Selasa, 07 Oktober 2025

PUASA BAGI MUSAFIR

 

PUASA BAGI MUSAFIR

Oleh : Masnun Tholab

 

DALIL-DALIL

Firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

 

Dari Aisyah RA, dia berkata :

اَنَّ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو اَلْاَ سْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَاَصُوْمُ فِى السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيْرَ الصِّيَامِ فَقَالَ اِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَاِنْ شِئْتَ فَافْطِرْ

Sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Aslami berkata pada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.: “apakah aku boleh berpuasa dalam bepergian (ia adalah orang yang banyak berpuasa)? Beliau menjawab: barang siapa yang ingin berpuasa maka berpuasalah, dan siapa yang ingin berbuka, berbukalah”. (HR. Bukhari dan Muslim) 

 

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ  صلى الله عليه وسلم  وَابْنِ رَوَاحَةَ

 

Kami pernah keluar bersama Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi صلى الله عليه وسلم saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”( HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122).


Dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,

أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ. ثُمَّ رَكِبَ.

Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta  makanan, lantas beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini termasuk sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas beliau pun berangkat dengan kendaraannya.       ( HR. Tirmidzi no. 799. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ

Sesungguhnya Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”( HR. Muslim no. 1114)

 

PENJELASAN/PENDAPAT PARA ULAMA

Mana Yang Lebih Afdhol? Berbuka Atau Berpuasa?

An-Nawawi mengatakan,

قَال النَّوَوِيُّ وَالْكَمَال بْنُ الْهُمَامِإِنَّ الأَْحَادِيثَ الَّتِي تَدُل عَلَى أَفْضَلِيَّةِ الْفِطْرِ مَحْمُولَةٌ عَلَى مَنْ يَتَضَرَّرُ بِالصَّوْمِ، وَفِي بَعْضِهَا التَّصْرِيحُ بِذَلِكَ، وَلاَ بُدَّ مِنْ هَذَا التَّأْوِيل، لِيُجْمَعَ بَيْنَ الأَْحَادِيثِ، وَذَلِكَ أَوْلَى مِنْ إِهْمَال بَعْضِهَا،

An-Nawawi dan Al-Kamal Ibnu Humam mengatakan : Hadis-hadis yang menunjukkan anjuran untuk tidak puasa, dipahami bahwa itu berlaku bagi orang yang merasa berat ketika berpuasa. Di sebagian hadis ada yang menegaskan demikian. Dan harus kita pahami demikian, agar bisa mengkompromikan semua hadis. Dan itu lebih baik dari pada mengambil sebagian hadis dan meninggalkan hadis yang lain. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 28/73).


Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :

فَذَهَبَتْ الْهَادَوِيَّةُ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ إلَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ لِلْمُسَافِرِ حَيْثُ لَا مَشَقَّةَ عَلَيْهِ وَلَا ضَرَرَ فَإِنْ تَضَرَّرَ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ. وَقَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَآخَرُونَ الْفِطْرُ أَفْضَلُ مُطْلَقًا

Menurut Al-Hadawiyah, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i, bahwa berpuasa lebih utama bagi seorang musafir jika tidak ada kesulitan maupun bahaya baginya, namun jika puasa tersebut akan membahayakannya, maka berbuka lebih baik baginya. Sedangkan menurut Ahmad, Ishak dan yang lainnya, bahwa bagaimanapun kondisinya, berbuka lebih utama.

[Subulussalam, 2/188].

 

 

 

 

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :

فَإِنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ عَلَى ثَلَاثَةِ مَذَاهِبَ: فَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ الصَّوْمَ أَفْضَلُ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ.وَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ الْفِطْرَ أَفْضَلُ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ أَحْمَدُ وَجَمَاعَةٌ. وَبَعْضُهُمْ رَأَى أَنَّ ذَلِكَ عَلَى التَّخْيِيرِ، وَأَنَّهُ لَيْسَ أَحَدُهُمَا أَفْضَلَ

Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat :

1.     Tetap berpuasa adalah lebih utama. Ini adalah pendapat Malik dan Abu Hanifah.

2.    Berbuka lebih utama. Ini adalh pendapat Ahmad dan segolongan ulama.

3.    Boleh memilih anatara berpuasa dan berbuka, tanpa ada yang lebih utama. [Bidayatul Mujtahid, 1/666].

 

Musafir Yang Dibolehkan Berbuka

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :

فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهُ إِنَّمَا يُفْطِرُ فِي السَّفَرِ الَّذِي تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ، وَذَلِكَ عَلَى حَسَبِ اخْتِلَافِهِمْ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ.وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى أَنَّهُ يُفْطِرُ فِي كُلِّ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ السَّفَرِ وَهُمْ أَهْلُ الظَّاهِرِ.

Menurut jumhur ulama, bepergian yang diperbolehkan berbuka ukurannya adalah bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat. Dalam hal ini juga lebih dari satu pendapat. Menurut madzhab Zhahiri, bepergian apapun bentuknya diperbolehkan berbuka.

 

وَالسَّبَبُ فِي اخْتِلَافِهِمْمُعَارَضَةُ ظَاهِرِ اللَّفْظِ لِلْمَعْنَى، وَذَلِكَ أَنَّ ظَاهِرَ اللَّفْظِ أَنَّ كُلَّ مَنْ يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اسْمُ مُسَافِرٍ فَلَهُ أَنْ يُفْطِرَ لِقَوْلِهِ  تَعَالَى :فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (البقرة: 184 . )  وَأَمَّا الْمَعْنَى الْمَعْقُولُ مِنْ إِجَازَةِ الْفِطْرِ فِي السَّفَرِ فَهُوَ الْمَشَقَّةُ، وَلَمَّا كَانَ الصَّحَابَةُ كَأَنَّهُمْ مُجْمِعُونَ عَلَى الْحَدِّ فِي ذَلِكَ وَجَبَ أَنْ يُقَاسَ ذَلِكَ عَلَى الْحَدِّ فِي تَقْصِيرِ الصَّلَاةِ.

Perbedaan tersebut terjadi karena adanya pertentangan antara makna lafal dan makna yang dipahami.

Menurut makna lafal, setiap orang yang bepergian boleh boleh berbuka berdasarkan firman Allah :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)

Menurut makna logis, bepergian yang diperbolehkan berbuka adalah bepergian yang berat, karena tidak semua be[ergian itu berat. Lagi pula para sahabat cenderung membatasi kriteria bepergian, dimana ukuran bepergian itu harus dianalogkan dengan batas bepergian yang diperbolehkan mengqashar shalat. [Bidayatul Mujtahid, 1/666].

Wallahu a’lam.


PUASA BAGI MUSAFIR

  PUASA BAGI MUSAFIR Oleh : Masnun Tholab   DALIL-DALIL Firman Allah  Ta’ala , وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ م...