MENGHAJIKAN ORANG LAIN
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
إنَّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ
مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Sayyid Sabiq mengatakan,
“Barangsiapa yang telah memiliki kesanggupan untuk pergi haji kemudian berbalik
lemah karena sakit atau usia lanjut, wajiblah ia mencari pengganti yang akan
mengerjakan haji atas namanya, karena ia tidak mungkin lagi melakukannya
sendiri karena kelemahannya, hingga tak ubahnya seperti orang yang meninggal
dunia dan digantikan oleh orang lain” [Fiqih Sunnah 1/314]
Hadits-hadits dan Pendapat Ulama Tentang
Menghajikan Orang Lain
Dari Ibnu Abbas ra:
إنَّ امْرَأَةً مِنْ خَتْعَمٍ
قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبِى أَدْرَكَتْهُ فَرِيْضَةُ اللهِ فِى
الْحَجِّ شَيْخًا كَبِيْرًا لاَيَسْتَطِيْعُ أَنْ يٍَْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ
بَعِيْرِهِ قَالَ فَحُجِّى عَنْهُ
"Seorang
perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah: "Wahai
Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu
lagi duduk di atas kendaraan?". Jawab Rasulullah: "Kalau begitu lakukanlah haji
untuk dia!" (HR. Tirmidzi 928; Ahmad 1818. Abu Isa berkata : Hadits
hasan shahih)
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
إِنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ
جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ
أَنْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ حُجِّى عَنْهَا
أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَّةً ؟ أُقْضُوا اللهَ
فَاللهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
"
Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Nabi sallallahu alaihi wa
sallam, ia bertanya: "Wahai Nabi, Ibuku pernah bernadzar
ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan
ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab: Ya,
hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya
bukan? Bayarlah hutang Allah,
karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (HR. Al Bukahri 1852;
Baihaqi 12978; dan An Nasa’i)
Imam Ash-Shan’ani dalam
kitab Subulussalam berkata :
الْحَدِيثُ
دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ النَّاذِرَ بِالْحَجِّ إذَا مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ أَجْزَأَهُ
أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ وَلَدُهُ وَقَرِيبُهُ ، وَيُجْزِئُهُ عَنْهُ وَدَلَّ عَلَى
وُجُوبِ التَّحْجِيجِ عَنْ الْمَيِّتِ سَوَاءٌ أَوْصَى أَمْ لَمْ يُوصِ ؛ لِأَنَّ
الدَّيْنَ يَجِبُ قَضَاؤُهُ مُطْلَقًا وَكَذَا سَائِرُ الْحُقُوقِ الْمَالِيَّةِ
مِنْ كَفَّارَةٍ وَنَحْوِهَا .وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَزَيْدُ بْنُ
ثَابِتٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ وَالشَّافِعِيُّ .
Hadits ini merupakan dalil
yang menjelaskan bahwa apabila seseorang bernadzar untuk menunaikan ibadah haji
namun ia belum menunaikannya, maka diperbolehkan bagi anaknya untuk mewakilinya
menunaikan ibadah haji.
Hadits ini juga
menjelaskan wajibnya menunaikan haji atas nama orang yang telah meninggal, baik
orang tersebut telah berwasiat atau tidak, karena bagaimanapun hutang harus
dibayar, begitu juga dengan semua jenis tanggungan keuangan seperti kafarat
atau sejenisnya. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan
Asy-Syafi’i. [Subulussalam 2/203]
Sayyid Sabiq dalam kitab
Fiqhus-sunnah berkata :
وفي الحديث دليل على وجوب الحج عن
الميت ، سواء أوصى أم لم يوص ، لان الدين يجب قضاؤه مطلقا ، وكذا سائر الحقوق
المالية من كفارة ، أو زكاة ، أو نذر . وإلى هذا ذهب ابن عباس ، وزيد بن ثابت ،
وأبو هريرة ، والشافعي
Hadits ini menunjukkan
bahwa menggantikan orang yang telah meninggal, hukumnya wajib, baik diwasiatkan
atau tidak. Karena utang itu harus dibayar secara mutlak, begitu pula
kewajiban-kewajiban lain mengenai harta, seperti kafarat, zakat dan nazar.
Pendapat diatas menjadi
madzhab Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan Syafi’i
[Fiqih Sunnah 2/314]
Asy-Syaukani dalam kitab
Nailul Authar :
وَأَحَادِيثُ
الْبَابِ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ الْحَجُّ مِنْ الْوَلَدِ عَنْ وَالِدِهِ
إذَا كَانَ غَيْرَ قَادِرٍ عَلَى الْحَجِّ ، وَقَدْ ادَّعَى جَمَاعَةٌ مِنْ أَهْلِ
الْعِلْمِ أَنَّهُ خَاصٌّ بِالابنِ
قَوْلُهُ : « أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ »
. فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ حَجٌّ وَجَبَ عَلَى
وَلِيِّهِ أَنْ يُجَهِّزَ مَنْ يَحُجَّ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ كَمَا أَنَّ
عَلَيْهِ قَضَاءَ دُيُونِهِ .
Hadits-hadits tersebut
merupakan dalil dibolehkannya seorang anak melaksanakan haji untuk orang tuanya
jika ia tidak mampu melaksanakannya. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hal
itu adalah khusus untuk anak.
Sabda beliau (apakah
engkau akan melunasi hutangnya?) mengandung dalil bahwa orang yang meninggal
dunia dan ia wajib melaksanakan haji tetapi belum melaksanakannya, maka walinya
harus mempersiapkan pelaksanaan haji untuknya dengan mengambil bekal dari
hartanya sebagaimana jika ia mempunyai hutang. [Bustanul Ahbar Mukhtashar
Nailul Authar 2/443]
Dari Abdullah bin Buraidah
radhiallahu anhu, dia berkata,
بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ
فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ
فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا
رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟
قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ
عَنْهَا ؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا
Ketika kami duduk di sisi
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan
bertanya, ‘Sesungguhnya saya bersadakah budak untuk ibuku yang telah
meninggal.' Beliau bersabda, ‘Anda mendapatkan pahalanya dan dikembalikan
kepada anda warisannya.' Dia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau
mempunyai (tanggungngan) puasa sebulan, apakah saya puasakan untuknya?' Beliau
menjawab, ‘Puasakan untuknya.' Dia bertanya lagi, ‘Sesungguhnya beliau belum
pernah haji sama sekali, apakah (boleh) saya hajikan untuknya? Beliau menjawab,
‘Hajikan untuknya.’ (HR. Muslim, 1149)
An-Nawawi rahimahullah
berkata,
فِيهِ دَلَالَة ظَاهِرَة لِمَذْهَبِ
الشَّافِعِيّ وَالْجُمْهُور ، أَنَّ النِّيَابَةَ فِي الْحَجّ جَائِزَة عَنْ
الْمَيِّت وَالْعَاجِز الْمَأْيُوس مِنْ بُرْئِهِ
"Hadits ini menjadi
dalil bagi madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama bahwa mengghajikan orang lain
itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit)
yang tidak ada harapan sembuh. [Syarh
An-Nawawi Ala Muslim, 8/27]
Al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah berkata,
وَاتَّفَقَ مَنْ أَجَازَ النِّيَابَة
فِي الْحَجّ عَلَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئ فِي الْفَرْض إِلَّا عَنْ مَوْت أَوْ
عَضْب ، فَلَا يَدْخُل الْمَرِيض لِأَنَّهُ يُرْجَى بُرْؤُهُ وَلَا الْمَجْنُون
لِأَنَّهُ تُرْجَى إِفَاقَته وَلَا الْمَحْبُوس لِأَنَّهُ يُرْجَى خَلَاصه وَلَا
الْفَقِير لِأَنَّهُ يُمْكِن اِسْتِغْنَاؤُهُ ، وَاللَّه أَعْلَم
"Orang yang
membolehkan menghajikan orang lain bersepakat, tidak diterima haji wajib
kecuali untuk orang meninggal dunia atau lumpuh. Maka orang sakit tidak
termasuk yang dibolehkan, karena ada harapan sembuh. Tidak juga orang gila,
karena ada harapan normal. Tidak juga orang yang dipenjara, karena ada harapan
bebas. Tidak juga orang fakir karena ungkin dia menjadi kaya. Wallahu a’lam"
[Fathul Bari, 4/70]
Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata,
لا يجوز أن يستنيب في الحج الواجب من
يقدر على الحج بنفسه إجماعا قال ابن المنذر : أجمع أهل العلم على أن من عليه حجة
الإسلام وهو قادر على أن يحج لا يجزئ عنه أن يحج غيره عنه
"Tidak dibolehkan
melakukan haji wajib untuk menggantikan orang yang mampu melaksanakan haji
sendiri berdasarkan ijma."
Ibnu Munzir berkata,
"Para ulama sepakat (ijmak) bahwa orang yang wajib melaksanakan haji
fardhu sementara dia mampu untuk melaksanakan haji, tidak sah kalau dihajikan
oleh orang lain."
[Al-Mughni, 3/185]
Dari
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliu berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ
رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ « مَنْ شُبْرُمَةَ ». قَالَ
أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ «
حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ».
"Bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki berkata:
"Labbaika 'an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanMu atas nama
Syubrumah", Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Siapa
Syubrumah?", laki-laki itu menjawab: "Saudaraku atau kerabatku",
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sudah berhajikah kamu?",
laki-laki menjawab: "Belum", Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Berhajilah atas dirimu kemudian hajikan atas Syubrumah". (HR. Abu Daud 1811; Ibnu
Majah 2903; Daruquthni 270)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Saudi Arabia :
لا يجوز للإنسان أن يحج عن غيره قبل
حجه عن نفسه، والأصل في ذلك ما رواه ابن عباس رضي الله عنهما « أن النبي صلى الله
عليه وسلم سمع رجلًا يقول: لبيك عن شبرمة، قال: "حججت عن نفسك؟" قال:
لا، قال: "حج عن نفسك، ثم عن شبرمة
"Seseorang tidak
dibolehkan menghajikan orang lain sebelum dirinya melakukan haji."
Landasan dari hal tersebut
adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, sesungguhnya
Nabi sallallahu alaihi wa sallam mendengar seseorang mengatakan, "Labbaik
an Subrumah (Saya penuhi panggilan-Mu, melakukan haji untuk Subrumah)"
Beliau bertanya, "Apakah anda telah menunaikan haji?" Dia menjawab,
"Belum." Beliau bersabda, "Lakukan haji untuk dirimu dahulu,
kemudian untuk Subrumah." (HR. Abu Daud 1811; Ibnu Majah 2903; Daruquthni
270)
[Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah,no. 2200]
Imam Nawawi berkata: Imam Asy-Syirazi berkata :
وان
أحرم بحجتين أو عمرتين لم ينعقد الاحرام بهما
"Jika Seseorang haji dengan
2 niat ihram (Untuk dua Badal atau lebih) maka hukumnya tidak sah"
(al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, 7/231)
Kesimpulan
Mayoritas Ulama berpendapat :
1. Seseorang
boleh menghajikan orang lain karena usia lanjut dan sakit yang tidak ada
harapan sembuh.
2. Orang
yang menghajikan orang lain harus terlebih dahulu melaksanakan ibadah haji
untuk dirinya.
3. Seseorang
tidak boleh menghajikan orang lain karena sakit yang ada harapan sembuh.
4. Seseorang
tidak boleh menghajikan orang lain karena miskin yang ada harapan untuk kaya
(mampu).
5. Seseorang
tidak boleh menghajikan orang lain yang mampu mengerjakan sendiri, baik secara
fisik maupun ekonomi.
6. Tidak
sah menghajikan dua orang atau lebih.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar