذ أنها لا تجب عليه في السرية أيضا
وإذا قلنا يقرأ المأموم في الجهرية فلا يجهر بحيث يغلب جهره بل يسر بحيث يسمع نفسه لو كان سميعا فإن هذا أدنى القراءة ويستحب للامام على هذا القول أن يسكت بعد الفاتحة قدر قراءة المأموم لها
Dalam hal kewajiban membaca Al-Fatihah, sama hukumnya antara imam, makmum, orang yang shalat sendirian baik dengan menyamarkan bacaan atau men-jahr-kannya. Pada kami terdapat pendapat yang lemah yang menyatakan bahwa membaca Al-Fatihah tersebut tidak diwajibkan bagi makmum dalam shalat yang dibaca dengan suara keras. Adapun pendapat pengikut madzhab Syafi’i yang aneh mengatakan bahwa membaca Al-Fatihah juga tidak diwajibkan dalam shalat yang disamarkan.
Jika kita katakan, “Makmum harus membaca Al-Fatihah dalam shalat yang dibaca dengan suara keras, dan hendaklah dia tidak mengangkat suara melebihi suara imam, akan tetapi hendaklah dia membacanya dengan sirr (pelan) sehingga hanya didengar oleh dirinya sendiri jika dia dapat mendengar. Inilah standar minimal surah Al-Fatihah. Berdasarkan pendapat ini, maka seorang imam dianjurkan untuk diam setelah membaca Al-Fatihah yang lamanya sekitar selesainya makmum membaca Al-Fatihah”
[Raudhatuth Thalibin 1/221 (1/513)].
Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fat-hul Mu’in berkata :
يسن للامام أن يسكت في الجهرية بقدر قراءة المأموم الفاتحة - إن علم أنه يقرؤها في سكتة - كما هو ظاهر، وأن يشتغل في هذه السكتة بدعاء أو قراءة، وهي أولى
Pada shalat jahriyah imam disunatkan berdiam sebentar (jangan cepat-cepat membaca surat), seukuran makmum membaca Fatihah. Bila ia mengetahui makmum membaca Fatihah ketika ia diam itu, hendaknya ia menyibukkan diri dengan membaca do’a atau membaca Quran. Hal itu lebih utama.
[Fat-hul Mu’in 1/80 (1/181)]
Syekh Muhammad Shaleh Al-Munajjid berkata :
Syekh Bin Baz berkata: Maksud jeda imam adalah jeda pada saat membaca Al-Fatihah, atau sesudahnya atau jeda saat membaca surat setelahnya. Seandainya imam tidak ada jeda, maka makmum tetap harus membaca Al-Fatihah meskipun saat itu imam dalam kondisi membaca, menurut pendapat yang kuat dari para ulama. (Silahkan lihat Fatawa Syekh Ibnu Baz, 11/221).
-http://www.islamqa.com/id/ref/10995
Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan dalam kitab Fiqih Sunnah :
Jika ada orang yang bertanya, sebenarnya makmum dibolehkan membaca Al-Quran, yaitu sewaktu imam itu berhenti sejenak. Jawabnya adalah berhenti bukanlah suatu keharusan bagi imam. Lantas bagaimanakah caranya melakukan atau memaksakan sesuatu yang fardhu ke dalam perkara yang tidak fardhu, apalagi pada waktu mengerjakan shalat yang harus menyarungkan suara bacaan? Sebenarnya, kita sebagai makmum mempunyai kesempatan untuk membaca ayat Al-Quran dengan cara lain, yaitu membacanya dalam hati, seperti merenung dan memikirkan maknanya.
[Fiqih Sunnah 1/223-224]
Ibnu Taimiyah berkata :
Orang yang mendengar bacaan imam wajib diam mendengarkan. Jadi ia sama dengan orang yang membaca. Bagi orang yang tidak mendengar bacaan imam, ia harus membaca.
[Bulughul Maram, hal. 120]
Kesimpulan :
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Al-Fatihah wajib dibaca pada setiap rekaat shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum yang shalat di belakang imam. Sebagian berpendapat makmum tetap wajib membaca Al-Fatihah, sebagian berpendapat makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah, karena membaca Al-Fatihah sudah dilakukan oleh imam.
Wallahu a’lam.
Sumber Rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2006.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-http://www.islamqa.com/id/ref/10995
***Slawi, Nopember 2009
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dan umat islam apakah dalam shalat berjamaah, makmum harus membaca Al-Fatihah atau tidak. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena perbedaan penafsiran terhadap hadits-hadits dan ayat-ayat Al-Quran tentang hal tersebut.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid mengatakan :
واتفقوا على أنه لا يحمل الإمام عن المأموم شيئا من فرائض الصلاة ما عدا القراءة، فإنهم اختلفوا في ذلك على ثلاثة أقوال: أحدها أن المأموم يقرأ مع الإمام فيما أسر فيه ولا يقرأ معه فيما جهر به. والثاني أنه لا يقرأ معه أصلا. والثالث أنه يقرأ فيما أسر أم الكتاب وغيرها، وفيما جهر أم الكتاب فقط،
وبالأول قال مالك، إلا أنه يستحسن له القراءة فيما أسر فيه الإمام. وبالثاني قال أبو حنيفة، وبالثالث قال الشافعي، والتفرقة بين أن يسمع أو لا يسمع هو قول أحمد بن حنبل
Kalangan fuqaha sepakat bahwa imam merupakan penanggung berbagai fardhu shalat atas makmum, kecuali bacaan Al-Quran. Mengenai bacaan Al-Quran ini kalangan fuqaha terpecah menjadi tiga kelompok :
Pertama, makmum membaca bersama imam ketika imam membaca dengan pelan. Namun makmum tidak membaca dengan imam ketika imam membaca dengan keras.
Kedua, Makmum sama sekali tidak membaca.
Ketiga, Makmum membaca Al-Fatihah dan surat dari Al-Quran ketika imam membaca dengan pelan, dan membaca Al-Fatihah saja ketika imam membaca dengan keras.
Pendirian pertama dipegangi oleh Malik. Namun ia tetap berpendirian lebih baik membaca ketika imam membaca dengan pelan.
Pendirian kedua dikemukakan oleh Abu Hanifah dan yang ketika dipegangi Syafi’i.
Masalah perbedaan antara makmum yang bisa mendengar dan yang tidak, berasal dari pendapat Ahmad bin Hanbal.
والسبب في اختلافهم اختلاف الأحاديث في هذا الباب وبناء بعضها على بعض، وذلك أن في ذلك أربعة أحاديث:
أحدها قوله عليه الصلاة والسلام "لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب"
وما ورد من الأحاديث في هذا المعنى مما ذكرناه في باب وجوب القراءة.
والثاني ما روى مالك عن أبي هريرة؟ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم انصرف من صلاة جهر فيها بالقراءة فقال: هل قرأ معي منكم أحد آنفا، فقال رجل: نعم أنا يا رسول الله، فقال رسول الله: إني أقول مالي أنازع القرآن" فانتهى الناس عن القراءة فيما جهر فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم.
والثالث حديث عبادة بن الصامت قال "صلى بنا رسول الله صلاة الغداة فثقلت عليه القراءة. فلما انصرف قال: إني لأراكم تقرءون وراء الإمام، قلنا: نعم، قال: فلا تفعلوا إلا بأم القرآن" قال أبو عمر، وحديث عبادة بن الصامت هنا من رواية مكحول وغيره متصل السند صحيح. والحديث الرابع حديث جابر عن النبي عليه الصلاة والسلام قال "من كان له إمام فقراءته له قراءة"
وفي هذا أيضا حديث خامس صححه أحمد بن حنبل، وهو ما روي أنه قال عليه الصلاة والسلام "إذا قرأ الإمام فأنصتوا"
فاختلف الناس في وجه جمع هذه الأحاديث. فمن الناس من استثنى من النهي عن القراءة فيما جهر فيه الإمام قراءة أم القرآن فقط على حديث عبادة بن الصامت. ومنهم من استثنى من عموم قوله عليه الصلاة والسلام "لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب" المأموم فقط في صلاة الجهر لمكان النهي الوارد عن القراءة فيما جهر فيه الإمام في حديث أبي هريرة،.وأكد ذلك بظاهر قوله تعالى {وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون} قالوا: وهذا إنما ورد في الصلاة
Sebagai sebab timbulnya perbedaan pendirian ini adalah terdapatnya beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah di atas, disamping penguatan sebagian hadits atas hadits lainnya. Hadits-hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Pernyataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari, Azan/714; Tirmidzi 247)
Juga hadits-hadits senada yang sudah saya kemukakan dalam bahasan kewajiban membaca Al-Quran.
b. Riwayat Malik, dari Abu Hurairah RA :
أن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم انصرف مِنْ صَلَاةٍ جَهَرَ فِيْهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ "هَلْ قَرَأَ مَعِيْ أَحَدٌ مِنْكُمْ آنِفاً"؟ فَقَالَ رَجُلٌ: نَعَمْ يارسول اللّه، قال: "إِنِّي أَقُوْلَ مَا لِيْ أُنَازِعُ الْقُرْآنَ"؟ قال: فَانْتَهَى النَّاسَ عَنِ الْقِرَاءَةِ مَعَ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم فِيْمَا جَهَرَ فِيْهِ النبي صلى الله عليه وسلم بالْقِرَاءَةِ مِنَ الصَّلَوَاتِ حِيْنَ سَمِعُوْا ذَلِكَ مِنْ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan sholat yang beliau keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR. Abu Dawud 826 , At Tirmidzi, An Nasa-i dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).
c. Hadits Ubadah bin Shamit :
صَلَّى بِنَا رسول الله صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قال: إِنِّي لِأَرَاكُمْ تَقْرَءُوْنَ وَرَاءَ الْإِمَامِ، قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: فَلَا تَفْعَلُوْا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ
“Kami pernah melakukan sholat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat Shubuh. Beliau merasa berat untuk membaca (Alqur’an/Al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai sholat), beliau saw. bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kaum sekalian (mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian?’.Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau saw. bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”. (HR.Imam Ahmad , Abu Dawud , Imam Turmudzi )
Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa hadits Ubadah di atas diriwayatkan oleh seorang bernama Mak-hul dan lainnya, dan sanadnya bersambung. Hadits ini shahih.
d. Hadits darti Jabir, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامً فَقَرَاءَةُ الْإِمَامَ لَهُ قَرَاءَ ةٌ
"Siapa mengikuti imam (dalam shalat), maka bacaan imam adalah bacaan baginya." (HR. Ibnu Majah)
Catatan : Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan : Hadits tersebut adalah hadits mursal (terputus), sehingga ia tidak bisa digunakan sebagi dalil.
[Subulussalam 1, hal. 455]
e. Hadits yang menurut Ahmad Shahih :
وَإِذَا قَرَأَالْإِمَامُ فَأَنْصِتُوا
“Kalau (imam) membaca, maka kalian hendaknya diam”. (HR. Ahmad).
Di dalam menjamak beberapa hadits di atas, kalangan fuqaha saling berbeda. Terdapat fuqaha yang mengecualikan bacaan al-Fatihah dari seluruh bacaan dalam shalat ketika imam membaca dengan jahr (keras). Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas. Di lain pihak, ada fuqaha yang berpendirian bahwa yang dikecualikan adalah bacaan makmum ketika imam membaca dengan keras, karena adanya larangan yang tersebut di dalam hadits Abu Hurairah di atas. Larangan di dalam hadits tersebut diperjelas oleh ayat :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Mereka berpendapat perintah dalam ayat tersebut hanya berlaku dalam shalat.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 349]
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :
Pada asalnya shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surah Al-Fatihah pada setiap rekaat shalat fardhu maupun shalat sunnah sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Akan tetapi kewajiban membaca bagi makmum digugurkan ketika mengerjakan shalat-shalat yang mesti dikeraskan suaranya dan ia wajib diam dan mendengarkan abcaan imam. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Juga karena sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَ ا كَبَّرَ الْإِمَامُ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا ".
"Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)…"
(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud no. 603 & 604). Menurut Muslim hadits ini shahih.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1, hal 13]
Dengan demikian inilah maksud hadits yang berbunyi,
”Barangsiapa yang mengerjakan shalat berjamaah, maka bacaan imam itu berarti bacaannya”
Jadi, maksudnya adalah bacaan imam itu berarti bacaan makmum pada shalat-shalat yang harus menyaringkan suara bacaan. Adapun shalat-shalat yang harus memperlahankan suara bacaan, maka makmum wajib membaca Al-Quran. Begitu juga makmum wajib membaca Al-Quran pada shalat-shalat yang harus menyaringkan suara bacaan, jika bacaan imam tidak kedengaran.
Selanjutnya Sayyid Sabiq mengutip pendapat Abu Bakar Ibnu Arabi yang mengatakan :
Mengenai shalat yang harus menyaringkan suara bacaan, maka tidak boleh membaca Al-Quran, disebabkan oleh tiga alasan :
Pertama, karena yang demikian itu memrupakan amalan penduduk Madinah.
Kedua, karena itu adalah perintah Al-Quran, sebagaimana firmanNya,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf 6 : 204)
Disamping itu ayat ini didukung oleh dua buah hadits, yaitu :
Hadits pertama adalah hadits Imran bin Husain,
قَدْ عَلِمْتَ أنْ بَعْضَكُمْ خَالَجْنِيْهَا
”Sesungguhnya aku mengetahui bahwa ada beberapa orang diantara kamu telah mengacaukan pikiranku dengan bacaan”
Hadits kedua adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَإِذَا قَرَأَ الْاِمَامُ فَأَنْصِتُوا
”Jika imam membaca Al-Quran hendaknya kamu diam”
Ketiga, ialah tarjih, yakni mengambil pendapat yang lebih kuat. Jadi, jika imam sudah membaca ayat Al-Quran, maka makmum tidak perlu lagi membaca ayat Al-Quran.
[Fiqih Sunnah 1/223-224]
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
الحنفية قالوا لا يقرأ خلف الإمام لا في سرية ولا جهرية واستدلوا على ذلك بحديث عبد اللَّه بن شداد الآتي وهو ضعيف لا يصلح للاحتجاج به
ذهب الشافعي وأصحابه إلى وجوب قراءة الفاتحة على المؤتم من غير فرق بين الجهرية والسرية سواء سمع المؤتم قراءة الإمام أم لا وإليه ذهب الناصر من أهل البيت واستدلوا على ذلك بحديث عبادة بن الصامت
قال النووي: وهكذا الحكم عندنا ولنا وجه شاذ ضعيف أنه لا يقرأ المأموم السورة في السرية كما لا يقرؤها في الجهرية وهذا غلط لأنه في الجهرية يؤمر بالإنصات وهنا لا يسمع فلا معنى لسكوته من غير استماع ولو كان بعيدًا عن الإمام لا يسمع قراءته فالصحيح أنه يقرأ السورة لما ذكرناه انتهى
Golongan Hanafi mengatakan , “Makmum tidak membaca di belakang imam, baik dalam shalat sirr (shalat yang bacaannya tidak dinyaringkan) maupun shalat jahr (shalat yang bacaannya dinyaringkan)”. Mereka berdalih dengan hadits Abdullah bin Syaddad, namun hadits ini lemah sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum.
Imam Syafi’i dan para sahabatnya berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah bagi makmum, tanpa membedakan antara shalat jahr dan shalat sirr, baik makmum itu bisa mendengar bacaan imamnya maupun tidak. Mereka berdalil dengan hadits Ubadah bin Shamit.
An-Nawawi berkata, “Begitulah hukumnya menurut madzhab kami. Ada pandangan janggal yang lemah menurut kami, yaitu tentang pendapat yang menyebutkan bahwa makmum tidak membaca surah di dalam shalat sirr sebagaimana di dalam shalat jahr. Pendapat ini keliru, karena di dalam shalat sirr, makmum tidak mendengar bacaan imam, sehingga bila ia diam (tidak membaca apa-apa), maka tidak ada gunanya ia diam bila ia tidak ada yanbg didengarkan, atau bila ia jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya. Yang benar, bahwa makmum membaca surah dengan alasan sebagaimana yang telah kami ungkapkan”
[Nailul Authar 2/151 (1/484)].
Dalam kitab Bulughul Maram Ibnu Hajar Al-Asqalani mengutip hadits dari Ubadah bin Shamit dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْأَنِ
“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari, Azan/714; Tirmidzi 247)
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan :
ثم ظاهر الحديث وجوب قراءتها في سرية وجهرية: للمنفرد، والمؤتم. أما المنفرد فظاهر، وأما المؤتم فدخوله في ذلك واضح، وزاده إيضاحاً في قوله: (وفي أخرى) من رواية عبادة (لأحمد، وأبي داود، والترمذي، وابن حبان: لعلكم تقْرءُون خلفَ إمامكم؟ قلنا: نعم، قال: لا تفعلوا إلَّا بفاتحة الكتابِ، فإنهُ لا صلاة لمنْ لم يقرأ بها) ، فإنه دليل على إيجاب قراءة الفاتحة خلف الإمام تخصيصاً، كما دل اللفظ الذي عند الشيخين بعمومه، وهو أيضاً ظاهر في عموم الصلاة: الجهرية، والسرية، وفي كل ركعة أيضاً
Secara zhahir, hadits tersebut menjelaskan bahwa surat tersebut dibaca baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah. Baik untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian maupun sebagai makmum. Karena zhahir hadits ini menjelaskan hokum untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian. Sedangkan seorang makmum tiodak diragukan bahwa ia termsuk dalam hokum ini.
Penjelasan di atas diperkuat oleh hadits Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Hibban,
“Apakah kalian membaca sesuatu di belakang imam kalian?” Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”.
Hadits ini dengan jelas menyebutkan wajibnya membaca surat Al-Fatihah bagi makmum. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim bahwa perintah tersebut bersifat umum, mencakup shalat jahriyah maupun shalat sirriyah dalam setiap rekaat.
[Subulussalam 1/50 (1/454)]
Syaikh Imam Al-Qurtubhi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi berkata :
Saat berada di Irak, Asy-Syafi’i pernah berkata tentang seorang makmum, “Makmum harus membaca Al-Fatihah jika imam tidak mengeraskan bacaannya. Tapi dia tidak wajib membacanya jika imam mengeraskan bacaannya”. Pendapat ini persis seperti pendapat yang masyhur dalam madzhab Malik. Sementara di Mesir, Asy-Syafi’i berkata, “Untuk shalat dimana imam mengeraskan bacaannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat : Pertama, makmum harus membaca Al-Fatihah. Kedua, akan dianggap cukup baginya jika dia tidak membaca surah Al-Fatihah dan hanya mengandalkan bacaan imam.
[Tafsir Al-Qurthubi 1, hal. 304]
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :
ويستوي في تعين الفاتحة الامام والمأموم والمنفرد في السرية والجهرية ولنا قول ضعيف أنها لا تجب على المأموم في الجهرية ووجه شاذ أنها لا تجب عليه في السرية أيضا
وإذا قلنا يقرأ المأموم في الجهرية فلا يجهر بحيث يغلب جهره بل يسر بحيث يسمع نفسه لو كان سميعا فإن هذا أدنى القراءة ويستحب للامام على هذا القول أن يسكت بعد الفاتحة قدر قراءة المأموم لها
Dalam hal kewajiban membaca Al-Fatihah, sama hukumnya antara imam, makmum, orang yang shalat sendirian baik dengan menyamarkan bacaan atau men-jahr-kannya. Pada kami terdapat pendapat yang lemah yang menyatakan bahwa membaca Al-Fatihah tersebut tidak diwajibkan bagi makmum dalam shalat yang dibaca dengan suara keras. Adapun pendapat pengikut madzhab Syafi’i yang aneh mengatakan bahwa membaca Al-Fatihah juga tidak diwajibkan dalam shalat yang disamarkan.
Jika kita katakan, “Makmum harus membaca Al-Fatihah dalam shalat yang dibaca dengan suara keras, dan hendaklah dia tidak mengangkat suara melebihi suara imam, akan tetapi hendaklah dia membacanya dengan sirr (pelan) sehingga hanya didengar oleh dirinya sendiri jika dia dapat mendengar. Inilah standar minimal surah Al-Fatihah. Berdasarkan pendapat ini, maka seorang imam dianjurkan untuk diam setelah membaca Al-Fatihah yang lamanya sekitar selesainya makmum membaca Al-Fatihah”
[Raudhatuth Thalibin 1/221 (1/513)].
Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani dalam kitab Fat-hul Mu’in berkata :
يسن للامام أن يسكت في الجهرية بقدر قراءة المأموم الفاتحة - إن علم أنه يقرؤها في سكتة - كما هو ظاهر، وأن يشتغل في هذه السكتة بدعاء أو قراءة، وهي أولى
Pada shalat jahriyah imam disunatkan berdiam sebentar (jangan cepat-cepat membaca surat), seukuran makmum membaca Fatihah. Bila ia mengetahui makmum membaca Fatihah ketika ia diam itu, hendaknya ia menyibukkan diri dengan membaca do’a atau membaca Quran. Hal itu lebih utama.
[Fat-hul Mu’in 1/80 (1/181)]
Syekh Muhammad Shaleh Al-Munajjid berkata :
Syekh Bin Baz berkata: Maksud jeda imam adalah jeda pada saat membaca Al-Fatihah, atau sesudahnya atau jeda saat membaca surat setelahnya. Seandainya imam tidak ada jeda, maka makmum tetap harus membaca Al-Fatihah meskipun saat itu imam dalam kondisi membaca, menurut pendapat yang kuat dari para ulama. (Silahkan lihat Fatawa Syekh Ibnu Baz, 11/221).
-http://www.islamqa.com/id/ref/10995
Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan dalam kitab Fiqih Sunnah :
Jika ada orang yang bertanya, sebenarnya makmum dibolehkan membaca Al-Quran, yaitu sewaktu imam itu berhenti sejenak. Jawabnya adalah berhenti bukanlah suatu keharusan bagi imam. Lantas bagaimanakah caranya melakukan atau memaksakan sesuatu yang fardhu ke dalam perkara yang tidak fardhu, apalagi pada waktu mengerjakan shalat yang harus menyarungkan suara bacaan? Sebenarnya, kita sebagai makmum mempunyai kesempatan untuk membaca ayat Al-Quran dengan cara lain, yaitu membacanya dalam hati, seperti merenung dan memikirkan maknanya.
[Fiqih Sunnah 1/223-224]
Ibnu Taimiyah berkata :
Orang yang mendengar bacaan imam wajib diam mendengarkan. Jadi ia sama dengan orang yang membaca. Bagi orang yang tidak mendengar bacaan imam, ia harus membaca.
[Bulughul Maram, hal. 120]
Kesimpulan :
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Al-Fatihah wajib dibaca pada setiap rekaat shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
2. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum yang shalat di belakang imam. Sebagian berpendapat makmum tetap wajib membaca Al-Fatihah, sebagian berpendapat makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah, karena membaca Al-Fatihah sudah dilakukan oleh imam.
Wallahu a’lam.
Sumber Rujukan :
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’i, Jakarta, 2006.
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, Pustaka Azzam, Jakarta, 2006.
-Imam Nawawi Raudhatuth Thalibin, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-http://www.islamqa.com/id/ref/10995
***Slawi, Nopember 2009
SYETAN YANG JUJUR
SYETAN YANG JUJUR
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Syetan yang pendusta itu ternyata pernah berkata jujur. Hal ini dikisahkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin berikut ini :
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Saya diserahi oleh Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam untuk menjaga sesuatu dari hasil zakat Ramadhan-yakni zakat fitrah. Kemudian datanglah padaku seorang pendatang, Segeralah ia mulai mengambil makanan itu - sepenuh tangannya lalu diletakkan dalam wadah. Saya lalu menahannya (menangkapnya) terus berkata: "Sungguh-sungguh engkau akan saya hadapkan kepada Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam " Orang itu berkata: "Sesungguhnya saya ini adalah seorang yang sangat memerlukan dan saya mempunyai tanggungan keluarga banyak serta saya mempunyai hajat yang berat sekali -maksudnya amat fakirnya. Ia pun saya lepaskan - dengan membawa makanan secukupnya. Pada pagi harinya Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: "Hai Abu Hurairah, apakah yang dikerjakan oleh tawananmu - yakni orang yang kau pegang - tadi malam?" Saya menjawab: "Ya Rasulullah, ia mengadukan bahwa ia mempunyai keperluan serta keluarga, lalu saya belas-kasihan padanya, maka dari itu saya lepaskan sekehendak jalannya - yakni sesuka hatinya pergi." Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam. lalu bersabda: "Sebenarnya orang itu telah berdusta padamu dan ia akan kembali lagi.
Jadi saya mengetahui bahwa ia akan kembali kerana begitulah sabda Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam Selanjutnya saya terus mengintipnya, tiba-tiba ia kembali lagi dan segera saja mengambil makanan lagi, saya tangkaplah ia lalu saya berkata: "Sungguh-sungguh saya akan menghadapkan engkau kepada Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam " Ia berkata: "Biarkanlah saja - sekali ini, sebab sesungguhnya saya adalah seorang yang amat membutuhkan dan saya mempunyai banyak keluarga yang menjadi tanggungan saya. Saya tidak akan kembali lagi." Sekali lagi saya menaruh belas-kasihan padanya, lalu saya lepaskan dia. Pagi harinya Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda padaku: "Hai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?" Saya berkata: "la mengadukan lagi bahwa ia amat memerlukan dan mempunyai banyak tanggungan keluarga, maka dari itu saya belas-kasihan padanya dan saya melepaskannya"
Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu bersabda: "Sesungguhnya ia berkata dusta padamu dan ia akan kembali lagi."
Saya mengintipnya untuk ketiga kalinya. la datang dan terus mengambil makanan lalu saya tangkaplah ia, kemudian saya berkata:
"Kini sungguh-sungguh saya akan ghadapkan engkau kepada Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam dan ini adalah yang terakhir, karena untuk ketiga kalinya engkau datang, sedang engkau memastikan tidak akan datang, tetapi engkau datang lagi." Orang itu lalu berkata: "Biarkanlah aku pergi, sesungguhnya saya akan mengajarkan beberapa kalimat padamu yang dengannya itu Allah akan memberikan kemanfaatan padamu."
Saya berkata: "Apakah kalimat-kalimat itu." la menjawab: "Jikalau engkau hendak menempati tempat tidurmu, maka bacalah ayat al-Kursi, karena sesungguhnya kalau itu engkau baca, engkau akan senantiasa didampingi oleh seorang penjaga dari Allah dan engkau tidak akan didekati oleh syaitan sehingga pagi."
Akhirnya orang itu saya lepaskan lagi. Pagi harinya Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda padaku: "Apakah yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?" Saya menjawab: "la menyangka bahwa ia telah mengajarkan padaku beberapa kalimat yang dengannya itu Allah memberikan kemanfaatan padaku."
Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam bertanya: "Apakah kalimat-kalimat itu?" Saya menjawab: "la berkata kepada saya: "Jikalau engkau menempati tempat tidurmu, maka bacalah ayat al-Kursi sejak dari permulaannya sehingga engkau habiskan ayat itu sampai selesai, iaitu: Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum." la melanjutkan katanya kepada saya: "Jikalau itu engkau baca, maka engkau selalu akan didampingi oleh seorang penjaga dari Allah dan syaitan tidak akan mendekat padamu sehingga engkau berpagi-pagi."
Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu bersabda: "Sesungguhnya ia telah berkata benar padamu - yakni kalau membaca ayat al-Kursi, maka akan terus mendapat penjagaan dari Allah, tetapi orang itu sendiri sebenarnya adalah pendusta besar. Adakah engkau mengetahui, siapakah yang engkau ajak bicara selama tiga malam berturut-turut itu?" Saya menjawab: "Tidak." Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu bersabda: "Itu adalah syaitan." (Riwayat Bukhari)
Slawi, April 2011
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ’alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Syetan yang pendusta itu ternyata pernah berkata jujur. Hal ini dikisahkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin berikut ini :
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Saya diserahi oleh Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam untuk menjaga sesuatu dari hasil zakat Ramadhan-yakni zakat fitrah. Kemudian datanglah padaku seorang pendatang, Segeralah ia mulai mengambil makanan itu - sepenuh tangannya lalu diletakkan dalam wadah. Saya lalu menahannya (menangkapnya) terus berkata: "Sungguh-sungguh engkau akan saya hadapkan kepada Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam " Orang itu berkata: "Sesungguhnya saya ini adalah seorang yang sangat memerlukan dan saya mempunyai tanggungan keluarga banyak serta saya mempunyai hajat yang berat sekali -maksudnya amat fakirnya. Ia pun saya lepaskan - dengan membawa makanan secukupnya. Pada pagi harinya Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda: "Hai Abu Hurairah, apakah yang dikerjakan oleh tawananmu - yakni orang yang kau pegang - tadi malam?" Saya menjawab: "Ya Rasulullah, ia mengadukan bahwa ia mempunyai keperluan serta keluarga, lalu saya belas-kasihan padanya, maka dari itu saya lepaskan sekehendak jalannya - yakni sesuka hatinya pergi." Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam. lalu bersabda: "Sebenarnya orang itu telah berdusta padamu dan ia akan kembali lagi.
Jadi saya mengetahui bahwa ia akan kembali kerana begitulah sabda Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam Selanjutnya saya terus mengintipnya, tiba-tiba ia kembali lagi dan segera saja mengambil makanan lagi, saya tangkaplah ia lalu saya berkata: "Sungguh-sungguh saya akan menghadapkan engkau kepada Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam " Ia berkata: "Biarkanlah saja - sekali ini, sebab sesungguhnya saya adalah seorang yang amat membutuhkan dan saya mempunyai banyak keluarga yang menjadi tanggungan saya. Saya tidak akan kembali lagi." Sekali lagi saya menaruh belas-kasihan padanya, lalu saya lepaskan dia. Pagi harinya Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda padaku: "Hai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?" Saya berkata: "la mengadukan lagi bahwa ia amat memerlukan dan mempunyai banyak tanggungan keluarga, maka dari itu saya belas-kasihan padanya dan saya melepaskannya"
Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu bersabda: "Sesungguhnya ia berkata dusta padamu dan ia akan kembali lagi."
Saya mengintipnya untuk ketiga kalinya. la datang dan terus mengambil makanan lalu saya tangkaplah ia, kemudian saya berkata:
"Kini sungguh-sungguh saya akan ghadapkan engkau kepada Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam dan ini adalah yang terakhir, karena untuk ketiga kalinya engkau datang, sedang engkau memastikan tidak akan datang, tetapi engkau datang lagi." Orang itu lalu berkata: "Biarkanlah aku pergi, sesungguhnya saya akan mengajarkan beberapa kalimat padamu yang dengannya itu Allah akan memberikan kemanfaatan padamu."
Saya berkata: "Apakah kalimat-kalimat itu." la menjawab: "Jikalau engkau hendak menempati tempat tidurmu, maka bacalah ayat al-Kursi, karena sesungguhnya kalau itu engkau baca, engkau akan senantiasa didampingi oleh seorang penjaga dari Allah dan engkau tidak akan didekati oleh syaitan sehingga pagi."
Akhirnya orang itu saya lepaskan lagi. Pagi harinya Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda padaku: "Apakah yang dilakukan oleh tawananmu tadi malam?" Saya menjawab: "la menyangka bahwa ia telah mengajarkan padaku beberapa kalimat yang dengannya itu Allah memberikan kemanfaatan padaku."
Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam bertanya: "Apakah kalimat-kalimat itu?" Saya menjawab: "la berkata kepada saya: "Jikalau engkau menempati tempat tidurmu, maka bacalah ayat al-Kursi sejak dari permulaannya sehingga engkau habiskan ayat itu sampai selesai, iaitu: Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum." la melanjutkan katanya kepada saya: "Jikalau itu engkau baca, maka engkau selalu akan didampingi oleh seorang penjaga dari Allah dan syaitan tidak akan mendekat padamu sehingga engkau berpagi-pagi."
Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu bersabda: "Sesungguhnya ia telah berkata benar padamu - yakni kalau membaca ayat al-Kursi, maka akan terus mendapat penjagaan dari Allah, tetapi orang itu sendiri sebenarnya adalah pendusta besar. Adakah engkau mengetahui, siapakah yang engkau ajak bicara selama tiga malam berturut-turut itu?" Saya menjawab: "Tidak." Beliau Shallallaahu ’alaihi wasallam lalu bersabda: "Itu adalah syaitan." (Riwayat Bukhari)
Slawi, April 2011
Langganan:
Postingan (Atom)
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH
YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...
-
MENGUSAP KEPALA DALAM BERWUDHU Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sha...
-
MENYENTUH KEMALUAN MEMBATALKAN WUDHU? Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalia...
-
TALKIN (Sebelum Meninggal) Oleh : Masnun Tholab www.masnuntholab.blogspot.com إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ و...