Selasa, 31 Agustus 2010

ZAKAT FITRAH

ZAKAT FITRAH
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Hukum Zakat Fitrah
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa Zakat Fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan disebabkan berakhirnya puasa Ramadhan. Hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik kecil atau dewasa, laki-laki atau wanita, dan budak atau merdeka.
Dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu,
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah dari Ramadhan sebanyak satu sukat korma atau satu sukat tepung kepada hamba dan orang-orang merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat.” (Muttafaq Alaihi)
[lihat Bulughul Maram, hal. 259]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
Hadits ini merupakan dalil atas wajibnya zakat fitrah, karena beliau menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam “mewajibkan”. Ishaq berkata, “Zakat fitrah hukumnya wajib secara ijma’”
Namun ada pendapat lain dari Dawud dan beberapa pengikut madzhab Asy-Syafi’iyah bahwa zakat fitrah hukumnya sunnah.
[Subulussalam 2, hal. 61].

Syekh Muhammad Abid As-Sindi dalam kitab musnad Syafi’i berkata :
Kaidah atau patokan zakat fitrah menurut madzhab Syafi’i adalah “Setiap orang yang nafkah penghidupannya dijamin oleh seseorang, maka zakat fitrahnya dibebankan kepada orang yang menjaminnya”. Hal yang sama dikatakan pula oleh madzhab Imam Ahmad dan Imam Malik.
Menurut Madzhab Hanafi, zakat fitrah diwajibkan atas setiap orang yang nafkahnya dijamin oleh kita, dan kita mempunyai kekuasaan terhadapnya. Karena itu, anak tidak wajib menzakati orang tuanya, sekalipun si anak wajib menafkahinya, demikian pula terhadap istri.
[Musnad Syafi’i 1, hal. 592].

Hikmah zakat fitrah adalah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin.

Banyaknya Zakat Fitrah
Jumlah yang wajib dikeluarkan pada zakat fitrah adalah satu sha’ atau satu sukat gandum, beras Belanda, kurma, anggur, keju, beras biasa, atau yang lainnya yang dianggap sebagai bahan makanan pokok.
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Author berkata : Disebutkan di dalam kitab Al-Ikhtiyarat bahwa zakat fitrah boleh ditunaikan dengan jenis makanan pokok negerinya seperti beras dan sebagainya. Hal ini bisa dianggap sebagai kiasan terhadap jenis-jenis makanan tadi.
[Nailul Authar 2, hal. 335].

Abu Hanifah membolehkan zakat dengan memberikan uang yang sebanding. Ia juga berkata, “Apabila yang diberikan orang yang berzakat itu berupa gandum, maka cukup setengah sha”.
Abu Sa’id Al-Khudri berkata,
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih berada di tengah kami, kami mengeluarkan zakat fitrah itu untuk setiap anak kecil, orang dewasa, merdeka ataupun budak adalah satu sha’ makanan, satu sha’ keju,, satu sha’ beras Belanda, satu sha’ kurma, atau satu sha’ anggur.
Kami selalu mengeluarkan sebanyak itu hingga datang Mu’awiyah untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Maka ia memberikan amanat kepada oranng banyak dari atas mimbar, diantaranya bahwa menurut apa yang disaksikannya, dua mud gandum dari Syam itu sama dengan setengah sha’ kurma. Orang-orangpun memegang ucapannya itu”.
“Adapun sha’” , kata Abu Sa’id, “tetap akan mengeluarkan sebanyak semula, selama aku diberi usia,” (HR. Jama’ah).
Waktu Wajibnya
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa para fuqaha telah sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib pada akhir Ramadhan, hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai batas waktu wajib itu. Menurut Tsauri, Ahmad, Ishak, dan Syafi’i dalam Al-Jadid serta menurut satu riwayat dari Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbenamnya matahari pada malam lebaran, karena saat itulah waktu berbuka (selesainya) puasa Ramadhan. Akan tetapi menurut Abu Hanifah, Laits, Syafi’i dan menurut satu riwayat dari Malik, waktu wajibnya adalah ketika terbit fajar pada hari Lebaran.
Akibat pertikaian ini adalah menyangkut bayi yang lahir sebelum fajar hari lebaran dan yang sesudah terbenam matahari, apakah wajib dikeluarkan fitrah atau tidak. Menurut golongan pertama (yang mewajibkan fitrah setelah matahari terbenam), hukumnya tidak wajib karena ia dilahirkan setelah waktu diwajibkan, sedangkan menurut golongan kedua, hukumnya adalah wajib karena lahirnya sebelum waktu diwajibkan.

Membayar Zakat Fitrah di Awal Ramadhan
Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa menurut jumhur fuqaha, boleh memajukan pembayaran zakat fitrah sebelum hari raya sekitar satu atau dua hari.
Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu berkata, “Kami diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai zakat fitrah agar dibayarkan sebelum orang-orang keluar pergi shalat”.
Nafi’ berkata, “Biasanya, Ibnu Umar membayarnya satu atau dua hari di awal Ramadhan. Dan terjadi pertikaian bila seseorang membayar lebih maju daripada itu. Maka menurut Abu Hanifah, boleh dimajukan sampai sebelum bulan puasa. Syafi’I berkata bahwa boleh memajukannya hingga awal bulan. Dan menurut Malik, begitupun menurut yang lebih terkenal dari madzhab Ahmad, yaitu boleh dimajukan sekitar satu atau dua hari. (lihat Musnad Syafi’i 1, hal. 598].
Para Imam sependapat bahwa zakat fitrah tidaklah gugur dengan mengundurkannya dari waktu wajib, melainkan menjadi utang yang menjadi tanggung jawabnya hingga lunas dibayar walau hingga ahir usia. Mereka juga sepakat bahwa tidak boleh menagguhkannya lebih dari hari lebaran, kecuali Ibnu Sirin dan Nakha’i yang berpendapat boleh ditangguhkan dari hari lebaran. Ahmad berkata, “Harapanku bahwa itu tidak menjadi apa,”.
Ibnu Abbas Rhadiallaahu ‘anhu berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ; طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ, فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin Siapa yang membayarnya sebelum shalat, maka itu menjadi zakat, namun siapa yang membayarnya sesudah salat, maka itu menjadi sedekah diantara bermacam-macam jenis sedekah” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah , dan Hakim menyatakan shahih).
[Fiqih Sunnah 2, hal. 1-3]

Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
Sabda beliau ‘untuk memberi makan kepada orang-orang miskin’ menunjukkan bahwa zakat fitrah hanya dikhususkan untuk mereka saja, inilah pendapat orang dari Al-Aal. Sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa zakat fitrah seperti zakat yang lainnya, ia dibagikan kepada delapan golongan tersebut.
[Subulussalam 2, hal. 65].

Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa pihak yang berhak menerima zakat fitrah itu sama halnya dengan yang boleh menerima zakat, artinya fitrah itu hendaklah dibagikan kepada delapan golongan yang tersebut di dalam ayat,
ِإنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنَ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْ بُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ واللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah 9 : 60).
Berdasarkan ayat di atas, yang berhak menerima zakat fitrah adalah :
1. Fakir
2. Miskin
3. Amil (Panitia Zakat)
4. Muallaf (golongan yang baru masuk islam, atau orang islam yang lemah imannya).
5. Budak
6. Gharim (Orang yang berhutang)
7. Fi Sabilillah (Orang yang berjihad di medan perang).
8. Musafir (Orang yang melakukan perjalanan bukan untuk maksiat).

Fakir miskin merupakan golongan yang lebih utama menerimanya berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Rhadiallaahu ‘anhu, dia berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin”.
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah, sabda beliau, ‘Penuhilah kebutuhan mereka pada hari ini!’”
[Fiqih Sunnah 2, hal. 4]

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Seorang petugas zakat hendaklah memulai perhitungan zakatnya dengan mencatat orang-orang yang berhak menerima zakat kemudian mengelompokkan nereka berdasarkan kelompok masing-masing, kemudian setiap asnaf (golongan kelompok) dihitung berdasarkan jumlah kelompok tersebut. Lalu mulailah ia mencatat nama-nama orang fakir dan orang miskin, dimulai dari orang yang fakir.
Lalu setelah orang-orang fakir tersebut tercatat semua, barulah sisanya dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang miskin sampai orang-orang yang berada dalam batas terendah dari orang kaya (orang yang masih dianggap miskin).
Setelah itu dilanjutkan dengan nama-nama gharim (orang yang terlilit utang), bahkan jumlah utang masing-masing.
Kemudian dilanjutkan dengan mencatat nama-nama ibnu sabil (musafir), berikut jumlah harta (uang) yang diperlukan untuk biaya (transportasi) ke negeri yang dituju.
Kemudian nama-nama budak yang akan yang akan memerdekakan dirinya, berikut biaya yang diperlukan untuk membebaskan dirinya.
Kemudian nama-nama orang yang akan berangkat perang, (jihad fi sabilillah) berikut biaya yang diperlukan untuk membiayai perang tersebut.
Kemudian nama-nama muallaf dan nama-nama amil berikut bagian mereka masing-masing sesuai dengan pekerjaannya, dimana dengan pekerjaan tersebut orang-orang yang berhak menerima zakat bisa diketahui dengan wadah-wadah tertentu yang dikhususkan untuk masing-masing asnaf berikut jumlah yang terdapat dalam wadah tersebut.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 503-504].

Pengertian Fi Sabilillah
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Sabilillah adalah orang yang akan berangkat perang, (jihad fi sabilillah) berikut biaya yang diperlukan untuk membiayai perang tersebut.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 504].

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
Sabilillah yaitu orang yang mengerjakan jihad (perang) karena Allah (bukan karena gaji dan sebagainya), walaupun ia orang kaya. Orang tersebut berhak diberi biaya untuk pakaian dan keluarganya, ongkos pergi dan pulang, serta biaya peralatan perang.
[Fathul Mu’in 1, hal. 587].

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :
Menurut Malik dan Abu Hanifah, untuk peperangan membela agama Allah dan pertahanan.
Menurut ulama lain (Imam Ahmad) untuk orang-orang yang berhaji dan umroh,
Menurut Syafi’i untuk orang-orang yang bertempur membela agama Allah yang ada di dekat lokasi pengeluaran zakat.
Sayyid Sabiq berkata :
Fi Sabilillah ialah jalan orang yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, baik berupa ilmu maupun amal. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan itu ialah berperang dan bagian fi sabilillah itu diberikan kepada tentara sukarelawan yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Orang-orang inilah yang yang berhak menerima zakat, baik mereka yang miskin atau kaya.
[Fiqih Sunnah 1, hal. 573]

Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir mengutip hadits dari Sa’id Al-Khudri dimana Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيِّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٍ اَشْتَرَاهَا بِمَالِهِ, أَوْ غَارِمٍ, أَوْ غَازِ فِي سَبِيْلِ اللهِ, أَوْ مِسْكِيْنٍ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا فَأَهْدَى لِغَنِيٍّ
Zakat tidak dihalalkan bagi orang kaya, kecuali bila ia salah seorang dari lima ini, “Amil zakat, pembeli zakat dengan hartanya, piutang, mujahid di jalan Allah atau zakat yang didapatnya sebagai hadiah dari orang miskin. (HR. Abu Daud)
[Tafsir Ibnu Katsir 10, hal ]

Imam Al-Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi berkata :
Fi Sabilillah maksudnya adalah para prajurit Islam yang berperang di jalan Allah dan para penjaga tapal batas daerah Islam. Mereka diberikan segala yang dibutuhkan untuk berperang beserta peralatannya, tanpa memandang latar belakang mereka, orang kaya atau miskin, semuanya diberikan. Inilah pendapat mayoritas ulama. Ini juga pendapat yang dipegang oleh madzhab Maliki.
[Tafsir Al-Qurthubi 8, hal. 451].

Jalaludin As-Suyuti dan Jalaludin Al-Mahali dalam Tafsir Jalalain menjelaskan :
Sabilillah adalah orang-orang yang berjuang di jalan Allah, tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan.
[Tafsir Jalalain 1, hal. 744].

Imam Al-Ghazali dalam kitab Bulughul Maram berkata :
Fi Sabilillah orang yang berperang, yaitu orang-orang yang tidak tercatat dalam buku orang-orang yang diberi gaji. Mereka diberi bagian meskipun mereka orang-orang kaya, sebagai bantuan bagi orang yang berperang itu.
[Ihya Ulumiddin 2, hal. 51].

Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam kitab Fiqhuz Zakah, menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, termasukdi antaranya adalah:
Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam, Menerbitkan tulisan tentang Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya, biaya pendidikan sekolah Islam, biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan berjuang di jalan Allah melalui ilmunya.
(http://blogcahyo.blogspot.com)

Wallahu a’lam.

Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Sinar Baru, Bandung, 2003
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam Syafi’I, Jakarta, 2003.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2006.
-Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang, 1990.
*Ramadhan 1431 H.

Sabtu, 28 Agustus 2010

KEUTAMAAN MEMBACA AL-QURAN DALAM SHALAT

KEUTAMAAN MEMBACA AL-QURAN DALAM SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Tidak ada perbuatan membaca yang dihargai begitu tinggi oleh Allah Subhanahu wata’ala selain membaca Al-Quran. Allah Subhanahu wata’ala membayar para pembaca Al-Quran tidak tiap surat maupun tiap ayat, melainkan tiap huruf.
Dari Ibnu Mas'ud Radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ . رواه الترمذي
"Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah (Al Qur'an) maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu dilipatgandakan dengan sepuluh (pahala). Aku tidak mengatakan " الم "Alif Laam Mim adalah satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf" (HHR. Tirmidzi)

Membaca Al-Quran dalam Shalat
Keutamaannya
Dari Aisyah Rhadiallahu ‘anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فى الصَّلاَةِ اَفْضَلُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فىِ غَيْرِ الصَّلاَةِ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فى غَيْرِ الصَّلاَةِ اَفْضَلُ مِنْ التَّسْبِيْحِ وَالتَّكْبِيْرِ التَّسْبِيْحُ اَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ الصَّدَقَةُ اَفْضَلُ مِنَ الصَّوْمِ الصَّوْمُ مِنَ النَّارِ
Membaca Al-Quran di dalam shalat lebih utama dari pada di luar shalat, membaca al-Quran diluar shalat lebih utama daripada tasbih dan takbir, tasbih lebih utama daripada sedekah, sedekah lebih utama daripada puasa, dan puasa adalah penghalang dari api neraka,” (HR. Baihaqi)
Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandhalawi, dalam kitab fadha’il A’mal menjelaskan :
Kemuliaan membaca Al-Quran dibandingkan dzikrullah adalah jelas karena Al-Quran merupakan firman Allah. Telah disebutkan sebelum ini, bahwa kemuliaan kalamullah di atas segala perkataan, bagaikan kemuliaan Allah di atas semua makhluknya.
(Fadha’il A’mal, hal. 342).

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa membaca Al-quran yang paling utama adalah di waktu shalat.
[Al-Adzkar, hal. 186].

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin berkata :
Seutama-utama keadaan itu adalah ia membaca di dalam shalat dengan berdiri dan ia berada dalam masjid. Itu termasuk amal yang paling utama. Jika ia membaca tanpa wudhu’ sambil berbaring di hamparan (tempat tidur), maka itu utama juga, tetapi itu di bawahnya.
Allah Ta’ala berfirman :
اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi . (QS. Ali-Imran : 191)
Allah Azza wajalla memuji seluruhnya, tetapi ia mendahulukan berdiri dalam dzikir, kemudian dzikir dengan duduk, kemudian dzikir dengan berbaring.
Ali Radhiallahu 'anhu berkata :
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَهُوَ قَائِمٌ فىِ الصَّلاَةِ كَانَ لَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمَنْ قَرَأَ هُ وَهُوَ جَالِسٌ فىِ الصَّلاَةِ فلَهُ بِكُلِّ حَرْفٍ َمْسُوْنَ حَسَنَةٍ ‏.‏وَمَنْ قَرَأَهُ فىِ غَيْرِ الصَّلاَةِ وَهُوَ َلَى وُضُوْءٍ فَخَمْسُ وَعِشْرُوْنَ حَسَنَةٍ.‏ وَمَنْ قَرَأَهُ على غَيْرِ وُضُوْءٍ فَعَشَرَ حَسَنَاتٍ‏.‏
“Barangsiapa membaca Al-Quran sambil berdiri di dalam shalat, maka dengan setiap huruf ia mendapat seratus kebaikan. Barangsiapa membacanya sambil duduk di dalam shalat, maka dengan setiap hurufnya ia mendapat lima puluh kebaikan, barangsiapa membaca di luar shalat dalam keadaan wudhu’, maka ia mendapat dua puluh lima kebaikan dan barangsiapa membacanya dengan tidak berwudhu’, maka ia mendapat sepuluh kebaikan.
(Ihya Ulumiddin 2, ha. 261).

Membaca dengan Tartil
Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
QS. Al-Muzammil 73 : 4
ورتل القرآن ترتيلا
dan Bacalah Al Quran itu dengan tartil.

Imam Syafi’i ketika menafsirkan ayat di atas berkata : Hendaklah Al-Quran itu dibaca dengan perlan-lahan, sehingga bacaannya benar dan jelas. Semakin jelas bacaan dilantunkan semakin aku sukai, selama pemanjangan bacaan tidak berlebihan sehingga melanggar rambu bacaan. Bacaan semacam itu kusukai bila dibaca oleh seseorang dalam shalat atau diluar shalat. Bahkan di dalam shalat lebih aku tekankah daripada diluar shalat.
(Tafsir Imam Syafi’i 3, hal. 610).

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin mengutip perkataan Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu, dia berkata,
لَأَنْ أَقْرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلِ عِمْرَانَ أرْتِلَهُمَا وَأتَدَبَّرُهُمَا أحَبُّ إلي مِنْ أنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ هَذْرُمَةً‏.‏ لَأَنْ أَقْرَأَ إِذَا زُلْزِلَتِ وَالْقَارِعَةُ أتدبرهما أحَبُّ إلي مِنْ أنْ أَقْرَأَ الْبَقَرَةَ وَآلِ عِمْرَانَ تَهَذَيْراً‏.
“Sungguh saya membaca Al-Baqarah dan Ali-Imran dengan saya tartilkan dan saya renungkan adalah lebih saya sukai daripada saya membaca Al-Quran seluruhnya dengan hadzar (cepat). Sungguh saya membaca surat Idzazulzilat dan Al-Qariah, dengan saya renungkan adalah lebih saya sukai daripada saya membaca Al-Baqarah dan Ali-Imran dengan hadzar (cepat)”
[Ihya ‘Ulumiddin 2, hal. 266].

Bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau Radhiyallahu ta’ala ‘anha menjawab :
كَانَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :إِذَا قَرَأَةَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ قَطَعَهَا أٰيَةً أٰيَةً
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berhenti di setiap ayat . [Hadits Shahih Riwayat At-Tirmidzi]

Qatadah meriwayatkan, “Saya bertanya kepada Anas, ’Bagaimana cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca Al Quran ? Ia menjawab, ’Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memanjangkan mad (huruf yang panjang) jika membaca Bismillaahir-rahmaanir-rahiim. Beliau memanjangkan bacaan bizmilla, memanjangkan ar-rahmaan, dan memanjangkan ar-rahiim” . (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa`i)

Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha meriwayatkan, “Rusululuh Shallallahu ‘alaihi wasallam. memotong bacaan beliau (ayat per ayat). Beliau membaca ayat Alhamdulillahirabbil ’alamin, lalu berhenti. Kemudian Beliau membaca ayat Ar rahmani rahim, lalu berhenti lagi. Setelah itu, beliau membaca ayat Maliki yaumid – din” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Baihaqi, Hakim)
[Tafsir Al-Qurthubi 1, hal. 19]

Sumber Rujukan :
-Imam Nawawi, Al-Adzkar, Darl Ihya’ Indonesia, 2008.
-Syaikh Ahmad Musthafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, Almahira, Jakarta, 2007.
-Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang
-Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandhalawi, Fadha’il A’mal, Pustaka Ramadhan, Bandung, 2001.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Yakarta, 2007.

*Ramadhan 1431 H.

Rabu, 18 Agustus 2010

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Hal-hal yang membatalkan puasa dan hanya wajib qadha saja adalah sebagai berikut :
1. Makan dan minum dengan sengaja.
2. Muntah dengan sengaja.
Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
مَنْ ذَرْعَهُ الْقَيْءُ وَهُوَ صَاِئمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءً وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ
”Barangsiapa didesak muntah, ia tidak wajib mengqadha, tetapi siapa yang menyengaja muntah, hendaklah ia mengqadha” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim menyatakan kesahihannya).
Khaththabi berkata, ”Sepengetahuanku tidak ada perdebatan diantara para ulama bahwa orang yang terdesak muntah, tidak diwajibkan mengqadha, begitu juga tidak ada perdebatan bahwa orang yang menyengaja muntah, wajib mengqadha”
[lihat Bidayatul Mujtahid 1, hal. 654].

3. Haid dan Nifas.
4. Mengeluarkan mani atau sperma.
Baik disebabkan laki-laki mencium atau memeluk istrinya maupun dengan masturbasi. Hal itu membatalkan puasa dan wajib mengqadha. Tetapi seandainya semata-mata karena melihat dan mengangan-angankan, maka keadaannya tidak ubah seperti mimpi di siang hari waktu berpuasa., jadi tidaklah membatalkan puasa. Begitu juga halnya madzi, tidak mempengaruhi puasa, sedikit atau banyak.

5. Memasukkan bahan yang bukan makanan ke dalam perut melalui jalan biasa, seperti banyak makan garam. Menurut ulama, hal itu membatalkan puasa.

6. Meniatkan berbuka.
Siapa yang berniat berbuka padahal ia berpuasa, maka batallah puasanya walau ia tidak melakukan sesuatu yang membatalkan.

7. Makan, minum, atau bersenggama karena menduga bahwa matahari telah terbenam atau fajar belum menyingsing, kemudian ternyata bahwa dugaan itu salah, maka menurut jumhur ulama –termasuk didalamnya imam yang empat—ia wajib mengqadha. Sebaliknya Ishak, Abu Dawud, Ibnu Hazm, Atha’, Urwah, Hasan Basri, dan Mujahid berpendapat bahwa puasanya sah dan tidak perlu mengqadha. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
       •   
..... dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. ..... (QS. Al-Ahzaab 33 : 5).
Dan juga sabda Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam,
”Sesungguhnya Allah tidak membebani umatku mengenai hal-hal yang tersalah....” (HR. Ibnu Majah, Thabrani dan Hakim).

Yang membatalkan puasa dan wajib qadha dan kifarat :
8. Bersenggama
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: " وَمَا أَهْلَكَكَ ? " قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: " هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً? " قَالَ: لَا. قَالَ: " فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ? " قَالَ: لَا. قَالَ: " فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا? " قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: " تَصَدَّقْ بِهَذَا ", فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا? فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: "اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ "
Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku telah celaka. Beliau bertanya: "Apa yang mencelakakanmu?" Ia menjawab: Aku telah mencampuri istriku pada saat bulan Ramadhan. Beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak?" ia menjawab: Tidak. Beliau bertanya: "Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: Tidak. Lalu ia duduk, kemudian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberinya sekeranjang kurma seraya bersabda: "Bersedekahlan denan ini." Ia berkata: "Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang lebih memerlukannya daripada kami. Maka tertawalah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sampai terlihat gigi siungnya, kemudian bersabda: "Pergilah dan berilah makan keluargamu dengan kurma itu." Riwayat Imam Tujuh dan lafadznya menurut riwayat Muslim.

Imam Nawawi berkata, “Yang diwajibkan membayar kifarat adalah suami, sedangkan wanita tidak perlu mengeluarkan apapun dan tidak dibebani kewajiban, karena kifarat itu merupakan kewajiban mengenai harta yang khusus disebabkan senggama, maka ia dibebankan kepada pihak laki-laki semata, tidak wanita, seperti halnya mahar.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Ahmad dan Ibnu Qudamah, pengarang kitab Al-Mughni.
[Fiqih Sunnah 2, hal. 77; lihat Bulughul Maram, hal. ]

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menambahkan :
9. Kalau lalat masuk ke dalam perut orang, maka puasanya batal secara mutlak dengan mengeluarkannya (menimbulkan mudarat atau tidak), dan kalau sekira mudarat, ia boleh membiarkannya (di dalam( serta wajib qadha, sebagaimana fatwa Syaikhuna.
10. Batal puasa karena masuknya sesuatu zat walaupun sedikit pada anggota yang disebut lubang, yaitu lubang orang yang tersebut tadi (yaitu orang yang mengerti hukumnya dan disengaja), seperti ke dalam lubang telinga, saluran air kencing dan air susu, walau tidak melewati ujung kemaluan laki-laki atau putting susu.

11. Masuknya jari tangan yang beristinja’ ke dalam angggota yang tampak dari farji wanita ketika duduk di atas kedua telapak kakinya, membatalkan puasa.

12. Masuknya sebagian jari ke dalam lubang atau tempat keluarnya kotoran membatalkan puasa.
[Fathul Mu’in 1, hal. 625-626]

Hal-hal Yang Dianggap Membatalkan Puasa
1. Berbekam (Hijamah)
Dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
“Batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
Dari Ibnu Abbas,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
Bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berbekam ketika beliau sedang ihram dan puasa,” (HR. Ahmad dan Al-Bukhari).
Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :
Berdasarkan penggabungan hadits-hadits tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa berbekam itu hukumnya makruh bagi yang lemah bila berbekam.

2. Muntah dan Bercelak
Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
”Barangsiapa didesak muntah, ia tidak wajib mengqadha, tetapi siapa yang menyengaja muntah, hendaklah ia mengqadha” (HR. Ahmad, Abu Dawud,).
Dari Abdurrahman bin An-Nu’man bin Ma’bad bin Haudzah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau memerintahkan agar mengoleskan celak ketika akan tidur dan bersabda, “Hendaklah dihindari oleh orang yang berpuasa,” (HR. Abu Daud dan Al-Bukhari).
Imam Asy-Syaukani berkata :
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bercelak tidak membatalkan puasa. Mereka berdalil dengan hadits yang dikeluarkan oleh Ibn Majah yang bersumber dari Aisyah : “Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bercelak pada bulan Ramadhan padahal beliau sedang berpuasa”

3. Makan atau Minum karena Lupa
Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Nabi Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang lupa bahwa ia sedang berpuasa lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan (melanjutkan) puasanya, karena sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum” (HR. Jama’ah, kecuali An-Nasa’i).
Imam Asy-Syaukani berkata :
Jumhur ulama berpendapat seperti demikian, mereka pun mengatakan, “Barangsiapa yang makan karena lupa, maka tidak memrusak puasanya. Tidak ada qadha maupun kaffarah (tebusan) atasnya”

4. Berkumur dan Mandi karena Cuaca Panas
Dari Umar, ia berkata, “Suatu hari aku Sangay bergairah, lalu aku mengecup padahal aku sedang berpuasa. Kemudian aku menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam lalu kukatakan, ‘Aku telah melakukan perkara besar hari ini. Aku mengecup padahal aku sedang berpuasa,’ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Bagaimana menurutmu bila engkau berkumur dengan air sementara engkau sedang berpuasa?’ Aku jawab, ‘Itu tidak apa-apa’. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Begitu juga pada mulut’” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dari Abu Bakar bin Abdurrahman, dari seorang sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menuangkan air ke atas kepalanya akibat suhu yang panas, sementara beliau sedang berpuasa” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Imam Asy-Syaukani berkata :
Sabda beliau Bagaimana menurutmu bila engkau berkumur…ini menunjukkan bahwa berkumur tidak mengurangi nilai puasa, walaupun tampaknya berkumur itu merupakan permulaan minum dan pendahuluannya. Demikian juga mencium, tidak mengurangi nilai puasa, walaupun mengecup merupakan pendorong dan pendahuluan bersetubuh.

5. Mencium Istri Bagi Yang Bisa Menahan Diri.
Dari Asilla dan Ummu Salamah,
أن النبي عليه الصلاة والسلام كان يُقَبِّلُ وهو صَائِمٌ
“Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mencium pada saat beliau berpuasa,” (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang hukum bercumbu bagi orang yang sedang berpuasa. Maka beliau memberikan keringanan baginya. Lalu datang lagi orang lain (menanyakan hal yang sama), Namur beliau melarangnya. Ternyata, orang yang beliau beri keringanan itu hádala orang yang sudah tua, sedang yang beliau larang itu hádala orang yang maíz muda. (HR. Abu Daud).
Disebutkan di dalam kitab Al-Ikhtiyarat : Tidaklah batal bila keluar madzi karena mengecup, menyentuh atau berulang-ulang memandang istri. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan sebagian sahabat kami. Begitu juga mencicipi makanan dan melepekkannya lagi, atau mengoleskan madu di dalam mulut dan melepekkannya lagi, maka hal ini tidak apa-apa, seperti halnya berkumur dan istinsyaq (membersihkan hidung dengan cara menghirup air lalu mengeluarkannya lagi).
[Nailul Authar 2, hal. 356].
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :
Kami katakan bahwa chuman itu tidak membatalkan puasa, sebab seandainya membatalkan puasa tentu Rasulullah tidak akan melakukannya.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 539].

Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan :
Kalau laki-laki menggumul wanita atau menciumnya tanpa menyentuh badan, bahkan antara mereka memakai penghalang, lalu keluar air mani, tidak batal puasanya, sebab tidak bersentuh kulit, seperti halnya bermimpi dan keluar mani karena melihat atau menghayal.
[Fathul Mu’in 1, hal. 623]

6. Junub Pada Pagi Hari
Dari Asilla dan Ummu Salamah, “Bahwasanya ketika pagi hari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah dalam kondisi junub karena jima’ (bersetubuh) bukan bermimpi kemudian beliau tetap berpuasa ramadhan” (Mutafaq ‘Alih).
Imam Asy-Syaukani berkata :
Hadits-hadits tersebut merupakan dalil bagi ulama yang berpendapat bahwa puasa orang yang ketika pagi hari dalam kondisi junub tetap sah dan tidak wajib mengqadha, baik junubnya karena jima’ atau lainnya. Ini hádala pendapat jumhur ulama. Mengenai hal ini, Imam An-Nawawi memastikan telah terjadi ijma’ atasnya.

7. Menelan Ludah.
Tidak batal puasa karena menelan ludah yang murni yang ia telan dari tempatnya (sumbernya), --yaitu sekeliling mulut—walaupun sesudah ditampungnya.

8. Makanan di sela-sela Gigi.
Apabila terdapat makanan disela-sela gigi, lalu ludah tertelan beserta sisa makanan ke perutnya dengan sendirinya, tanpa sengaja, hal itu tidak membatalkan puasa.

9. Kemasukan Air Ketika Mandi.
Jika seorang membasuh kedua telinganya ketika mandi janabat lalu airnya masuk ke dalam salah satu telinganya tidak batal puasanya walalupun ia dapat memiringkan kepalanya (agar tidak kemasukan air). Berbeda halnya dengan apabila orang mandi sambil menyelam, lalu air masuk ke dalam kuping atau hidung, maka sesungguhnya hal itu membatalkan puasa, walaupun dalam mandi wajib, sebab menyelam itu hukumnya makruh.
Dikecualikan bagi selain mandi janabat, yaitu mandi sunat dan mandi untuk mendinginkan badan, maka batal puasanya karena masuknya air waktu mandi semacam itu, walaupun tidak menyelam.
[Fathul Mu’in 1, hal. 629-634].

10. Bersiwak.
Imam Syafi’i berkata : Saya berpendapat bahwa siwak itu hukumnya tidak makruh, baik dengan menggunakan kayu yang basah atau kayu yang kering.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 543].

11. Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)

12. Mencicipi Makanan.
Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani Rahimahullahu Ta’ala di Al-Irwa no. 937)
Wallahu a’lam.
Sumber rujukan :
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006


*Slawi, Ramadhan 1431 H.

SAHUR DAN KEUTAMAANNYA

SAHUR DAN KEUTAMAANNYA
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Pendahuluan
Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk mengikuti perintah-perintah dan contoh-contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebagai bukti kecintaan kita kepadaNya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammd): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal perbuatan yang bukan termasuk tuntunan kami, maka amalnya itu ditolak”
[Tafsir Ibnu Katsir 3, hal. 339]

Oleh karena itu, ketika kita hendak melakukan sesuatu, termasuk makan sahur, sudah seharusnya kalau kita mengikuti apa-apa yang diperintahkan oleh Raulullah dan dicontohkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam., sehingga sahur kita benar-benar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pengertian Sahur
Dalam bahasa Arab, as-sahur (السَّحُوْرُ) dengan mem-fathah huruf sin adalah benda makanan dan minuman untuk sahur. Adapun as-suhur (السُّحُوْرُ) dengan men-dhommah huruf sin adalah mashdar yakni perbuatan makan sahur itu sendiri. (An-Nihayah, 2/347)

Hukum Sahur
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata : Umat islam telah berijma’ menyatakan sunnah untuk makan sahur, tetapi tidak berdosa bila ditinggalkan.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (HR. Bukhari no. 1923, Muslim no. 1095).
[Fiqih Sunnah 2, hal. 61; Bulughul Maram, hal.273]]
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata : Secara nash, hadits ini mengisyaratkan bahwa bersahur hukumnya wajib. Akan tetapi riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah dan beberapa sahabat pernah meneruskan puasa tanpa bersahur membawa hokum ini kepada sunnah.
Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan ijma’ ulama atas sunnahnya hokum bersahur, dan berkah yang ada di dalamnya adalah karena mengikuti sunnah dan tidak menyerupai adapt ahli kitab, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dalam hadits marfu’,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab ialah makanan sahur” (HR. Muslim)
Dan dengan makan sahur, bisa menguatkan fisik untuk beribadah, bertambahnya semangat, dan adanya sebab untuk bersedekah jika ada yang meminta-minta pada waktu sahur.
[subulussalam 2, hal. 120].

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim 7, hal. 207)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk tidak meninggalkan makan sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ …
“Makan sahur adalah barakah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad)
[Fiqih Sunnah 2, hal. 61, Al-Jami’us saghir 2, hal. 348, hadits no. 3293]

Keutamaan Sahur
1. Dalam sahur terdapat barakah
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaqun ‘alaih)
[Nailul Authar 2, hal. 372]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya: “Dan yang utama (dari tafsiran “barakah” yang terdapat dalam hadits) sesungguhnya barakah dalam sahur dapat diperoleh dari beberapa segi, yaitu:
a. Mengikuti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Menyelisihi ahli kitab.
c. Menambah kemampuan untuk beribadah.
d. Menambah semangat.
e. Mencegah akhlak yang buruk yang timbul karena pengaruh lapar.
f. Mendorong bersedekah terhadap orang yang meminta pada waktu sahur atau berkumpul bersamanya untuk makan sahur.
g. Merupakan sebab untuk berdzikir dan berdoa pada waktu mustajab.
h. Menjumpai niat puasa bagi orang yang lupa niat puasa sebelum tidur.
(Fathul Bari 4, hal. 166)

2. Pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan doa para malaikat terhadap orang-orang yang sahur
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَالْمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
“Makan sahur adalah barakah. Maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah satu di antara kalian hanya minum seteguk air. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad)

Waktu Sahur dan Keutamaan Mengakhirkan Sahur
Sayyid Sabiq berkata :
Waktu sahur adalah dari pertengahan malam hingga terbit fajar. Kita juga disunnahkan mengahirkannya.
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, beliau bekata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata: ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘50 ayat’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau ditanya:
كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سُحُوْرِهِمَا وَدُخُوْلِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Berapakah jarak waktu antara selesainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu makan sahur dengan permulaan mengerjakan shalat (subuh)? Beliau menjawab: ‘Seperti waktu yang dibutuhkan seseorang membaca 50 ayat (dari Al Qur`an)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam menyebutkan: “(Bacaan tersebut) bacaan yang sedang-sedang saja (ayat-ayat yang dibaca), tidak terlalu panjang dan tidak pula terlalu pendek, dan (membacanya) tidak cepat dan tidak pula lambat”.
[Fathul Bari 4, hal.164]

Syekh Muhammad Abid Al-Zindi dalam kitab Musnad Syafi’i berkata :
Sufyan telah menceritakan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Bilal akan menyerukan azan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum menyerukan azan (subuh). Dia adalah seorang tuna netra, ia tidak menyerukan azan (subuh) sebelum dikatakan kepadanya, ‘Engkau memasuki waktu subuh, engkau memasuki waktu subuh”’
Dari hadits ini ditarik kesimpulan bahwa mereka (para sahabat) mengadakan dua kali azan. Azan pertama untuk mengingatkan dan membangunkan mereka yang tidur, sedang azan yang kedua ialah sesudah fajar subuh menyingsing, kegunaannya adalah untuk shalat dan puasa.
Ditarik kesimpulan pula bahwa boleh makan, minum dan jima’ hingga fajar terbit (subuh).
[Musnad Syafi’i 1, hal. 655].

Ibnu Ruyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata : Menurut Imam Malik sesuai dengan pendapat jumhur (mayoritas ulama), batasannya adalah eksistensi terbitnya fajar, bukan tampaknya fajar, bahkan sebagian ulama membatasi sebelum terbit fajar.
Dasar pendapat Malik dan jumhur adalah hadits dalam kitab Bukhari, saya kira dalam riwayatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, sesungguhnya dia tidak menyeru hingga terbit fajar” (HR. Bukhari dan Ibnu Majah).
Mereka yang menentukan batas sebelum fajar hanya sebagai tindakan hati-hati dan menghilangkan keraguan.
Pendapat yang pertama (Malik dan jumhur) lebih tepat dan pendapat yang kedua (sebelum terbit fajar) lebih berhati-hati. Wallahu a’lam.
[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 649]

Imam Syafi’I berkata dalam kitab Al-Umm :
Disunahkan untuk mengakhirkan sahur selama tidak terlalu mendekati waktu fajar, karena dikhawatirkan fajar terbit sebelum selesai makan sahur. Tapi apabila di tengah makan sahur fajar telah terbit (subuh), saya lebih suka untuk memutuskan sahur tersebut.
Misalnya fajar sudah terbit dan ketika itu di mulutnya masih ada makanan yang sedang dikunyah, maka makanan tersebut harus dikeluarkan lagi. Namun hal ini tidak membatalkan puasa. Yang membatalkan puasa adalah memasukkan memasukkan makanan ke dalam rongga perut.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 538].

Makanan Untuk Sahur
Sebaik-baik makanan untuk sahur adalah tamr (kurma), dan sahur dengan tamr merupakan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
نِعْمَ سَحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik makanan sahur seorang mukmin adalah tamr (kurma).” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)

Sumber rujukan :
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Puataka Imam Syafi’i, 2003.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Pustaka Amani, Jakarta, 2002
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Imam Mawawi, Syarah Shahiih Muslim, Mustaqiim, Jakarta
-Imam As-Suyuti, Al-Jami’us Shaghir, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Syekh Muhammad Abid As-Sindi, Musnad Syafi’i, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2006.

*Slawi, Ramadhan 1431 H.

LAILATUL QADAR, MALAM KEMULIAAN

LAILATUL QADAR, MALAM KEMULIAAN
Oleh : Masnun Tholab
www.masnuntholab.blogspot.com

Pendahuluan
Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya adalah karena pada bulan itu terdapat malam yang sangat agung yaitu malam Lailatul Qadar. Malam lailatul Qadar adalah malam diturunkannya Al-Quran, dimana pada pada malam tersebut Allah melimpahkan berkahNya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, “ (QS. Ad Dukhaan: 3-5)
Allah ta’ala juga berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ -وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ -لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ -تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ -سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) keselamatan hingga terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5)
Alangkah agungnya (kedudukan) malam tersebut dibandingkan malam yang lain, alangkah mulia kebaikannya, dan alangkah melimpahnya keberkahan di malam tersebut.
Mengingat begitu besar keagungan dan keberkahan malam Lailatul Qadar itu, maka amat beruntunglah orang-orang yang mendapatkannya.


Pengertian Dan Keutamaan Lailatul Qadar
Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (bahasa Arab: لَيْلَةُ الْقَدْرِ ) (malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan juga diperingati sebagai malam diturunkannya Al Qur'an. Deskripsi tentang keistimewaan malam ini dapat dijumpai pada Surat Al Qadar, surat ke-97 dalam Al Qur'an.
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang paling utama sepanjang tahun, berdasarkan firman Allah ta’ala,
"Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
(QS. Al-Qadr [97] : 1-3)
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa beribadah di malam lailatul Qadar lebih baik dan lebih besar pahalanya dari pada beribadah selama seribu bulan (83 tahun) pada bulan-bulan lainnya.

Kapankah Lailatul Qadar itu?
Ada beberapa pendapat dari para ulama dalam menentukan malam ini. Hal itu disebabkan karena banyaknya hadits tentang malam datangnya Lailatul Qadar itu.
1. Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang sah dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu, telah bersabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam,

كَانَ مُتَحَرَّبَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِى لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
“Barangsiapa mencarinya, hendaklah dicari pada malam ke dua puluh tujuh” (HR. Ahmad).

2. Dari Muawiyah bin Abu Sufyan Rhadiallahu ‘anhuma,
عَنْ اَلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
Dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : “Mengenai lailatul qadar, yaitu malam dua puluh tujuh”. (HR. Abu Daud).

3. Dari Sa’id Al-Khudri, ia berkata,
إَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ. ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ. فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ على سُدَّتِهَا حَصِيْرٌ. قال: فَأَخَذَ الْحَصِيْرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِي نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ. ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ. فَدَنَوْا مِنْهُ. فقال:
"إني اعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ. أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ. اعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ. ثم أُتِيْتُ. فَقِيْلَ لِي: إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ. فمن أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ" فاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ. قال: "وإِنِّي أُرِيْتُهَا لَيْلَةَ وِتْرٍ، وأني أَسْجُدُ صَبِيْحَتِهَا في طِيْنٍ وَمَاءٍ" فَأَصْبَحَ مِنْ لَيْلَةِ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ، وقد قام إلى الصُّبْحِ. فَمَطَرَتِ السَّمَاءُ. فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ. فَأَبْصَرْتُ الطِّيْنَ والْمَاءَ. فَخَرَجَ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ، وَجَبِيْنُهُ وَرَوْثَةُ أَنْفِهِ فِيْهِمَا الطِّيْنُ والْمَاءُ. وإذا هي ليلةُ إِحْدَى وَعِشْرِيْنَ من الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ.
Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada 10 hari pertama dari Ramadhan, kemudian beri’tikaf pada 10 hari pertengahan di Qutbah Turki (kemah kecil), sementara di pintunya terdapat tikar, lalu beliau mengambil tikar itu dengan tangannya, lantas memindahkannya ke sudut Qutbah tadi, kemudian beliau mengulurkan kepalanya sembari berbicara kepada manusia, merekapun mendekatinya. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku telah beri’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mencari malam itu (Lailatul Qadar). Kemudian aku beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahannya, lalu aku di datangi oleh malaikat Jibril, lalu dikatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya ia ada pada sepuluh hari terakhir’. Karena itu siapa saja diantara kalian yang ingin beri’tikaf, maka beri’tikaflah”. Lalu orang-orangpun beri’tikaf bersama beliau. Beliau juga mengatakan, “Dan sungguh aku telah bermimpi (bahwa itu) pada malam ganjil, yang mana aku bersujud pada pagi harinya dalam keadaan berlumuran dengan tanah dan basah dengan air, ”Dan ternyata, pada malam ke dua puluh satu, di pagi harinya ketika aku melaksanakan shalat subuh, langit mengguyurkan hujan, masjidpun bocor sehingga aku melihat tanah dan air. Beliau keluar setelah shalat subuh, sementara kedua alis dan ujung hidungnya ada tanah dan air. Itu adalah malam kedua puluh satu dari sepuluh hari terakhir,” (Muttafaq ‘alaih).

4. Dari Abdullah bin Unais, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
رَأَيْتُ ليلةَ القدرِ ثم أُنْسِيْتُهَا. وَأَرَانِي صَبِيْحَتَهَا أَسْجُدُ في ماءٍ وطِّيْنٍ" قال: فَمُطِرْنَا ليلةَ ثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ فَصَلِّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَانْصَرَفَ وَإِنْ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّيْنِ على جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ. قال: وكان عبدُاللهِ بْنُ أُنَيْسٍ يقول: ثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ.

“Aku telah melihat Lailatul Qadar tapi kemudian aku lupa. Aku bermimpi sujud pada pagi harinya dengan air dan tanah”. Kemudian kami diguyur hujan pada malam ke dua puluh tiga, lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengimami kami salta, lalu berbalik, ternyata ada bekas air dan tanah pada dahi dan hidung beliau,”. Abdullah bin Unais mengatakan, ‘Dua puluh tiga’. (HR. Ahmad dan Muslim).

5. Dari Aisyah Rhadiallahu ‘anha, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ في الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَاَنَ
“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan”. (HR. Muslim).

6. Dari Ibnu Abbas Rhadiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, bersabda,

اَلْتَمِسُوْهَا في الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَاَنَ ، لَيْلَةَ الْقَدْرِ ، في تَاسِعَةٍ تَبْقَى، في سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah itu pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, Lailatul Qadar (Sangat mungkin) pada malam kesembilan terakhir, malam ketujuh terakhir, malam ke lima terakhir” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Abu Daud).
[Nailul Authar 2, hal. 429-433}.

Dan hadits-hadits lainnya.

Pendapat Para Ulama
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab subulussalam berkata :
Dari berbagai pendapat, nampaknya yang kuat bahwa Lailatul Qadar terjadi pada tujuh hari terakhir. Ibnu Hajar menyebutkan di dalam kitab Fath Al-Bari, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dia atas, “Dan pendapat yang paling kuat dari semuanya, bahwa Lailatul Qadar terjadi pada hari-hari ganjil dari sepuluh hari terakhir, dan ia berpindah-pindah sebagaimana yang bisa dipahami dari hadits bab ini, dan menurut Asy-Syafi’iyah bilangan witir (ganjil) yang paling tepat yaitu 21, 23 sebagaimana disebutkan dalam hadits Said dan hadits Abdullah bin Unais, Sedangkan menurut jumhur ulama yang paling mungkin ialah pada tanggal 27.
[Subulussalam 2, hal. 274].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan: Kebanyakan mereka berpendapat bahwa jatuhnya adalah pada malam ke dua puluh tujuh.
[Fiqih Sunnah 2, hal. 83]



Imam Asy-Syaukani berkata : Asy-Syafi’i berkata, “Menurutku riwayat yang paling kuat tentang Lailatul Qadar adalah malam ke dua puluh satu”
[Nailul Authar 2, hal. 435}.

Zainudin Al-Malibari dalam kitab fathul Mu’in berkata : Menurut Imam Syafi’i malam ganjil yang paling dapat diharapkan ialah malam ke dua puluh satu dan ke dua puluh tiga, Imam Nawawi dan lainnya telah memilih bahwa (lailatul Qadar) berpindah-pindah.

Menurut hasil penelitian Imam Ghazali adalah sebagai berikut :
1. Kalau puasa dimulai hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 29 Ramadhan.
2. Kalau puasa dimulai hari Senin, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 21 Ramadhan.
3. Kalau puasa dimulai hari Selasa atau Jum’at, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadhan.
4. Kalau puasa dimulai hari Kamis, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 25 Ramadhan.
5. Kalau puasa dimulai hari Sabtu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23 Ramadhan.
[Fathul Mu’in 1, hal. 658].

Tanda-tanda Lailatul Qadar
Dari Ubadah bin Shomit, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ، كَأَنَّ فِيْهَا قَمْرًا سَاطِعًا، سَاكِنَةً سَجِيَّةً، لَا بَرَدَ فِيْهَا وَلَا حَرَّ، ولا يَحِلُّ لِكَوْكَبَ يُرْمَى بِهِ فِيْهَا حَتَّى تُصْبِحُ. وأن أَمَارَتَهَا أن الشَّمْسَ صَبِيْحَتَهَا تُخْرِجُ مُسْتَوِيَةً، لَيْسَ لَهَا شَعَاعٌ مِثْلُ الْقَمَرَ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانَ أن يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ"
Tanda malam Lailatul Qadar suasana malam bersih bening terang seakan-akan ada bulan, tidak terasa dingin atau panas, dan tidak ada bintang yang dilemparkan kepada setan, hingga fajar, dan matahar terbit tiada bercahaya panas dan tajam, seakan-akan bagaikan bulan purnama.
[Tafsir Ibnu Katsir 8, hal. 407].

Dari Ubay radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi." (HR Muslim 762).

Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan." (HR Thayalisi (349), Ibnu Khuzaimah (3/231).

Imam Ash-Shan’ani berkata :
Dikatakan, bahwa tanda-tanda Lailatul Qadar bagi yang mengetahuinya, ia melihat segala sesuatu bersujud. Ada yang mengatakan bahwa orang tersebut akan melihat cahaya-cahaya yang terang ingá ke tempat-tempat yang gelap. Ada yang mengatakan bahwa orang tersebut akan mendengar salam atau sapaan para malaikat. Ada juga yang mengatakan bahwa tandanya ialah terkabulnya doa bagi orang yang mendapatinya. Ath-Thabari berkata, ”Semua itu tidak bersifat pasti, karena terkadang seseorang itu (mendapat Lailatul Qadar), namun ia tidak melihat dan tidak pula mendengar apapun.
[Subulussalam 2, hal. 274].

Beribadah pada Malam Lailatul Qadar
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قاَمَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa shalat di malam Lailatul Qadar karena keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia akan diampuni dosanya yang telah lampau” (HR. Jamaah, kecuali Ibnu Majah)
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anha bahwa dia bertanya:
قُلْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ : أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيَّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ اَلْقَدْرِ, مَا أَقُولُ فِيهَا? قَالَ: " قُولِي: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku tahu suatu malam dari lailatul qadr, apa yang harus aku baca pada malam tersebut? Beliau bersabda: "bacalah (artinya: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah
aku)." Riwayat Imam Lima selain Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim.
[Bulughul Maram ,hal. ; Al-Adzkar, hal. 314].

Penutup
Allah Subhanahu wata’ala dengan kemurahannya telah menganugerahkan malam yang begitu agung, yaitu malam Lailatil Qadar kepada kita. Dia memberi kesempatan kepada kita untuk melipatgandakan nilai ibadah kita dengan beribadah di malam itu. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkannya.


Sumber Rujukan :
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006.
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Puataka Imam Syafi’i, 2003.
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006
-Imam Asy-Syaukani, Nailul Author, As-Syifa, Semarang, 1994.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Nawawi, Al-Adzkar, Darul Ihya’ Indonesia, 2008.



*Slawi, Ramadhan 1431 H.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...