Senin, 29 Juni 2015

IKHLAS DALAM BERAMAL

IKHLAS DALAM BERAMAL
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com
إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Pengertian Ikhlas
Ikhlas merupakan ruh dari setiap amalan, karena niat ikhlas ini yang akan menentukan diterima atau tidaknya suatu amal ibadah kita dihadapan Allah Subhanahu wata’ala. Maksudnya, Salah satu syarat diterimanya amal adalah amal tersebut dilakukan ikhlas semata-semata mengharap ridho Allah Subhanahu wata’ala.
Fadho’il bin Iyadh berkata,
إنَّ العملَ إذا كان خالصاً ، ولم يكن صواباً ، لم يقبل ، وإذا كان صواباً ، ولم يكن خالصاً ، لم يقبل حتّى يكونَ خالصاً صواباً ، قال : والخالصُ إذا كان لله - عز وجل - ، والصَّوابُ إذا كان على السُّنَّة .
“Sesungguhnya suatu perbuatan apabila dilaksanakan dengan ikhlas tapi tidak benar maka tidak diterima, apabila benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai menjadi ikhlas dan benar. Dia berkata, yang ikhlas adalah apabila karena Allah ta’ala, yang benar adalah apabila sesuai sunnah”. (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Abu Muhammad Sahl bin Abdullah At-Tastari berkata,
نَظَرَ الْأَكْيَاسُ فِي تَفْسِيرِ الْإِخْلَاصِ فَلَمْ يَجِدُوا غَيْرَ هَذَا أَنْ تَكُونَ حَرَكَاتُهُ وَسُكُونُهُ فِي سِرِّهِ وعلانيته لله تعالى وحده لا يمازجه شئ لَا نَفْسٌ وَلَا هَوًى وَلَا دُنْيَا:
“Orang-orang bijak telah menganalisa tafsiran ikhlas. Ternyata mereka tidak menemukan hal lain, yaitu bahwa gerak-gerik dan diamnya dalam batin maupun dzahirnya hanya karena Allah semata, tidak boleh dicampuri apapun, baik nafsu,keinginan maupun dunia”
[Dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 1/55]
Dari dua pendapat ulama di atas dapat disimpulkan bahwa ikhlas itu adalah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam rangka memenuhi perintah Allah dan rasulNya, dan dalam rangka mencari ridho Allah Subhanahu wata’ala.
Dalil-Dalil Tentang Pentingnya Ikhlas Dalam Beramal
Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Al-Bayinah ayat 5 :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi berkata :
وَفِي هَذَا دَلِيل عَلَى وُجُوب النِّيَّة فِي الْعِبَادَات فَإِنَّ الْإِخْلَاص مِنْ عَمَل الْقَلْب وَهُوَ الَّذِي يُرَاد بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى لَا غَيْره
Pada ayat ini terdapat dalil kewajiban untuk berniat dalam melaksanakan suatu ibadah, karena keikhlasan itu hanya ada di dalam hati, yaitu yang dilaksanakan dengan maksud hanya untuk mencari keridhaan Allah, bukan karena maksud lainnya. (Tafsir Al-Qurthubi 20/616).
Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 110 :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya” (QS. Al-Kahfi/18:110)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan,
وَهَذَانِ رُكْنَا الْعَمَل الْمُتَقَبَّل لَا بُدّ أَنْ يَكُون خَالِصًا لِلَّهِ صَوَابًا عَلَى شَرِيعَة رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dua hal ini merupakan rukun diterimanya amalan, yaitu amalan itu harus murni untuk Allâh, benar sesuai syari’at Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[Tafsir surat al-Kahfi]
Diriwayatkan dari Amir al-Mukminin (pemimpin kaum beriman) Abu Hafsh Umar bin al-Khattab radhiyallahu’anhu beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari [Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah dalam kitab Jami’ul ulum wal Ahkam mengatakan :
وبه صدَّر البخاريُّ كتابَه " الصَّحيح " ، وأقامه مقامَ الخُطبةِ له ، إشارةً منه إلى أنَّ كلَّ عملٍ لا يُرادُ به وجهُ الله فهو باطلٌ ، لا ثمرةَ له في الدُّنيا ولا في الآخرة
“Bukhari mengawali kitab Sahihnya [Sahih Bukhari] dengan hadits ini dan dia menempatkannya laiknya sebuah khutbah [pembuka] untuk kitab itu. Dengan hal itu seolah-olah dia ingin menyatakan bahwa segala amal yang dilakukan tidak ikhlas karena ingin mencari wajah Allah maka amal itu akan sia-sia, tidak ada hasilnya baik di dunia maupun di akhirat.” (Jami’ al-’Ulum, hal. 13)
Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan
وَاسْتُدِلَّ بِهَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز الْإِقْدَام عَلَى الْعَمَل قَبْل مَعْرِفَة الْحُكْم ؛ لِأَنَّ فِيهِ أَنَّ الْعَمَل يَكُون مُنْتَفِيًا إِذَا خَلَا عَنْ النِّيَّة ، وَلَا يَصِحّ نِيَّة فِعْل الشَّيْء إِلَّا بَعْد مَعْرِفَة الْحُكْم
Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan tidak bolehnya melakukan suatu amalan sebelum mengetahui hukumnya. Sebab di dalamnya ditegaskan bahwa amalan tidak akan dinilai jika tidak disertai niat [yang benar]. Sementara niat [yang benar] untuk melakukan sesuatu tidak akan benar kecuali setelah mengetahui hukumnya (Fath al-Bari [1/22]).
Ibnu as-Sam’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut memberikan faedah bahwa amal-amal non ibadat tidak akan bisa membuahkan pahala kecuali apabila pelakunya meniatkan hal itu dalam rangka mendekatkan diri [kepada Allah]. Seperti contohnya; makan -bisa mendatangkan pahala- apabila diniatkan untuk memperkuat tubuh dalam melaksanakan ketaatan.” (Sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari [1/17]. Lihat penjelasan serupa dalam al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyah, hal. 129, ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 39-40)
Ciri-ciri Perbuatan Ikhlas
Dzu An-Nun berkata’
ثَلَاثَةٌ مِنْ عَلَامَاتِ الْإِخْلَاصِ اسْتِوَاءُ الْمَدْحِ وَالذَّمِّ مِنْ الْعَامَّةِ وَنِسْيَانُ رُؤْيَةِ الْأَعْمَالِ فِي الْأَعْمَالِ وَاقْتِضَاءُ ثَوَابِ الْعَمَلِ فِي الْآخِرَةِ
“Ada tiga perkara yang menjadi tanda-tanda keikhlasan, yaitu : pujian dan cacian dari kaum awam sama, lupa melihat amal dalam beramal, dan mengharap pahala amal di akhirat”
[Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 1/55-57]
Pendapat Para Ulama Tentang Pentingnya Ikhlas Dalam Beramal
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab mengutip perkataan-perkataan para ulama lainnya, sebagai berikut :
As-Sarri berkata,
لَا تَعْمَلْ لِلنَّاسِ شَيْئًا وَلَا تَتْرُكْ لَهُمْ شَيْئًا وَلَا تُعْطِ لَهُمْ وَلَا تَكْشِفْ لَهُمْ شَيْئًا
“Jangan pernah engkau beramal karena manusia, jangan pernah engkau tinggalkan sesuatu karena mereka, jangan pernah engkau berikan sesuatu karena mereka, dan jangan pernah engkau bukakan sesuatu karena mereka”
Ibnu al-Mubarak rahimahullah mengatakan,
رُبَّ عملٍ صغيرٍ تعظِّمهُ النيَّةُ ، وربَّ عمل كبيرٍ تُصَغِّره النيَّةُ
“Betapa banyak amal kecil menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak pula amal besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19)
Ibnu Qoyyim irahimahullah berkata,
العمل بغير اخلاص ولا اِقْتِدَاء كالمسافر يَمْلَاءُ جَرَّابَهُ رَمَلًا يُثْقِلُهُ ولا يُنْفِعُهُ
”Beramal tanpa keikhlasan dan ittiba’ (meneladani Nabi), ibarat musafir yang mengisi kantongnya dengan pepasiran. Hanya memberatkannya dan tidak bermanfaat baginya.” (al-Fawa’id, Ibnul Qoyyim (691-751 H), hal. 55).
Pendapat Para Ulama Tentang Beratnya Ikhlas Dalam Beramal
Para Ulama mengakui bahwa masalah ikhlas dalam beramal adalah merupakan masalah yang sangat berat dan sangat sulit menjaganya.
Ats-Tsauri, ia berkata,
مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي إنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَلَيَّ
“Aku tidak pernah mengatasi sesuatupun yang lebih sulit bagiku selain niat, karena ia terus berubah-ubah dalam diriku” [Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 1/57]
Yusuf bin Husain ar-Rozi rahimahullah berkata,
أعزّ شيءٍ في الدُّنيا الإخلاصُ ، وكم اجتهد في إسقاطِ الرِّياءِ عَنْ قلبي ، وكأنَّه ينبُتُ فيه على لون آخر
“Perkara yang paling mulia di dunia adalah ikhlas, berapa kali aku bersungguh-sungguh dalam menggugurkan riya’ dari hatiku, akan tetapi seakan-akanriya’ itu tumbuh kembali dengan warna yang berbeda. (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 2)
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah mengatakan,
صلاحُ القلب بصلاحِ العملِ ، وصلاحُ العملِ بصلاحِ النيَّةِ
“Baiknya hati dengan baiknya amalan, sedangkan baiknya amalan dengan baiknya niat.” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19).
Do’a Agar Ikhlas Dalam Beramal
Menyadari betapa beratnya menjaga keikhlasan tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdo’a dengan do’a sebagai berikut :
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzi no.3522, imam Ahmad IV/302, Al-Hakim I/525).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga sering berdo’a dengan do’a sebagai berikut :
اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Ya Allah, Dzat yang mengarahkan hati, arahkanlah hati-hati kami untuk selalu taat kepada-Mu.” (HR. Muslim no. 265, Ahmad no. 6569)
Umar bin Khattab, sering berdo’a dengan dengan do’a sebagai berikut :
اللهم اجعل عملي كلها صالحا، واجعله لوجهك خالصا، و لا تجعل لأحد فيه شيئا
“Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal yang shalih, Ikhlas karena mengharap Wajah-Mu, dan janganlah jadikan di dalam amalku bagian untuk siapapun.” (Kanzul ‘Amal)
Kesimpulan
1. Salah satu syarat diterimanya Amal adalah Ikhlas karena Allah Subhanahu wata’ala.
2. Ikhlas hanya bisa terwujud jika dalam beramal mengikuti perintah Allah dan petunjuk Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...