PUASA
BAGI MUSAFIR
Oleh :
Masnun Tholab
DALIL-DALIL
Firman
Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dari Aisyah RA,
dia berkata :
اَنَّ حَمْزَةَ بْنِ
عَمْرٍو اَلْاَ سْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَاَصُوْمُ فِى السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيْرَ الصِّيَامِ فَقَالَ اِنْ شِئْتَ فَصُمْ
وَاِنْ شِئْتَ فَافْطِرْ
Sesungguhnya Hamzah bin
Amr al-Aslami berkata pada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.:
“apakah aku boleh berpuasa dalam bepergian (ia adalah orang yang banyak
berpuasa)? Beliau menjawab: barang siapa yang ingin berpuasa maka berpuasalah,
dan siapa yang ingin berbuka, berbukalah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Darda’,
beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى
يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا
صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ
صلى الله عليه وسلم وَابْنِ
رَوَاحَةَ
“Kami pernah keluar bersama Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga
ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang
begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi صلى
الله عليه وسلم saja dan
Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”( HR. Bukhari no. 1945
dan Muslim no. 1122).
Dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,
أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ
يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ
فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ. ثُمَّ رَكِبَ.
“Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini
itu Anas juga ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan
sudah mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta makanan,
lantas beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini
termasuk sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.”
Lantas beliau pun berangkat dengan kendaraannya.” ( HR. Tirmidzi no. 799. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Jabir bin
‘Abdillah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ عَامَ
الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ
فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ
النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ
قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
“Sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ keluar pada tahun Fathul
Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa.
Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan
Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta
diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun
memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau
melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang
tetap berpuasa.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang
yang durhaka”.”( HR. Muslim no. 1114)
PENJELASAN/PENDAPAT PARA ULAMA
Mana Yang Lebih Afdhol? Berbuka Atau
Berpuasa?
An-Nawawi mengatakan,
قَال النَّوَوِيُّ
وَالْكَمَال بْنُ الْهُمَامِ: إِنَّ
الأَْحَادِيثَ الَّتِي تَدُل عَلَى أَفْضَلِيَّةِ الْفِطْرِ مَحْمُولَةٌ عَلَى
مَنْ يَتَضَرَّرُ بِالصَّوْمِ، وَفِي بَعْضِهَا التَّصْرِيحُ بِذَلِكَ، وَلاَ
بُدَّ مِنْ هَذَا التَّأْوِيل، لِيُجْمَعَ بَيْنَ الأَْحَادِيثِ، وَذَلِكَ أَوْلَى
مِنْ إِهْمَال بَعْضِهَا،
An-Nawawi dan Al-Kamal Ibnu Humam mengatakan : Hadis-hadis
yang menunjukkan anjuran untuk tidak puasa, dipahami bahwa itu berlaku bagi
orang yang merasa berat ketika berpuasa. Di sebagian hadis ada yang menegaskan
demikian. Dan harus kita pahami demikian, agar bisa mengkompromikan semua
hadis. Dan itu lebih baik dari pada mengambil sebagian hadis dan meninggalkan
hadis yang lain. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 28/73).
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata
:
فَذَهَبَتْ الْهَادَوِيَّةُ وَأَبُو
حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ إلَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ لِلْمُسَافِرِ حَيْثُ
لَا مَشَقَّةَ عَلَيْهِ وَلَا ضَرَرَ فَإِنْ تَضَرَّرَ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ.
وَقَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَآخَرُونَ الْفِطْرُ أَفْضَلُ مُطْلَقًا
Menurut Al-Hadawiyah,
Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, bahwa berpuasa lebih utama bagi seorang musafir
jika tidak ada kesulitan maupun bahaya baginya, namun jika puasa tersebut akan
membahayakannya, maka berbuka lebih baik baginya. Sedangkan menurut Ahmad,
Ishak dan yang lainnya, bahwa bagaimanapun kondisinya, berbuka lebih utama.
[Subulussalam, 2/188].
Ibnu Rusyd dalam kitab
Bidayatul Mujtahid berkata :
فَإِنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ
عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ: فَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ الصَّوْمَ
أَفْضَلُ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ.وَبَعْضُهُمْ
رَأَى أَنَّ الْفِطْرَ أَفْضَلُ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ أَحْمَدُ
وَجَمَاعَةٌ. وَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ ذَلِكَ
عَلَى التَّخْيِيرِ، وَأَنَّهُ لَيْسَ أَحَدُهُمَا أَفْضَلَ
Dalam masalah ini,
para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat :
1.
Tetap berpuasa adalah lebih utama. Ini adalah pendapat
Malik dan Abu Hanifah.
2.
Berbuka lebih utama. Ini adalh pendapat Ahmad dan
segolongan ulama.
3.
Boleh memilih anatara berpuasa dan berbuka, tanpa ada yang
lebih utama. [Bidayatul Mujtahid, 1/666].
Musafir Yang
Dibolehkan Berbuka
Ibnu Rusyd dalam kitab
Bidayatul Mujtahid berkata :
فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهُ
إِنَّمَا يُفْطِرُ فِي السَّفَرِ الَّذِي تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ، وَذَلِكَ
عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِهِمْ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ.وَذَهَبَ
قَوْمٌ إِلَى أَنَّهُ يُفْطِرُ فِي كُلِّ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ السَّفَرِ
وَهُمْ أَهْلُ الظَّاهِرِ.
Menurut jumhur ulama,
bepergian yang diperbolehkan berbuka ukurannya adalah bepergian yang
diperbolehkan mengqashar shalat. Dalam hal ini juga lebih dari satu pendapat.
Menurut madzhab Zhahiri, bepergian apapun bentuknya diperbolehkan berbuka.
وَالسَّبَبُ فِي اخْتِلَافِهِمْ: مُعَارَضَةُ ظَاهِرِ اللَّفْظِ لِلْمَعْنَى، وَذَلِكَ
أَنَّ ظَاهِرَ اللَّفْظِ أَنَّ كُلَّ مَنْ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ مُسَافِرٍ
فَلَهُ أَنْ يُفْطِرَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى :فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (البقرة: 184 . ) وَأَمَّا الْمَعْنَى الْمَعْقُولُ مِنْ
إِجَازَةِ الْفِطْرِ فِي السَّفَرِ فَهُوَ الْمَشَقَّةُ، وَلَمَّا كَانَ
الصَّحَابَةُ كَأَنَّهُمْ مُجْمِعُونَ عَلَى الْحَدِّ فِي ذَلِكَ وَجَبَ أَنْ
يُقَاسَ ذَلِكَ عَلَى الْحَدِّ فِي تَقْصِيرِ الصَّلَاةِ.
Perbedaan tersebut
terjadi karena adanya pertentangan antara makna lafal dan makna yang dipahami.
Menurut makna lafal,
setiap orang yang bepergian boleh boleh berbuka berdasarkan firman Allah :
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Menurut makna logis,
bepergian yang diperbolehkan berbuka adalah bepergian yang berat, karena tidak
semua be[ergian itu berat. Lagi pula para sahabat cenderung membatasi kriteria
bepergian, dimana ukuran bepergian itu harus dianalogkan dengan batas bepergian
yang diperbolehkan mengqashar shalat. [Bidayatul
Mujtahid, 1/666].
Wallahu a’lam.