Selasa, 18 Mei 2010

ISBAL

ISBAL
Oleh : Masnun Tholab
masnuntholab.blogspot.com

DEFINISI ISBAL
Isbal secara bahasa adalah masdar dari “asbala”, “yusbilu-isbaalan”, yang bermakna “irkhaa-an”, yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul ‘Aroby rahimahullah dan selainnya adalah ; memanjangkan,
melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak. [Lihat Lisanul 'Arob, Ibnul Munzhir 11/321]

DALIL-DALIL TENTANG ISBAL
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
"Barangsiapa menjulurkan pakainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." Abu Bakar berkata, "Sungguh salah satu sisi pakaianku selalu turun kecuali jika aku terus menjaganya." Rasulullah saw. bersabda, "Kamu tidak melakukan itu karena sombong," (HR Bukhari [3665, 5784] dan Muslim [2085]).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ِأزَرَةُ الْمُسْلِمُ إِلَى نَصَفِ السَّاقِ وَلَاحَرَجَ أَوْ لَا جَنَاحٍ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَراً لَمْ يَنْظُرُ اللّهُ إلَيْهِ".

“Artinya : Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki. Dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka. Barangsiapa yang menarik pakaiannya karena sombong maka Alloh tidak akan melihatnya” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12]
-lihat Al-Jami’s Saghir 1, hal. 292
-Lihat Riyadus Salihin 2, hal. 4

Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud radhiallahu anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنْ اللَّهِ فِي حِلٍّ وَلَا حَرَامٍ

“Barangsiapa yang menjulurkan sarung dalam shalatnya karena angkuh/sombong maka orang itu tidaklah menuju Allah dan juga tidak menjalankan kewajiban-Nya." (HR. Abu Dawud)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى مَنْ يَجَرَّ إِزَارَهُ بَطَرٍ

"Allah tidak akan melihat kepada orang yang menjulurkan kain sarungnya karena kesombongan," (HR Bukhari [5788] dan Muslim [2087]).

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kain sarung yang berada di bawah mata kaki tempatnya di neraka," (HR Bukhari [5787]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Allah tidak akan melihat kepada orang yang menjulurkan kain sarungnya karena kesombongan," (HR Bukhari [5788] dan Muslim [2087]).

PENDAPAT ULAMA TENTANG ISBAL
Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalaam berkata :
Ibnu Abdil Bar berkata, “Orang yang menjulurkan kainnya tanpa dibarengi sikap sombong juga termasuk katagori melakukan perbuatan tercela. An-Nawawi berkata, “Hukumbya makruh, demikian yang dinyatakan oleh Asy-Syafi’I”
Sunnah telah menyebutkan bahwa posisi kain yang terbaik adalah stengah betis. Sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tir,idzi dan An-Nasa’I dari Ubaid bin Khalid, ia berkata, “Ketika aku sedang berjalan dengan mengenakan kain panjang yang terjulur, seorang berkata kepadaku, ‘angkat kainmu, karena hal itu sikap yang lebih takwa dan lebih bersih,’ Setelah aku menoleh kepadanya ternyata ia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu aku berkata, ‘Ini adalah kain panjang’, Beliau bersabda, ‘Bukankah aku tauladan bagimu?’ Setelah itu aku melihat pakaian yang beliau kenakan, ternyata panjang kain beliau setengah betis,”
[Subulussalaam 3, hal. 787].

Imam Nawawi dalam kitab Riyadus Salihin berkata :
Abu Hurairah radiallahu anhu berkata : Ketika seseorang sedang sembahyang dengan kain yang di bawah mata kaki maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Pergilah berwudlu” dan sesudah berwudlu Nabi berkata pula, “Pergilah berwudlu”. Maka seseorang bertanya : “Ya Rasulullah mengapakah kau suruh berwudlu, kemudian setelah ia berwudlu kau diamkan dia?” Jawab Nabi, “Dia telah sembahyang dengan kain di bawah mata kaki. Dan Allah tidak menerima sembahyang seorang yang berkain di bawah mata kaki” (Abu Dawud)
-Lihat Riyadus Salihin 2, hal. 7

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki. Beliau menjawab :’ Panjangnya qomis, celana dan seluruh pakaian hendaklah
tidak melebihi kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Majmu' Fatawa 22/14]

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : “Isbal pakaian apabila karena sombong maka hukumannya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak mengajak bicara dan tidak mensucikannya, serta baginya adzab yang pedih. Adapun apabila tidak karena sombong, maka hukumannya disiksa dengan neraka. [As’ilah Muhimmah hal, 29-30, Lihat pula Fatawa Syaikh Utsaimin 2/921, Isbal Lighoiril khuyala hal. 26]

Al Habib Husein Ibn Alwy Ibn Aqiel menyatakan bila seseorang menggunakan pakaian/celana/sarung yang panjangnya melebihi mata kaki bukan karena sombong tetapi lebih ditujukan pada keindahan, maka hal itu tidaklah haram, bahkan dia menjalankan kesunnahan yang lain. Dasarnya adalah hadits yang menyatakan:
Rasulullah bersabda, "Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Seseorang berkata, "Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai bajunya bagus dan alas kakinya bagus.” Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah penyalahgunaan kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim) –pesantren.or.id.29.webmasternet.

Wallahu a’lam.
Segala Puji bagi Allah. Semoga Allah mencurahkan rahmatNya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Sumber Rujukan :
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
- Imam Nawawi, Riyadus Salihin, Al-Ma’arif, Bandung, 1986.
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Imam Ash-Shan’ani, Subulussalaam, Darus Sunnah, Jakarta, 2008.
-Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa
–pesantren.or.id.29.webmasternet.

***Slawi, April 2009.

BACAAN SALAM DALAM SHALAT

BACAAN SALAM DALAM SHALAT
Oleh : Masnun Tholab
masnuntholab.blogspot.com

Hadits-hadits dan Pendapat ‘Ulama Tentang Bacaan Salam
Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, ia berkata : Kami pernah shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu seseorang diantara kami dengan tangan kanan dan kirinya mengucapkan ‘Assalamu’alaikum’. Seraya mengisyaratkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Maka beliau bersabda :
ما بالكم تومئون بأيديكم كأنها أذناب خيل شمس أو لا يكفي أو إنما يكفي أحدكم أن يضع يده على فخذه ثم يسلم عن يمينه وعن شماله السلام عليكم ورحمة الله السلام عليكم ورحمة الله
“Ada apa dengan kalian sehingga mengisyaratkan dengan tangan seakan-akan hal itu adalah ekor kuda matahari. Apakah tidak cukup atau cukup, bagi salah seorang diantara kalian meletakkan tangannya di atas paha kemudian mengucapkan “Assalamu ‘alaikum warahmatullah, Assalamu ‘alaikum warahmatullah” (HR. Abu Daud no. 985)

Imam Syafi’i berkata :
وبهذه الأحاديث كلها نأخذ فنأمر كل مصل أن يسلم تسليمتين إماما كان أو مأموما أو منفردا ونأمر المصلي خلف الإمام إذا لم يسلم الإمام تسليمتين أن يسلم هو تسليمتين ويقول في كل واحدة منهما السلام عليكم ورحمة الله
Semua hadits di atas menjadi pegangan, maka kami menyuruh setiap orang yang mengerjakan shalat agar memberi salam sebanyak dua kali, baik ia sebagai imam auat shalat sendirian.
Kami memerintahkan kepada makmum apabila imam tidak memberi salam sebanyak dua kali, maka ia harus memberi salam dua kali dengan ucapan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullah, Assalamu ‘alaikum warahmatullah”

Imam Syafi’i berkata :
من تسليمه أن يقول السلام عليكم فإن نقص من هذا حرفا عاد فسلم وإن لم يفعل حتى قام عاد فسجد للسهو ثم سلم
Pengucapan salam sekurang-kurangnya dengan mengucapkan Assalaamu ‘alaikum. Apabila ia mengurangi satu huruf saja, maka ia harus mengulanginya. Apabila ia tidak memberi salam sampai ia pergi, maka ia harus kembali dan melakukan sujud sahwi, kemudian memberi salam lagi.
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 186-187].

Zainudin Al-Malibari (‘Ulama Madzhab Syafi’i dalam kitab Fathul Mu’in berkata :
(و) ثالث عشرها: تسليمة أولى، (وأقلها: السلام عليكم) للاتباع، ويكره عليكم السلام
(و) يسن أن يقرن كلا من التسليمتين (برحمة الله) أي معها، دون: وبركاته، على المنقول في غير الجنازة. لكن اختير ندبها لثبوتها من عدة طرق.
Rukun shalat yang ketiga belas ialah membaca salam yang pertama, paling sedikit assalaamu’alaikum, sebab ‘ittiba kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Disunatkan melengkapi kedua salam dengan lafadz Warakhmatullah tidak dengan lafadz Wabarakaatuh, sesuai dengan nash yang disalin dar salat selain salat jenazah.
Akan tetapi dipilih sunnat memakai lafadz wabarakaatuh, sebab nash-nya dari berbagai jalan.
[Fathul Mu’in 1, hal. 223-224].

Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Bulughul Maram mengutip hadits dari Wail bin Hajar Rhadiallahu ‘anhuma, dia berkata :

صَلَّيْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ : " اَلسَّلَام عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اَللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ " وَعَنْ شِمَالِهِ : " اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اَللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
“Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau membaca salam ke kanan dengan mengucapkan, “Assalaamu’alaikum warakhmatullaahi wabarakaatuh”, demikian pula ke kiri, “Assalaamu’alaikum warakhmatullaahi wabarakaatuh” (HR. Abu Daud dengan riwayat yang sahih)
[Bulughul Maraam hadits no. 39, hal. 139; lihat Fiqih Sunnah 1, hal. 198 ]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :
وحديث التسليمتين رواه خمسة عشر من الصحابة بأحاديث مختلفة، ففيها صحيح، وحسن، وضعيف، ومتروك، وكلها بدون زيادة: "وبركاته" إلا في رواية وائل هذه، ورواية عن ابن مسعود. وعند ابن ماجه، وعند ابن حبان، ومع صحة إسناد حديث وائل، كما قال المصنف هنا: يتعين قبول زيادته؛ إذ هي زيادة عدل، وعدم ذكرها في رواية غيره ليست رواية لعدمها
Hadits tentang mengucap dua kali salam ini telah diriwayatkan oleh lima belas sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan hadits yang berbeda-beda, ada yang sahih, ada yang hasan, ada yang dha’if dan ada yang matruk, dan semuanya tanpa tambahan Wabarakaatuh kecuali dalam riwayat Wa’il ini, serta dalam riwayat Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Dan jika riwayat Wa’il ini shahih, maka tambahan Wabarakaatuh harus diterima karena ia tambahan yang benar. Sedangkan ketiadaannya dalam riwayat-riwayat yang lain tidak menunjukkan bahwa tambahan ini tidak ada.
[Subulussalam 1, hal. 522].

Imam Ghazali (‘Ulama madzhab Syafi’i) dalam kitab ihya ‘Ulumiddin berkata :
Bacaan salam dalam shalat adalah Assalaamu’alaikum warakhmatullaah.
[Ihya ‘Ulumiddin 1, hal. 514].

Kesimpulan
1. Menurut mayoritas ulama, bacaan salam dalam shalat boleh dengan lafadz Assalamu’alaikum, Assalamu’alaikum warahmatullaah, atau Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
2. Bacaan salam menurut Imam Syafi’i dan Imam Ghazali adalah . Assalamu’alaikum warahmatullaah,
Wallahu a’lam.

Sumber Rujukan :
-Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Mutiara Ilmu, Surabaya, 1995.
-Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maliabari al-Fanani , Fat-hul Mu’in, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006
-Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus salam, Darus Sunnah Press, Jakarta, 2006
-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang, 1990.

*Slawi, 6 Mei 2010.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...